Sayidah Fathimah as; Mendidik & Menyadarkan Umat
Euis Daryati, MA _____ Masih teringat kisah tak terlupakan saat anak-anak masih kecil; sekitar usia tiga tahun, lima tahun dan kelas enam SD. Saat itu ada jadwal mengisi pondok Ramadan untuk anak-anak usia TK-SD. Jika tidak ada ayahnya yang akan membantu menjaga anak-anak selama mengajar, maka anak-anak akan ikut mengajar. Pulang mengajar, bertemu seseorang yang tiba-tiba berkata, “Seharusnya anak-anak masih kecil itu hanya fokus merawat dan mendidik mereka, jangan dulu beraktivitas mengajar dan lainnya sampai mereka besar.”
Awalnya sempat kaget juga mendengarnya, karena sepertinya kurang tepat langsung bicara seperti itu tanpa melihat kondisi secara keseluruhan. Kemudian dengan santai saya menjawab,
“Pertama, saya tidak merasa kesulitan beraktivitas seperti mengajar sambil tetap merawat dan mendidik anak-anak. Kedua, jika saya mengajar anak-anak lainnya harus menunggu anak-anak saya besar, sementara SDM dalam hal ini sangat minim, maka kita akan terdahului oleh kelompok Islam radikal yang dengan gencar merangkul anak-anak dengan beragam program. Jika harus menunggu anak-anak besar, sementara mampu melakukannya dengan tetap perannya sebagai ibu, maka akan kehilangan banyak anak-anak lainnya yang akan direkrut oleh kelompok Islam radikal.”
Mari kita berkaca kepada sirah kehidupan Sayidah Fathimah as? Apakah beliau hanya duduk manis di rumah fokus mengurus masalah rumah tangga? Hanya fokus merawat dan mendidik anak-anaknya? Tentu jawabannya tidak. Perempuan sebagaimana laki-laki memiliki tanggung jawab yang sama terhadap Islam dan masyarakat. Terdapat peran penting dalam pendidikan umat terutama dalam bidang yang lebih tepat dilakukan oleh perempuan. Karena tanggungjawabnya di samping sebagai pribadi di hadapan Allah SWT, sebagai ibu dan istri dalam keluarga, perempuan pun memiliki tanggungjawab di masyarakat. Sayidah Fathimah az-Zahra as tidak mengajarkan sikap apriori atas fenomena di masyarakat dan dunia Islam. Perempuan pun memliki peran penting dalam pendidikan umat, pendidikan yang bersifat kolektif yang tidak mampu dilakukan di dalam keluarga secara keseluruhan karena keterbatasan ilmu dan waktu orang tua. Di sisi lain, kehidupan masyarakat pun akan berpengaruh pada kepribadian manusia, termasuk anak dan generasi Islam. Karena itu, kita pun beranggungjawab untuk membangun karakter sebuah masyarakat, berkarakter baik dan islami, berkarakter toleran dan tidak radikal.
Sayidah Fathimah az-Zahra as dengan perannya sebagai ibu dan istri, beliau pun aktif terjun di masyarakat dalam bidang dakwah dan pendidikan umat. Beliau menjawab berbagai pertanyaan tentang hukum Islam para wanita Kota Madinah yang datang merujuk kepada beliau. Suatu hari, seorang perempuan datang menghadap Sayidah Fathimah as untuk menanyakan berbagai hukum.
“Wahai putri Rasul, aku memiliki seorang ibu yang sudah tua, ia mempunyai banyak pertanyaan tentang shalat, karena itu ia mengirimku untuk menanyakannya kepadamu,” ucap perempuan tersebut.
“Bertanyalah,” jawab Sayidah Fathimah as. Kemudian perempuan itu menanyakan berbagai hukum dan permasalahan sampai ia sendiri malu sendiri untuk bertanya lagi karena banyaknya pertanyaan yang dilontarkan.
“Wahai putri Rasul, mohon maaf karena banyak bertanya yang telah membuat engkau repot.” Ucapnya.
Sayidah Fathimah as berkata, “Silahkan bertanya lagi jika engkau masih memiliki pertanyaan-pertanyaan. Apakah akan terasa berat oleh seseorang yang disuruh mengangkat beban untuk dibawa ke atap rumah dengan imbalan seribu Dinar emas?”
“Tidak,” jawabnya.
“Aku mendapatkan pahala dari menjawab tiap pertanyaan yang engkau lontarkan itu melebihi jarak antara bumi dan arsy dari perhiasan dan mutiara-mutiara, karena itu pantaskah aku harus merasa terbebani untuk menjawab semua pertanyaan ini?”[1]
Sayidah Fathimah as untuk perannya dalam dakwah dan pendidikan umat tidak harus berangkat ke Lembaga Pendidikan agar berilmu, tentunya berbeda dengan kita yang harus belajar dan melewati berbagai jenjang pendidikan agar memiliki bekal ilmu dan keterampilan dalam membangun masyarakat dan mendidik umat. Sayidah Fathimah as juga mengajarkan bagaimana dengan usia yang sangat singkat (pendapat masyhur wafat usia 18 tahun) memiliki usia yang berkah, melakukan berbagai aktivitas dalam keluarga dan umat, serta mencapai level kesempurnaan yang luar biasa.
Beliau juga mendidik dan mengkader perawi hadis, Asma menjadi seorang ulama dan Fidhah Hindi menjadi penghafal dan menguasai Al-Quran, pelayan beliau yang sejak wafat Sayidah Fathimah az-Zahra as tidak pernah berbicara kecuali dengan Al-Quran. Karena ia senantiasa melihat majikannya melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran meskipun sedang bekerja.
Sayidah Fathimah as bukan sekedar berperan dalam pendidikan umat, namun juga berjuang dalam menyadarkan umat dari penyimpangan dan penyelewengan. Di antara gerakkan yang telah dilakukan oleh Sayidah Fathimah as dalam rangka menyadarkan umat adalah mendatangi dan mengetuk rumah Muhajirin dan Anshar selama empat puluh hari dengan membawa Imam Hasan dan Imam Husain yang masih kecil, dan berpidato sebanyak tiga kali; pada saat para sahabat mendatangi rumahnya untuk mengambil baiat Imam Ali as, di Masjid Nabawi di hadapan Muhajirin dan Anshar, dan pada saat kondisi telah sakit di hadapan perempuan Muhajirin dan Anshar. Kenapa melakukan itu? Karena Sayidah Fathimah as telah melihat umat Islam menyimpang dan menyelewengkan perintah Allah Swt dan Rasulullah Saw. Sayidah Fathimah as tanpa kenal lelah menjalankan tugas penting itu sampai titik darah penghabisan, meskipun hasilnya tidak sesuai yang diharapkan.
Dan sekarang pun dengan meneladani Sayidah Fathimah as, kita memiliki tugas yang sama jika menyaksikan penyimpangan dan penyelewengan di masyarakat, baik masyarakat offline maupun online, maka kita hendak berusaha untuk menyadarkannya dengan beragam cara. Wallahualam
[1] Biharul Anwar, jil 2, hal 3