Nilai dan Keharusan Moral
Dalam ragam aktivitasnya, apa yang dilakukan oleh manusia mesti diasumsikan akan adanya ‘nilai’ dalam aktivitas tersebut dan jg nilai yang tertanam pada hal-hal yang dikerjakannya.
Saat kita sedang mengkonsumsi suatu makanan, maka setidaknya kita dapat melihat adanya dua nilai: nilai pada makanan, dan nilai dalam aktivitas mengkonsumsinya. Nilai pada makanan dilihat sejauh bahwa makanan tersebut dapat mengalirkan gizi bagi tubuh atau memberi rasa enak untuk dinikmati. sementara nilai pada ‘aktivitas’ mengkonsumsinya dapat dilihat sejauh bahwa dengan aktivitas mengkonsumsi tersebut nilai yang terdapat pada makanan bisa dinikmati.
Nilai, tidak saja berlaku pada aktivitas alamiah seperti aktivitas konsumsi di atas, tapi juga ada pada segenap perilaku atau tindakan-tindakan manusia yang lain. Terutama dalam hal ini, adalah nilai etis.
Tapi kita dapat kembali bertanya? apakah memang manusia ‘membutuhkan’ suatu nilai etis?
Jika pada aktivitas konsumsi di atas, nilai pada aktivitas tersebut lantaran adanya kebutuhan pada tubuh untuk bertumbuh dan berkembang. Maka, nilai tersebut menjadi relevan sejauh memang ada kebutuhan untuk bertumbuh dan berkembang. Sebaliknya, jika kebutuhan atas itu tiada, misal, seseorang tidak lagi ingin tubuhnya bertumbuh dan berkembang maka aktivitas konsumsi dengan sendirinya tidak akan bernilai.
Dengan begitu, jika nilai etis dibutuhkan oleh manusia, untuk apa praktik-praktik etik mesti dijalankan?
Misalnya, kita manusia, sebagai makhluk sosial membutuhkan suatu sistem yang adil. Pertanyaannya, untuk apa sistem yang adil tersebut mesti dirancang dan dijalankan? dan tentu sebaliknya, apa dampak jika tidak ada sistem yang adil tersebut?
Untuk menjawab hal tersebut kita bisa kembali menilik hal-hal alamiah di atas. Bahwa dengan adanya kebutuhan untuk bertumbuh dan berkembang kita mesti melakukan aktivitas konsumsi, maka mesti ada juga subyek-subyek (harta, barang) yang dapat memenuhi kebutuhan bertumbuh itu sendiri. Untuk itu, aspek fundamental yang mesti kita pastikan adalah, adanya kebutuhan dalam diri.
Tanpa mengerti apa kebutuhan diri, kita tidak akan mengerti apa yang kita butuhkan dan bagaimana cara untuk mendapatkan hal-hal yang kita butuhkan itu.
Maka, mesti kita sadari apa sesungguhnya kebutuhan diri kita sehingga mengharuskan kita membutuhkan nilai-nilai etik? Jika nilai-nilai etik berkaitan dengan konsep kebaikan dan keburukan suatu tindakan untuk dilakukan, maka mesti ada suatu eksistensi pada diri yang membutuhkan nilai-nilai etik tersebut.
Fitrah Insaniyah Sebagai Basis Kebutuhan Etika
Islam memperkenalkan gagasan ‘fitrah insaniyah’ pada manusia. Yakni pada diri manusia terdapat suatu ‘forma’ yang menjadikan manusia menghendaki sesuatu ‘materia’ untuk dipenuhi. Dan inti fitrah pada manusia adalah kehendak untuk menyempurna.
Kehendak untuk menyempurna pada diri manusia lantaran diri manusia berasal dari yang Maha Sempurna. Maka, kesempurnaan adalah titik berangkat perjalanan jiwa yang akan kembali (pulang) kepada titik ia berangkat (bersumber).
Lantas, berikutnya, apa yang dapat menjadikan diri yang hendak menyempurna dapat menyempurna? Maka mesti ada realitas yamg riil yang dapat memenuhi hasrat untuk menyempurna tersebut.
Untuk itu, kita mesti melihat ulang ‘komposisi’ kemaujudan manusia untuk melihat sisi-sisi bentuk kesempurnaan. Dimensi lahiriah manusia (tubuh-biologis) menyempurna dengan terpenuhinya asupan gizi, dan alam material adalah sumber (wahana) penyempurnaan sisi tubuh biologis manusia.
