Perempuan & Ghadir Khum; Wilayatul Alawi wa Dhuhuriyatul Mahdawi
Euis Daryati Lc, MA_______ Dalam setiap peristiwa penting maka tidak akan terlepas dari peran signifikan dari perempuan, misalnya Islam dan dakwah Nabi Muhammad sukses dan berkembang berkat peran dan suport luar biasa Sayidah Khadijah. Selain mengimani kenabian dan risalah Nabi Muhammad Saw, juga turut membantu dengan segala upaya dalam penyebaran dan pembelaan terhadap Nabi Muhammad Saw. Sayidah Khadijah as sebagai perempuan pertama beriman kepada Islam, Sumayyah sebagai perempuan syahidah pertama dalam membela Islam, juga terkait perempuan-perempuan lainnya yang memiliki peran signifikan.
Perempuan memiliki peran signifikan dalam membela Islam, begitu juga dengan masa depan Islam, bagaimana Islam dan umat Islam pasca wafat Rasulullah Saw. Bagaimana mereka menjaga dan membela amanah Rasulullah Saw terkait penggantinya. Peristiwa Ghadir Khum yang terjadi setelah Haji Wada’ adalah peristiwa penyampaian amanah Rasulullah Saw kepada umatnya terkait pemimpin setelahnya. Para perempuan yang turut hadir dalam peristiwa tersebut, selain sebagai saksi hidup atas hal itu, juga ingin menyampaikan bahwa untuk pembelaan Islam, baik pada era Rasulullah Saw maupun pasca Rasulullah Saw, itu senantiasa melibatkan perempuan. Salah satu cara yang dilakukan perempuan untuk menjaga dan membela amanah Rasulullah Saw terkait kepemimpinan Imam Ali as pasca Rasulullah saw, adalah dengan meriwayatkan hadis Ghadir.
Di sini kita akan melihat perempuan-perempuan yang telah meriwayatkan hadis Ghadir, baik dari kalangan sahabat maupun Tabi’in.
Kalangan Sahabat
Sayidah Fathimah Zahra as dalam berbagai kesempatan telah meriwayatkan hadis Ghadir Khum dan berkali-kali mengingatkan peristiwa tersebut, sehingga muhajirin dalam jawabannya berkata bahwa jika engkau menyampaikan hal tersebut sebelum berbaiat kepada yang lainnya, maka kami akan membaiat Ali.
Dalam menjawab hal ini Sayidah Fathimah menjawab,
هل ترك أبي يوم غدير خم لاحد عذرا
“Apakah ayahku terkait peristiwa Ghadir Khum akan memberikan uzur bagi seseorang?” (Hishal haduq,jil.1, hal.173; Al-Awalim, jil.11, hal.467)
Begitu juga ucapan Sayidah Fathimah ke Mahmud bin Lubaid yang mengatakan, “Aku heran apakah kamu melupakan peristiwa Ghadir Khum?” (Biharul Anwar, jil.36, hal.353)
قالت انسيتم قول رسول الله (ص) يوم غدير خم من كنت مولاه فعلي مولاه
Dia (Sayidah Fathimah) berkata, “Apakah kalian melupakan ucapan Rasulullah saw di hari Ghadir Khum bahwa barangsiapa yang aku walinya, maka Ali adalah walinya.” (Ihqaqul Haq, jil.6, hal.282)
Dan beberapa riwayat lainnya.
Ummu Salamah
Ummu Salamah adalah istri Rasulullah Saw yang ikut serta dalam melakukan ibadah haji Wada’ dan pada saat itu menjadi salah satu saksi peristiwa Ghadir Khum. Dia meriwayatkan hadis tersebut berkata,
اخذ رسول الله (ص) بيد علي بغدير خم فرفعها حتی راینا بیاض ابطیه فقال: من کنت مولاه فعلي مولاه…
Rasulullah Saw mengambil tangan Ali dan mengangkatnya hingga kami melihat ketiaknya yang putih seraya berkata, “Barangsiapa yang menjadikan aku walinya maka Ali adalah walinya…” (Al-Ghadir, jil.1, hal.388)
Ummu Salamah yang pasca wafatnya Rasulullah Saw senantiasa menyampaikan hadis Ghadir Khum dan membela wilayah Imam Ali as, dan ia juga memerintahkan kepada anak-anaknya agar senantiasa setia dengan Imam Ali.
