Peran Perempuan dalam Kebangkitan al-Husain (Bagian Keempat)
Dalam artikel ini masih melanjutkan tentang peran perempuan dalam kebangkitan al-Husain pasca tragedi Asyuro, kita menelaah kembali bagaimana peran perempuan di kota Kufah berusaha untuk menyadarkan masyarakat yang telah berkhianat kepada Imam Husein as. Juga, peran cantik mereka dalam menghadapi Gubernur Kufah yang sangat congkak itu berhasil ditaklukan oleh Sayidah Zainab as melalui kata-kata dan argumentasi-argumentasinya yang sangat menohok.
Risalah dan Aktifitas Perempuan di Kufah
Di sini dapat kita saksikan bahwa para perempuan lebih aktif berbicara, karena jika Imam Sajjad as yang lebih aktif dan vokal membongkar semua kebusukkan penguasa niscaya jiwa beliau akan terancam bahaya. Setelah itu Zainab al-Kubro as berpidato di hadapan penduduk Kufah. Basyir bin Khuzaim berkata, “Aku melihat Zainab binti Ali saat itu, tak pernah kusaksikan seorang tawanan yang lebih piawai darinya dalam berbicara. Seakan kata-katanya keluar dari mulut Imam Ali as.”
Adapun isi khutbah Zainab as di hadapan masyarakat Kufah adalah;
- Menggambarkan dan mengenalkan kondisi dan karakteristik masyarakat Kufah kala itu. Beliau menggunakan perumpamaan sehingga mudah dipahami oleh banyak orang dan menggunakan realitas yang mengisyaratkan sifat-sifat masyarakat Kufah.
- Sebab-sebab yang menjadikan masyarakat Kufah bernasib seperti itu, di antaranya karena mereka telah membunuh, menyebarkan kejahatan dan kefasadan, cinta dunia, pengecut dan tidak berpendirian (mudzabdzab).
- Nasib yang akan menimpa masyarakat Kufah setelah menghianati Imam Husain as berupa kecelakaan dan kesengsaraan di dunia dan akhirat.[1]
Penduduk Kufah diam membisu dan menangis menyesal usai mendengar khutbah Zainab as. Menyadari semua kesalahannya, namun penyesalan mereka tak ada gunanya, Imam Husein as syahid tanpa mereka bela.
Usai khutbah Zainab as, para tawanan dan kepala suci Imam Husein as diarak ke istana Ubaidillah bin Ziyad. Ubaidillah duduk dengan congkak di atas singgasananya. Setelah memasuki istana, Zainab as duduk dengan wajah yang sulit dikenali. Ibnu Ziyad bertanya, “Siapakah dia?” Zainab as tidak menjawabnya sampai Ibnu Ziyad mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Hal ini merupakan sebuah penghinaan terhadap Ibnu Ziyad, sang penguasa. Salah seorang dari perempuan menjawab,“Dia Zainab putra Ali!” Dengan penuh kecongkakan, dengan tujuan untuk merendahkan dan meremehkan mereka, Ibnu Ziyad melihat ke arahnya berkata, “Puji syukur aku panjatkan pada Allah Swt yang telah mempermalukan kalian dan telah membuka kedok kebohongan kalian semuanya.”
Zainab al-Kubro as menjawab, “Yang sebenarnya dipermalukan Allah ialah kalian yang fasik, dan yang mempunyai kebohongan ialah para pendusta, bukan kami.”
Ibnu Ziyad menyahut, “Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah Allah timpakan terhadap saudara dan keluargamu?” Tanpa diduga oleh Ibnu Ziyad, dengan tegas Zainab as menjawab dengan ungkapan yang sangat indah, ”Tidaklah kulihat semua ini melainkan keindahan. Mereka ialah orang-orang yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt untuk mati terbunuh. Mereka pun bergegas menyongsong kematian itu. Allah Swt kelak akan mempertemukanmu dengan mereka. Kelak engkau akan dihujani pertanyaan dan disudutkan. Lihatlah, siapakah yang akan menang pada hari itu? Semoga ibumu memakimu, hai anak Marjanah!”[2]
Jawaban beliau yang tegas itu telah mengurangi kadar kesombongan Ibnu Ziyad, dan membuatnya merasa dipermalukan di hadapan masyarakat. Ia menjadi murka setelah mendengar jawaban Zainab as.
