Taklif Puasa, Anugerah Ilahi yang Mudah Dikerjakan
DR. Otong Sulaeman___ Puasa adalah salah satu kewajiban agama. Secara teologis, segala macam kewajiban agama pada dasarnya merupakan anugerah Allah buat manusia. Pembahasan panjang lebar tentang hal ini akan muncul saat kita menelaah teologi kenabian. Marilah kita telusuri secara sekilas penalaran teologi kenabian yang memunculkan kesimpulan bahwa berbagai kewajiban agama adalah anugerah Ilahi.
Pertama, manusia adalah makhluk yang memiliki keinginan untuk mencapai kesempurnaan hidup dan mendapatkan kebahagiaan sejati. Keinginan untuk menjadi sempurna dan bahagia termasuk hal-hal fitri yang ada pada semua manusia. Ini adalah proposisi yang aksiomatis. Sulit dibayangkan ada manusia normal yang tidak ingin meraih kesempurnaan diri atau ingin merana. Umumnya, manusia memang memandang kebahagiaan ada pada hal-hal yang duniawiah dan material. Punya harta berlimpah, kedudukan yang tinggi, dipuji orang, atau punya pasangan yang cantik, umumnya dipandang sebagai ciri kebahagiaan. Yang pasti, semua manusia normal pasti menghendaki kebahagiaan, apapun caranya. Bahkan, mereka yang melakukan aksi-aksi bom bunuh diri pada dasarnya adalah orang-orang yang menghendaki kebahagiaan. Hanya saja, mereka meyakini kebahagiaan itu terletak pada apa yang mereka yakini, dan keyakinan tersebut berbeda dengan kebanyakan orang.
Pertanyaannya, apakah semua cara atau jalan yang ditempuh manusia itu pasti akan mengantarkan mereka kepada kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki? Apakah orang-orang hedonis akan memperoleh kebahagiaan hakiki sama seperti yang diraih oleh para pejuang kebenaran?
Ajaran Islam menolak asumsi ini. Islam mengajarkan bahwa manusia hanya akan bisa mencapai kesempurnaan hidup dan kebahagiaan sejati seandainya ia meniti jalan kebenaran tertentu. Selanjutnya, manusia hanya akan bisa meniti jalan kebenaran tertentu itu seandainya ia mengetahuinya, atau ia tidak salah dalam menemukan jalan kebenaran tersebut. Inilah proposisi kedua dari teologi kenabian.
Berikutnya, sejarah menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tentang jalan kebenaran tersebut sangat terbatas. Manusia memang punya akal dan pancaindera. Tapi faktanya, sepanjang sejarah hingga sekarang, manusia yang mencoba hidup tanpa bimbingan agama terbukti tidak mampu menentukan secara tepat jalan hidup untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Sebagai illustrasi saya akan ceritakan pengalaman saya saat berkunjung ke Kerman dan Yazd beberapa tahun lalu. Di sekitar kawasan tenggara Iran itu, saya melewati beberapa bangunan bernama Dakhmeh. Itu adalah tempat penyimpanan mayat orang-orang Zoroaster zaman dulu. Orang-orang Zoroaster kuno tidak mengubur atau membakar mayat, melainkan hanya menaruhnya di dalam Dakhmeh sampai membusuk dan menjadi tanah. Akan tetapi, sejak beberapa puluh tahun terakhir, orang-orang Zoroaster tidak lagi menyimpan mayat-mayat di dalam Dakhmeh, dengan alasan kesehatan. Bangkai mayat manusia memang sangat berbahaya bagi kesehatan jika dibiarkan membusuk dan bersentuhan dengan udara terbuka, meskipun ditaruh di dalam bangunan yang sangat tinggi. Ada banyak kuman-kuman yang siap diterbangkan oleh angin. Karena itu, sekarang ini orang-orang Zoroaster memperlakukan jenazah manusia sama dengan orang-orang Islam, Kristen, atau Yahudi, yaitu dengan cara menguburkannya di dalam tanah.[i]
Terkait cara memperlakukan jenazah orang yang meninggal dunia, Al Quran berkisah tentang Habil dan Qabil. Manusia pertama yang meninggal dunia adalah Habil, putra Nabi Adam. Ia dibunuh oleh saudaranya sendiri, Qabil, karena masalah kedengkian. Diceritakan bahwa setelah mendapati saudaranya mati, Qabil kebingungan bagaimana memperlakukan jenazah saudaranya itu. Lalu Allah mengutus burung gagak yang menggali-gali tanah untuk menunjukkan kepada Qabil bagaimana cara memperlakukan mayat Habil.[ii]
Dakhmeh adalah bukti tentang ketidaktahuan manusia. Dakhmeh hingga kini masih tegak berdiri dan menyimpan catatan perjalanan sebagian umat manusia yang mencari-cari cara terbaik dalam mempelakukan jenazah orang yang sudah mati. Perlu ribuan tahun bagi mereka untuk bisa memahami bahwa cara memperlakukan mayat yang paling higienis adalah seperti yang dilakukan oleh Qabil, putera manusia pertama di muka bumi, jauh sebelum agama Zoroaster diajarkan.
