Peran Perempuan dalam Kebangkitan al-Husain as (Bagian Kedua)
Dalam tragedi Asyuro perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan misinya. Jika kita petakan secara global berdasarkan waktu, maka peran perempuan tersebut dapat diklasifikasikan peranannya pada Hari Asyuro, dan pasca Asyuro.
Peran Perempuan pada hari Asyuro
Tragedi Asyuro merupakan hari peperangan kedua pasukan yang tidak sebanding. Di satu pihak, pasukan Umar bin Sa’ad dengan jumlah bala tentara yang sangat banyak, serta dilengkapi dengan persenjataan lengkap. Di pihak lain, pasukan Imam Husain as dengan tentara amat terbatas, dan perlengkapan perang yang sangat sederhana. Sebenarnya peperangan antara pasukan Umar bin Sa’ad dan Imam Husain as di padang Karbala lebih pantas disebut sebagai ‘pembantaian’ daripada peperangan.
Dalam Islam, jihad tidak diwajibkan bagi perempuan namun mereka dapat melakukan hal-hal yang dapat membantu terwujudnya kesuksesan dalam peperangan seperti memberikan semangat, merawat orang-orang yang terluka, membagi-bagikan air kepada tentara dan lain sebaginya. Demikian pula para perempuan ikut hadir di padang Karbala. Kendati mereka tidak mengangkat senjata dan berperang tetapi mereka melakukan hal-hal sesuai dengan kemampuan mereka dalam turut membela imam dan pemimpin mereka, al-Husain as. Beberapa langkah yang dilakukan Zainab as pada hari Asyuro yang;
Memberikan ketenangan kepada para perempuan dan anak-anak hingga dapat menguasai diri dalam menghadapi kondisi sulit saat itu.
Berdasarkan hikmah-Nya, Alloh Swt telah menganugrahkan kadar emosional lebih kepada perempuan dibandingkan lelaki. Jiwa perempuan mudah tersentuh dan perasaannya sangat lembut. Seandainya para perempuan pada hari Asyuro tidak pandai menguasai dirinya, maka para musuh Allah Swt akan dengan mudah mengalahkan pasukan Imam Husain as. Mereka telah tampil dengan kokoh dan tegar walaupun kondisi kala itu sangat menyayat hati. Zainab al-Kubro as sebagai sosok perempuan yang sangat matang dalam segala, mampu memimpin para perempuan dan memberi ketenangan kepada mereka.
Merawat dan menjaga penerus Imam Husein as
Memburuknya kondisi Imam Ali Zainal Abidin Sajjad as, saat itu merupakan hikmah Ilahi, demi keberlangsungan keimamahan pasca Imam Husain as. Jika tidak demikian, maka musuh-musuh Imam Husain as akan membantai habis dan tidak akan menyisakan seorang laki-laki pun dari keturunan Imam Husain as.
Mengemban wasiat Imam Husain as tentang keimamahan sepeninggalnya
Ini merupakan tugas terpenting dan terberat di antara tugas-tugas lain yang diembannya. Pada detik-detik menjelang berakhirnya tragedi Asyuro, Imam Husain as pergi menuju kemah anaknya, Imam Ali Zainal Abidin as yang tengah sakit keras untuk mengucapkan perpisahan dengannya. Beliau mengetahui bahwa ajalnya semakin dekat. Imam Husain as memasuki kemah, sementara Imam Sajjad as tengah terbaring dan tergeletak dalam keadaan sakit di atas tanah yang hanya beralaskan kulit yang sudah dikeringkan.
Saat itu Zainab as tengah merawatnya. Waktu Imam Sajjad as melihat Imam Husain as datang, beliau hendak berdiri sebagai tanda penghormatan. Namun Imam Husain as tidak mengizinkannya untuk berdiri. Imam Sajjad as berkata kepada Zainab al-Kubro, “Bibiku, sandarkan diriku pada dadamu, karena putra Rasulullah telah datang.” Sayidah Zainab as pun memenuhi permintaannya.
Setelah menanyakan kondisi kesehatannya, lalu Imam Husein as berbincang-bincang dengannya. Saat itu, Imam Sajjad as menanyakan tentang pamannya, Abul Fadhl al-Abbas, semua saudaranya dan para sahabat. Imam Husain as menjawab, “Wahai anakku, ketahuilah, tidak ada laki-laki (dewasa) lain yang tersisa di antara kemah-kemah ini melainkan hanya aku dan engkau saja. Dan orang-orang yang telah engkau tanyakan tadi semuanya telah terbunuh dan terjatuh di atas tanah.”
Mendengar hal tersebut Imam Sajjad as menangis dengan penuh kesedihan seraya berkata kepada Zainab as, “Wahai bibiku, berikan kepadaku pedang dan tongkat.”
“Untuk apa engkau menginginkan benda itu?” tanya Imam Husain as. Imam Sajjad as menjawab, “Aku ingin bersandar pada tongkat dan membela putra Rasulullah dengan pedang ini.” Namun Imam Husain as mencegahnya dan merengkuhnya seraya berkata, “Wahai anakku, engkau adalah sebaik-baiknya keturunanku, ithrahku yang paling utama…”
Setelah mengungkapkan keutamaan-keutamaan Imam Sajjad as, lalu Imam Husain as memegang tangannya, dengan suara lantang beliau berkata, “Wahai Zainab, wahai Ummu Kultsum, wahai Ruqayyah, wahai Fathimah dengarkanlah ucapanku dan ketahuilah; sesungguhnya anakku ini adalah khalifahku atas kalian semua dan Imam yang harus dita’ati.”[1]
Wasiat Imam Husain as ini, dengan jelas menunjukkan keimamahan pasca beliau, dan keimamahan ini harus dijaga dan disampaikan kepada masyarakat.
[1] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, hal 216-217