Jawaban Zainab as tersebut melukiskan bahwa beliau lebih mengutamakan keridhoan Ilahi di atas segalanya. Betapa tinggi derajat makrifat beliau. Jelaslah bahwa beliau adalah seorang arif dan merupakan salah satu wali Allah Swt di muka bumi. Baginya, segala ketentuan Allah Swt adalah indah dan baik, “Tidaklah kulihat semua ini melainkan keindahan.” Sungguh ungkapan yang sangat luar biasa, yang tidak mungkin keluar dari sosok manusia biasa.
Kini, tiba saatnya untuk menyampaikan kepada masyarakat akan kebenaran dan hakikat Asyuro. Penguasa zalim berusaha mengelabuhi masyarakat kepada khalayak umum. Bahwa mereka berada di pihak yang benar sedang Imam Husain as bersama para pembelanya adalah pemberontak yang menentang penguasa legal. Yazid dan antek-anteknya selalu berusaha mencari pembenaran atas sikap dan perbuatan kejinya terhadap Imam Husain as bersama para pembelanya. Jika para tawanan Karbala diam seribu bahasa dan tidak berusaha untuk membuka kebusukan-kebusukan Yazid beserta antek-anteknya dengan berbagai cara seperti melalui pernyataan, sikap dan peringatan maka opini umum akan selalu bersahabat dan mendukung penguasa zalim yang selalu berusaha melakukan fallacy (memutarbalikkan fakta, menampakkan kebathilan sebagai kebenaran atau sebaliknya).
Seusai berdialog dengan Zainab as, Ibnu Ziyad menoleh ke arah Imam Sajjad as dan bertanya, “Siapakah anda?” Imam Sajjad as menjawab, “Aku adalah Ali bin Husain.” “Bukankah Allah telah membunuh Ali bin Husain?” tanya Ibnu Ziyad dengan congkak. Imam Sajjad as kembali menjawab, “Aku memiliki seorang saudara yang bernama Ali bin Husain yang telah dibunuh oleh mereka.” Ibnu Ziyad dengan sombong berkata, “Tidak, Allah yang telah membunuhnya.” “Allah Swt telah mengambil nyawanya ketika ia mati,” sahut Imam Sajjad as.[3]
Jika kita cermati argumen Ibnu Ziyad, nampak ia selalu berusaha untuk mengelabui kaum muslimin. Bagaimana tidak, dengan congkaknya ia mengatakan bahwa Allah-lah yang telah membunuh Ali bin Husain as. Artinya, ia ingin menyatakan kepada khalayak, “Jangan salahkan kami (Ibnu Ziyad), bukan kehendak kami melakukan pembantaian di Karbala tetapi itu adalah kehendak Allah.”
Argumen pembelaan diri semacam ini ibarat pepatah yang mengatakan, “Lempar batu sembunyi tangan.” Artinya dengan berkedok keyakinan determinisme (jabriyah), ia ingin berlepas tangan dari kesalahan yang telah diperbuatnya. Masyarakat awam mungkin dengan mudah akan membenarkan semua pernyataan Ibnu Ziyad, bahwa Allah-lah yang telah membunuh Imam Husain as -dengan takdir yang telah ditentukan oleh-Nya- sementara pasukan Yazid hanya sebagai pelaksana dari takdir tersebut. Pemikiran jabriyah adalah sebuah pemikiran yang cukup membahayakan Islam kala itu. Pemikiran ini telah merubah fakta, memutarbalikkan kebenaran dan kebathilan sedemikian rupa. Oleh karena itu, salah satu misi para tawanan tragedi Karbala yang dikendalikan Sayidah Zainab as adalah merubah pemikiran ini. Mereka harus mampu mengubah opini umum yang tidak bertentangan dengan Islam murni yang dibawa oleh Ahlul Bait as.
Ibnu Ziyad sangat murka setelah mendengar semua jawaban dari Imam Ali Zainal Abidin as. Kemudian ia memerintahkan bawahannya untuk membunuh beliau. Namun Zainab as menghalanginya seraya berkata kepada Ibnu Ziyad, “Wahai Ibnu Ziyad, belum cukupkah engkau tumpahkan darah kami?” Zainab as langsung memeluk Imam Sajjad dan berkata, “Demi Allah, aku tidak akan pernah berpisah darinya. Jika engkau ingin membunuhnya maka bunuh jugalah aku. “[4]
Inilah risalah pertama yang dilaksanakan para perempuan di kota Kufah
[1] Muhammad Kazim Qazwini , Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, hal:279-281
[2] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, hal 247-248.
[3] Muhammad Kazim Qazwini , Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, hal 249.
[4] Muhammad Kazim Qazwini , Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, hal 250