Tapi apakah itu cukup? secara fakta, banyak terbukti mereka yang berkecukupan secara material merasa kosong jiwanya, merasa terasing dan bahkan bisa bunuh diri lantaran tekanan yang kuat yang menghantui jiwanya yang justru muncul dari kemewahan yang dimilikinya.
Hal demikian makin memperjelas, bahwa jiwa manusia juga merupakan suatu eksistensi yang riil yang juga mempunyai suatu kebutuhan. Kebutuhan jiwa untuk menyempurna adalah kebahagiaan. Tanpa kebahagiaan, bahkan kemewahan materi tiada guna bagi sesuatu yang eksistensial pada manusia: Jiwa.
Apa yang membuat jiwa bahagia tentu saja adalah apa yang “bermakna”. Makna di sini bersifat immaterial, salah satunya adalah Kebenaran, maka jiwa identik dengan kebenaran. Tidak ada jiwa (rasio-akal) yang menghendaki kesalahan, demikian itulah fitrah manusia. Kebenaran dapat menyempurnakan jiwa.
Namun, kebenaran masih terkait dengan kebutuhan konsepsi pada jiwa. Sementara realitasnya, manusia tidak hanya mengkonsepsi (berpikir, merenung, berkomtemplasi) tapi manusia juga makhluk bertindak. Maka tindakan yang bagaimana yang dapat memenuhi hasrat kebahagiaan yang dapat menyempurnakan jiwa?
Maka, tentu saja, secara fitrah tindakan tersebut mesti memiliki nilai kebaikan. Kebaikan sejauh merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh jiwa dalam bertindak (amal), masihlah suatu forma ideal yang belum memiliki bentuk-bentuk yang konkret. Ia pertama-tama memang merupakan kehendak murni. Untuk itu konkretisasinya mesti dirumuskan oleh akal. Apa dan bagaimana yang baik itu?
Prinsip rasionalnya adalah bahwa sesuatu yang baik adalah sesuatu yang menjadikan jiwa bahagia, karena itulah tuntutan fitrah manusia untuk menyempurna.
Sementara konsepsi mengenai kebahagiaan bisa berbeda-beda. Di sinilah peran “kesadaran diri” sebagai kriteria menempatkan nilai-nilai moral. Kesadaran diri tentu bertingkat-tingkat, bersifat gradasional. Misalnya, saat usia manusia masih kanak-kanak, apa yang membahagiakannya adalah dapat bermain sebebas mungkin, makan seenak mungkin, dan tidur senyenyak mungkin. Beranjak dewasa, dia mulai berpikir berbeda, apa yang membahagiakannya barangkali tidak lagi seperti konsepsinya saat masa kanak-kanak, dia tidak lagi berpikir ingin bermain sebebas mungkin, dia coba membatasinya, begitu pula dia semakin memperhatikan gizi dari sebuah makanan sehingga tidak sekedar makan yang enak-enak. Bahkan dia mulai mengerti arti persahabatan, keluarga dan hidup bermasyarakat sehingga apa yang membahagiakannya adalah saat menjaga perasaan sahabat, menjaga keutuhan keluarga dan menjaga keharmonisan hidup sosialnya.
Dalam pandangan spiritualitas Islam, puncak kebahagiaan manusia adalah mengenal Tuhannya. Karena sadar bahwa mengenal Tuhan adalah tujuan hidupnya, yang tanpanya dia akan merasa bimbang.
Dan untuk mengenal Tuhannya, ia mesti mengenal dirinya, dan saat ia mengenal diri yang sejati sesungguhnya ia mengenal kemanusiaan yang bersifat universal. Sehingga perilaku moral yang diyakininya sebagai kebaikan adalah tindakan-tindakan yang menghormati dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan, non-diskriminasi, kasih sayang sesama, dan sebagainya.
Maka, basis nilai moral manusia bergantung pada derajat kesadaran diri. Dan ia berpulang kepada konsepsi akan apa yang disebut ‘diri’. Dalam ranah diskursus filsafat, ‘diri’ dimengerti sebagai ranah transendental (metafisik-ontologis). Maka, pandangan etis seseorang berpulang pada konstruksi metafisikanya.
Bahkan bagi mereka yang menafikan realitas metafisik sekalipun tetap saja mengandaikan konsepsi-konsepsi metafisik seperti keadilan, kesetaraan, harkat-martabat kemanusiaan. Seorang yang ateis misalnya, ia mungkin menolak keberadaan Tuhan, tapi apakah ia menolak nilai kehormatan dirinya sebagai manusia? yang mesti diperlakukan secara baik dan adil? Dan apakah kehormatan, martabat dan nilai-diri bersifat material? adakah kita daapatkan barang material yang disebut ‘kehormatan, harkat dan martabat’?