Tafsir Misoginis (1): Memahami Teks-Teks Agama yang Berkonotasi Negatif
Euis Daryati,Lc,MA___ Sejak dahulu kala, sudah muncul pandangan-pandangan rendah (stereotype) pada perempuan. Istilah yang digunakan untuk sebuah pandangan yang merendahkan perempuan disebut dengan ‘misoginis’. Sayangnya, pandangan seperti ini seolah mendapat pembenaran dari teks-teks agama. Sebagai contoh, dalam buku-buku hadis dapat ditemukan hadis-hadis yang terlihat merendahkan derajat perempuan. Misalnya:
“Bala tentara setan terbesar adalah wanita.” [Mizan al-Hikmah, jilid 9, hal: 107]
“Sesungguhnya perempuan itu imannya, hartanya dan akalnya adalah kurang. Imannya kurang karena tidak shalat dan puasa saat menstruasi. Sedang akalnya kurang karena kesaksian dua perempuan sama dengan kesaksian seorang laki-laki. Dan kurang hartanya karena warisan perempuan setengah dari warisan laki-laki.” [Nahjul Balaghah, khutbah ke-80]
“Jauhilah bermusyawarah dengan perempuan karena pendapat dan tekadnya lemah.” [Wasa’il as-Syi’ah, jilid 14, hal: 131]
Anggapan bahwa Islam merendahkan wanita disebabkan penafsiran yang sangat dangkal terhadap teks-teks agama. Hadis atau ayat Al-Quran yang ada dipenggal dan diambil begitu saja; tidak ditelaah secara menyeluruh. Dalam kesempatan ini, kita akan menganalisa salah satu hadis kontroversial berikut ini: “Sesungguhnya perempuan itu imannya, hartanya dan akalnya adalah kurang.” [Nahjul-Balaghah, khutbah ke-80]
Apakah hadis ini menunjukkan kekurangan perempuan secara eksistensial? Jika benar, lalu bagaimana dengan sosok-sosok mulia seperti Maryam as dan Asiah as, padahal Allah SWT memuji mereka dalam Al-Quran? Atau Sayyidah Khadijah as dan Sayyidah Fathimah Zahra as yang telah dipuji Allah lewat Rasul-Nya dengan memperkenalkan mereka sebagai manusia sempurna? Bukankah konsekuensi sebagai manusia sempurna adalah kesempurnaan akal dan iman?
Untuk lebih memahami muatan sebuah hadis, terutama hadis kontovresial ini, kita harus melihat hadis-hadis lain yang terkait apakah ada pertentangan di antara hadis-hadis itu atau tidak? Kita juga harus melihat situasi dan kondisi ketika hadis tersebut disampaikan.
Dalam lanjutan hadis di atas, dijelaskan bahwa sebab kekurangan imam perempuan berupa dispensasi yang diberi Allah SWT pada wanita untuk meninggalkan shalat dan puasa pada masa menstruasi. (Nahjul-Balagah, Khutbah ke-80) Bila kita teliti dengan baik, dispensasi ini sama sekali tidak merendahkan kedudukan perempuan, karena:
Pertama, ketika perempuan tidak melaksanakan shalat dan puasa pada masa menstruasi , sebenarnya dia tengah mentaati perintah Allah SWT. Bukankah Allah SWT yang melarang wanita untuk shalat dan puasa dalam kondisi itu? Tak ada perbuatan manusia yang lebih bernilai kecuali perbuatan yang dilakukan dalam rangka mentaati perintah-Nya. Kita masih ingat bahwa iblis yang telah beribadah ribuan tahun itu akhirnya terlaknat karena menolak perintah Allah untuk bersujud pada Nabi Adam as.
Kedua, benar perempuan mendapatkan dispensasi dalam beberapa ibadah, tapi perempuan lebih cepat mencapai usia taklif. Usia balig perempuan adalah 9 tahun sedang laki-laki 15 tahun. Lalu pada usia 50 tahun seorang perempuan memasuki masa menopause hingga tak punya halangan lagi untuk beribadah secara penuh. Bahkan pada masa kehamilan dan menyusui, Allah SWT memberi pahala istimewa pada perempuan. Rasulullah Saw pernah bersabda, “Pahala perempuan hamil seperti pahala orang yang berjihad di jalan Allah. Melahirkan akan membuat dosa-dosa perempuan terampuni. Begitu pula, pahala perempuan yang menyusui seperti pahala orang yang membebaskan budak di jalan Allah.” Karena itu, secara kuantitas tidak ada perbedaan waktu ibadah antara laki-laki dan perempuan.
Ketiga, ada penafsiran lain dari hadis yang mengatakan ‘perempuan imannya kurang’. Mungkin hadis ini mengisyaratkan bahwa dispensasi dalam ibadah yang diberi pada wanita bisa berpotensi memperlemah iman. Dalam hadis lain yang terkait dengan masalah menstruasi, perempuan disunahkan membersihkan dirinya lalu berwudhu saat waktu shalat tiba. Setelah itu duduk menghadap kiblat dan dia bisa berzikir, berdoa’ atau bermunajat kepada Allah SWT. [Tahrir Wasilah, Bab Hukum-Hukum bagi Wanita Menstruasi]. Dengan demikian, perempuan bisa mengisi kekosongan hubungan spiritual yang mungkin tercipta karena terputusnya beberapa ritual ibadah sehari-hari akibat menstruasi lewat ibadah yang lain.
Keempat, Allah SWT memang menciptakan sistem anatomi tubuh yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Setelah masuk usia balig, setiap bulan dinding rahim perempuan mempersiapkan diri sedemikian rupa untuk menampung sel telur yang sudah dibuahi. Saat tidak terjadi pembuahan, dinding rahim akan luruh dan terjadilah pendarahan (menstruasi). Dengan kata lain, menstruasi sudah menjadi suratan penciptaan perempuan dan berada di luar ikhtiarnya. Lalu apakah mungkin Allah menghukumi kondisi perempuan itu sebagai sesuatu yang negatif sementara hal itu di luar ikhtiar perempuan?
Kelima, banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang membahas persamaan nilai dan kesempurnaan antara laki-laki dan perempuan, seperti dalam surat Al-Ahzab: 35, Ali-Imran:105 dan ayat lainnya. Bahkan dalam surah At-Tahrim ayat 11, Al-Qur’an dengan jelas menyatakan istri Firaun sebagai teladan bagi orang-orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. Andai semua perempuan imannya kurang, bagaimana mungkin sebagian mereka dijadikan teladan bagi orang-orang beriman? Begitu pula, banyak hadis lain yang menjelaskan keagungan perempuan yang sempurna imannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Derajat Fathimah sejajar dengan Ali dan lebih utama dari para lelaki di zamannya.” [Biharul Anwar, jil 30, hal 48]
Keenam, kondisi saat hadis disampaikan. Imam Ali as menyatakan hal tersebut pada Ummul Mukminin Aisyah setelah Perang Jamal yang memakan banyak korban. Ini mengisyaratkan bahwa setiap perempuan yang melakukan hal sama seperti yang dilakukan oleh Ummul Mukminin Aisyah dalam Perang Jamal (mudah diprovokasi dan dihasut hingga terjadi fitnah besar di kalangan umat Islam) maka dia akan masuk dalam kategori hadis tadi.