Asma binti Umais
Ia termasuk perempuan yang banyak meriwayatkan hadis dari Ahlulbait Nabi Saw, terkhusus terkait dengan kedudukan Imam Ali as. Amsa binti Umais termasuk orang yang pertama masuk Islam. Ia bersama suaminya, Jakfar menyatakan keimanan kepada Rasulullah Saw, dan kemudian bersama suaminya pula ia Hijrah ke Habasyi. Setelah suaminya mati syahid, ia menikah dengan Abu Bakar dan memiliki anak bernama Muhammad. Saat melaksanakan Haji Wada’ Asma binti Umais adalah istri Abu Bakar, dan di perjalanan haji tersebut Muhamad lahir. Ibnu Uqdah dalam kitab Wilayah telah meriwayatkan hadis Ghadir Khum dari Asma binti Umais. (Al-Ghadir, jil.1, hal.17)
Aisyah binti Abu Bakar
Aisyah adalah istri Rasulullah Saw yang ikut dalam melaksanakan Haji Wada’ dan ia pun termasuk yang menyaksikan peristiwa Ghadir Khum dan pengangkatan Imam Ali as sebagai pengganti Rasulullah Saw. Ibnu Uqdah juga telah meriwayatkan hadis Ghadir Khum dari Aisyah. (Al-Ghadir, ji.1, hal. 48)
Di antara perempuan dari kalangan sahabat Nabi Saw yang telah meriwayatkan hadis Ghadir Khum adalah Fathimah binti Hamzah bin Abdul Muthalib, istri Zaid bin Arqam dan lainnya.
Kalangan Tabi’in
Dari kalangan tabiin pun terdapat banyak perempuan yang telah mriwayat hadis Ghadir Khum, artinya bahwa ini menunjukkan pentingnya masalah tersebut juga peran perempuan yang signifikan dalam hal ini.
Kilas balik tentang peristiwa Ghadir Khum dalam rangka melihat berbagai aspek penting terkait hal itu, tentunya hal ini bukan dengan tujuan untuk memunculkan permasalahan atau perpecahan di kaum muslimin. Kita akan berbicara tentang hal itu sendiri, juga terkait bagaimana kenyataannya. Dalam hal ini kita dapat melihat langkah yang diambil oleh Imam Ali as, beliau tidak hanya berbicara tentang haknya yang diyakininya, tapi juga tentang kemaslahatan Umat Islam dan Islam. Beliau mengatakan bahwa sumpah demi Allah, akan serahkan urusan ini selama urusan kaum muslimin terjaga, selama tidak terjadi urusan umat Islam dan Islam sendiri”. Beliau tidak ingin hal tersebut hanya jadi perdebatan dan perbincangan yang menyebabkan muncul masalah lain yang merusak kemaslahatan Islam dan umat Islam.
Imam Ali sebagai figur terbaik setelah Rasulullah Saw yang langsung telah dipilih Allah SWT dan Rasul-Nya. Imam Ali as menjelaskan keadaan diri dan jiwanya sebagai berikut, “Demi Allah, sekiranya seluruh yang ada di kolong langit diberikan kepadaku agar aku berlaku lalim terhadap seekor semut, dengan merebut kulit biji gandum darinya, maka tidak akan aku lakukan.” (Nahj al-Balaghah, Khutbah ke-215)
Jika melihat kembali peristiwa Ghadir Khum, peran para perempuan dalam meriwayatkan, menyebarkan, mengingatkan tentang peristiwa tersebut, maka terlepas hanya sekedar meriwayatkan maka itu juga terkait dengan pembelaan atas pemilik wilayah yang hak pasca Rasulullah Saw. Artinya dengan segenap kemampuannya hendak berusaha untuk menyebarkan dan membelanya. Adapun berhasil atau pun tidak usaha tersebut itu sudah di luar wilayah mereka. Ini berkaitan dengan taklif dan tugas berkaitan dengan pemimpin pada yang hak. Risalah, nabawiyah, wilayah dan dhuhuriyah adalah hal yang saling berkaitan yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Oleh karena itu, jika perempuan pada masa sebelumnya dengan segala usahanya berusaha membela wilayah melalui periwatan hadis, dan lainnya, nah, sekarang di era penantian bagaimana mempersiapkan, mensosialisasikan untuk menyambut dhuhuriyah al-Mahdi afs, wilayatul Alawi wa dhuhuriyatul Mahdawi.