Menjadi Manusia yang Kosmik : Wujud Kecintaan Pada Nabi Muhammad SAW
Dr. Fardiana Fikria Qur’any, M.Ud—— Baru-baru ini, umat Islam merayakan maulid Nabi Muhammad SAW atau peristiwa kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan maulid Nabi adalah tradisi yang dilaksanakan dari tahun ke tahun oleh umat Islam baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia manapun, baik umat muslim yang bermazhab Sunni maupun Syi’ah. Umumnya di kalangan umat muslim Sunni, maulid Nabi dirayakan dengan gegap gempita dan bahagia. Di kalangan majelis taklim misalnya, para ibu membacakan rawi, solawat-solawat yang dilantunkan sebagai bentuk syukur kelahiran Nabi Muhammad SAW. Umat muslim merayakan kegembiraan ini dengan berbagai tradisi di daerahnya masing-masing. Kebahagiaan umat muslim di belahan dunia manapun bisa terpahami dengan baik, karena berkat kelahiran Nabi Muhammad SAW banyak terjadi perubahan dalam sistem sosial, kemasyarakatan umat manusia pada masa itu. Di kalangan umat muslim Syi’ah, di kalangan masyarakat pada umumnya juga melaksanakan perayaan dengan gegap gempita seperti doa bersama dan berbagai manisan, di kalangan para ulama dan akademisi, dilaksanakan pula seminar kesatuan yang dilakukan dalam minggu persatuan di Iran.
Kelahiran Nabi Muhammad SAW memberikan banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat Arab sebelum kedatangannya. Nabi Muhammad SAW pun bersabda: innī bu’itstu li utammima makārim al-akhlāk yang artinya “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakaan akhlak mulia”. Istilah ‘akhlak mulia’ pada sabda Nabi tersebut mengacu pada perilaku yang didasari oleh motif ilahiah. Kemuliaan didasari oleh orientasi dari tindakan baik yang ditujukan hanya untuk Dia. Akhlak erat kaitannya dengan kondisi kejiwaan manusia yang termanifestasi dalam perilaku keseharian.
Jiwa Manusia dalam Kosmologi Islam
Dalam kosmologi Islam, perilaku yang baik lahir dari keseimbangan potensialitas jiwa. Potensialitas jiwa manusia terbagi menjadi dua yaitu, akal dan hati. Menurut Murata merujuk pandangan kaum sufi bahwa akal adalah potensi diri manusia yang sangat erat kaitannya dengan ruh yang murni dengan cahaya, sedangkan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an memiliki dua dimensi yaitu, dimensi yang dekat dengan cahaya dan dimensi yang dekat dengan alam semesta. Dimensi pertama disebut sebagai hati kedalaman sedangkan dimensi kedua disebut dengan hati permukaan. Hati kedalaman terpaut dengan spiritualitas sedangkan hati permukaan terpaut dengan hasrat manusia.
Akal dan hati juga diistilahkan dalam kosmologi Islam sebagai akal teoretis dan akal praktis. Akal teoretis juga sering disebut dengan maskulin dan akal praktis juga sering disebut dengan feminin. Keduanya memiliki watak yang berbeda satu sama lain. Akal teoretis memiliki kecenderungan untuk mengurai segala sesuatu. Dalam epistemologi dikenal dengan proses konsepsi atau tashawwur, sedangkan akal teoretis dikenal dalam proses penilaian, penetapan nilai atau tashdīq.
Dari dua model istilah yang digunakan untuk mengacu pada akal dan hati, dapat dilihat keduanya menjadi sumber sekaligus alat dalam memperoleh pengetahuan manusia. Akal sebagai sumber pengetahuan memberikan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat rasional, sedangkan hati sebagai sumber pengetahuan memberikan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat intuitif. Akal sebagai sebuah alat pengetahuan membantu manusia dalam mengurai data dan persoalan, akal lebih dekat dengan teoritisasi sedangkan hati sebagai alat pengetahuan membantu manusia untuk memutuskan tindakan atau dengan kata lain dekat dengan tindakan.
Akal dan hati perlu dikawinkan dalam jiwa agar menghasilkan satu tindakan yang bijaksana. Perkawinan jika terjadi pada jiwa manusia akan melahirkan manusia yang kosmik yaitu, yang seimbang kerja akal dan hatinya. Dengan demikian, manusia yang seimbang jiwanya dapat disebut sebagai manusia yang kosmik, akan tetapi lebih lanjut memunculkan pertanyaan bagaimana kita dapat mengawinkan akal dan hati?
Konsepsi Manusia yang Kosmik
Manusia yang kosmik artinya, manusia yang seimbang jiwanya dan keseimbangan jiwa ini diperoleh dari perkawinan akal dan hati. Perkawinan akal dan hati yang dimaksud dalam kosmologi Islam ialah, masuknya akal pada hati atau tunduknya hati pada akal. Dalam struktur kosmologi, terdapat struktur hirarkis antara yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah. Yang lebih tinggi mengarahkan yang lebih rendah dan yang lebih rendah tunduk atas arahan dari yang tinggi.
Struktur hirarkis ini dapat dilihat dalam hirarki di antara dimensi yang tidak tampak pada diri manusia yaitu, ruh, jiwa, akal dan hati. Ketika ruh dihadapkan dengan jiwa, maka ruh sebagai bagian yang lebih tinggi dari jiwa dan jiwa bagian yang lebih rendah. Artinya, ruh mengarahkan jiwa dan jiwa tunduk pada ruh. Begitu juga dengan akal dan hati. Posisi akal lebih tinggi daripada hati, maka akal mengarahkan hati dan hati tunduk pada akal.
Dalam konteks yang lebih konkrit, hati dengan dua dimensi di atas memiliki salah satu yang menghadap ke alam atau permukaan yang berkaitan dengan hasrat manusia. Hasrat manusia adalah dorongan manusia untuk bertindak. Dorongan manusia untuk memimpin, untuk makan-minum, untuk berketurunan, untuk belajar. Seluruh dorongan ini adalah baik, karena hati adalah bagian dari jiwa dan jiwa juga bagian dari ruh. Akan tetapi, hasrat bisa menjadi buruk apabila, pertama, hasrat itu ditekan atau kedua, hasrat itu dibebaskan begitu saja. Oleh karena itu, hasrat perlu diatur sedemikian rupa.
Pengatur hasrat ialah, akal. Akal akan selalu bertanya akan benar dan salahnya sebuah tindakan yang didorong oleh hasrat. Misalnya, hasrat makan itu baik, akan tetapi ketika orang terlalu menekan hasrat makan dan tidak memberikan ruang baginya untuk makan, seperti berpuasa setiap hari atau hasrat makan dibebaskan begitu saja, sehingga membolehkan manusia untuk makan setiap waktu, maka akal akan mengarahkan tindakan yang benar dalam menyalurkan hasrat makan.
Dalam konteks yang lebih luas dari itu, akal akan mendorong hati untuk mengarahkan manusia senantiasa melakukan tindakan yang baik, berakhlak mulia. Tindakan yang baik dan kemuliaan akhlak adalah bukti kecintaan pada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, kita perlu membuktikan kecintaan dengan berusaha untuk menyeimbangkan akal dan hati kita sehingga kita dapat senantiasa berproses mendekatkan diri kita pada Allah SWT. Menjadi manusia yang seimbang, manusia kosmik adalah bentuk kecintaan kita pada Nabi Muhammad SAW.