Menemukan Relasi Antara Akhlak dan Politik
Kajian tentang relasi etika dan politik berulang kali dikemukakan dalam pelbagai seminar ilmiah dan diskusi publik.[1] Sebagaimana dijelaskan dalam tulisan sebelumnya bahwa sejak zaman Plato dan muridnya Aristoteles sampai masa yang baru, politik senantiasa didefinisikan dalam cakupan atau bingkai akhlak.[2] Bahkan pada prinsipnya, dalam pandangan tradisional terhadap akhlak, politik itu diletakkan dan dibahas dalam bagian akhlak praktis yang bermakna tadbir mudun (manajemen kota). Sehingga dalam perspektif tradisional ini, akhlak dianggap sebagai pilar dan pondasi politik.
Ada juga yang meyakini bahwa politik dan akhlak tidak memiliki hubungan yang menguntungkan, bahkan bila dalam berpolitik kita harus berakhlak maka akhlak yang kita lakukan cenderung pragmatis. Namun, bila tema relasi politik dan akhlak ditinjau dari sudut pandang filsafat, maka ada yang berpendapat bahwa dalam filsafat politik modern akhlak tidak mempunyai tempat di dalamnya. Sehingga dunia kita berhadapan dengan krisis akhlak di pelbagai bidang, khususnya politik.
Machiavelli yang mencoba untuk mengamputansi akhlak dari bingkai politik ternyata secara tegas menyatakan: Agama melahirkan undang-undang yang baik dan undang-undang yang baik menyebabkan kejayaan. Dalam kesempatan lain ia berkata: Agama adalah pilar peradaban yang paling penting. Oleh karena itu, pandangan negatif Machiavelli terkait relasi antara politik dan akhlak tidak secara keseluruhan bertalian dengan agama.[3]
Mungkin ada yang beranggapan bahwa relasi antara akhlak dan politik itu bersifat visual/imajinal. Tetapi ada yang berpandangan bahwa relasi keduanya bersifat transaksional dan saling melengkapi. Dengan kata lain, etika dan politik itu memiliki hubungan timbal balik. Sebagian cendekiawan menyatakan bahwa politik dan etika memiliki hubungan yang negatif. Yakni, bila etika bertambah/menguat maka politik akan memudar(terpinggirkan) dan sebaliknya.[4]
Ada sebagian intelektual yang memahami relasi etika dan politik dalam hubungan kausalitas. Yakni, etika diposisikan sebagai sebab yang utama dan final sedangkan politik adalah sebab material dan strategis. Dalam sebuah pandangan dapat dikatakan bahwa etika adalah sebab dan politik adalah akibat.
Al-Farabi dalam kitab التنبیه علی السبیل السعادة و تحصیل السعادة mengemukakan bahwa batasan-batasan dan prinsip-prinsip politik ditetapkan dan ditentukan oleh etika, dan politik dapat menjadi potensi munculnya etika di tengah masyarakat. Dalam pandangan ini, filsafat negara dan politik adalah mengikis halangan-halangan kemajuan masyarakat dan memudahkan sebab-sebab kemajuan masyarakat.
Dalam pembahasan tentang teori kekuasaan, ada pertanyaan yang terlontar, yaitu: Siapa yang harus berkuasa/memerintah? Dan sejauh mana penguasa harus menerapkan prinsip-prinsip etika dalam menjalankan roda pemerintahannya?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Karl Raimund Popper[5] berpandangan bahwa sulit untuk menemukan politikus yang baik dan berpengetahuan yang dapat dipercaya. Dan daripada kita bertanya, siapa yang harus memerintah, mestinya kita ubah pertanyaannya seperti ini: bagaimana lembaga-lembaga politik kita atur sedemikian rupa sehingga para penguasa jelek atau yang bukan ahlinya dapat kita cegah dari mencapai kekuasaan?
Prinsip pernyataan Karl Raimund Popper adalah kita tidak perlu terlibat dalam pembahasan pepesan kosong ini, yaitu siapa yang mesti jadi pemimpin/penguasa? Tetapi kita harus fokus untuk berdikusi dan bahkan berdebat tentang bagaimana pemimpin—siapapun dia—memerintah dan prinsip-prinsip apa yang harus diikutinya?[6]
Di sinilah menjadi penting bagi kita untuk menemukan relasi efektif dan konstruktif antara politik dan etika. Karena sering kali kita jumpai praktik politikus yang bertentangan dengan nilai-nilai akhlak. Misalnya, politikus yang mengingkari janji-janji dan komitmen-komitmennya saat kampanye. Atau ia berusaha melakukan kecurangan dalam proses pemilihan suara dengan melakukan suap dan memengaruhi orang lain secara illegal supaya memenangkannya. Atau politikus yang membunuh karakter lawan politiknya dengan cara-cara yang curang dan culas. Atau politikus yang tidak santun dalam bersikap dan bertutur kata. Semua ini dikategorikan sebagai praktik politik yang tidak beretika.
Adalah tidak benar pandangan Machiavelli yang memutus habis relasi antara politik dan etika. Juga pendapat yang melihat pertautan etika dan politik secara pragmatis, negatif dan dangkal. Tetapi al-Farabi memiliki pandangan yang mendalam, positif dan konstruktif terkait hubungan antara politik dan etika. Al-Farabi justru memandang politik sebagai sarana manifestasi etika dan akhlak karimah. Al-Farabi seolah menjawab kegalauan Karl Raimund Popper perihal prinsip-prinsip apa yang harus diikuti oleh seorang pemimpin politik. Sebab, bagi al-Farabi prinsip-prinsip politik itu digariskan dan ditentukan oleh etika.
Oleh: Syekh Muhammad Ghazali
Pemerhati Masalah Sosial-Keagamaan
Sumber:
[1] Dalam kamus besar bahasa Indonesia eti·ka dijelaskan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
[2] Saat mendefenisikan akhlak/etika, para ulama akhlak berpandangan bahwa akhlak adalah malakah (kebiasaan atau sifat yang mengakar) dan hai’ah nafsani (rupa jiwa) yang bila jiwa tersifati dengannya, niscaya dengan mudah ia dapat melaksanakan suatu perbuatan. Ini tak ubahnya seorang profesional yang menjalankan profesinya dengan gampang. Demikian halnya orang yang berakhlak mahmudah (terpuji) atau madzmumah (tercela) pun dengan mudah melakukan hal-ha yang baik atau buruk. Sesuai dengan defenisi tersebut, akhlak mencakup fadhail (sifat-sifat mulia) dan radhail (sifat-sifat hina). Namun tentu saja istilah perbuatan yang bernilai akhlak disebutkan untuk perbuatan yang bersumber dari malakah yang mulia, sehingga tindakan yang buruk tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang berakhlak.
[3] Ada yang berpendapat pandangan negatif Machiavelli tersebut dipengaruhi oleh kondisi agama Masehi saat itu yang dianggap jauh dari tuntunan/ajaran al-Masih.
[4] Namun bila kita cermati pandangan cendekiawan tersebut tampak bahwa etika yang dimaksud adalah etika yang disalahgunakan dan silahtafsirkan oleh penganut agama.
[5] Karl Popper (lahir di Vienna, Austria, 28 Juli 1902 – meninggal di London, Inggris, 17 September 1994 pada umur 92 tahun) merupakan salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi- sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu. Beliau memiliki karya yang cukup banyak di bidang filsafat politik dan sosial.
Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini dapat dibaca lewat buku terbitan Qalam Yogyakarta dengan judul Karl Popper: Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu.
[6] Plato, Jami’ah Boz wa Dusymanoni On, jilid 1, hal. 168.