Banyak sekali bukti-bukti sejarah lainnya menunjukkan betapa manusia seringkali terjebak pada jalan hidup yang keliru manakala mereka mencoba mencari-cari jalan yang sendiri, tanpa bimbingan agama. Allah yang Mahabijak tentu saja tidak akan mungkin membiarkan makhluk terbaik ciptaan-Nya itu terus meraba-raba dalam kegelapan. Untuk itulah, Allah kemudian menurunkan ajaran agama yang pada hakikatnya adalah petunjuk bagi ummat manusia.
Kewajiban Agama: Anugerah Ilahi
Taklif Ilahi, tidak lain adalah demi kebahagiaan manusia juga. Oleh karena itu, Allah SWT menyatakan bahwa pengutusan para nabi adalah demi menyucikan, membimbing, dan mengajarkan kepada masyarakat berbagai kebaikan, agar mereka dapat mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup.
Terkait dengan itu, Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Dialah yang mengutus di kalangan kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah (al-Sunah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.(al-Jumu’ah: 2)
Allah juga berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (al-Hadîd: 25)
Ringkasnya, pengutusan para nabi itu dan “pemaksaan” para mukallaf untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya adalah untuk “menggiring” mereka agar meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya petunjuk-Nya yang terang benderang. Semua ini merupakan karunia, kemurahan, dan anugerah Allah yang tidak terbatas.
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِّمَّا كُنتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ قَدْ جَاءكُم مِّنَ اللّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُّبِينٌ .يَهْدِي بِهِ اللّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلاَمِ وَيُخْرِجُهُم مِّنِ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan yang keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (al-Maidah: 15-16)
Ibadah Itu Mudah
Satu lagi permasalahan menarik yang bisa kita telaah dari kewajiban puasa di bulan suci Ramadhan adalah yang terkait dengan prinsip kemudahan yang ada pada segala macam taklif agama. Di dalam ayat 184 surat Al Baqarah, Allah SWT menyatakan bahwa bagi mereka yang yuthiiquun, maka cukuplah mereka untuk membayarkan fidyah, yaitu makanan untuk orang miskin.
Secara lahiriah, kalimat ini membingungkan, karena thaaqa yang merupakan akar kata yuthiiquun, memiliki arti mampu, kuat, dan kuasa. Di akhir surat Al Baqarah (ayat 286), ada doa yang dipanjatkan sebagai berikut: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau membebani kami apa yang laa thaaqata lana bih (tidak ada kemampuan kami atas hal tersebut). Karena itu, rangkaian kalimat pada ayat tersebut, secara lahiriah berarti: “Dan bagi mereka yang mampu (berpuasa), cukuplah bagi mereka membayar fidyah”.
Para mufassirin memiliki pendapat yang berbeda-beda saat memaknai ayat di atas. Sebagian menyatakan bahwa ayat tersebut mengandung harf laa (لا) yang dilesapkan. Jadi, ayat tersebut sebenarnya berbunyi: laa yuthiiquunahu (mereka yang tidak mampu). Sebagian lagi menyatakan bahwa kata kerja yuthiiquun berasal dari mashdar ithaaqah, dan wazan if’al bisa menegasikan arti asal. Dengan demikian, alih-alih memiliki arti mampu, yuthiiquun justru bermakna tidak mampu. Ada juga yang menyatakan bahwa redaksi yang ‘aneh’ dari ayat ini menunjukkan pilihan bagi kaum beriman antara berpuasa atau memberi fidyah.
Terkait dengan kerumitan ini, ada baiknya kita mencoba menafsirkan ayat tersebut secara tematis. Sebagaimana yang dituliskan di atas, di akhir surat Al Baqarah ada kata thaaqah, yang berarti mampu. Di ayat yang sama, ada kata lain yang digunakan Al Quran yang sama-sama memiliki makna mampu, yaitu kata wus’u (وسع). Kalimat ayatnya berbunyi “laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Tidaklah Allah membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya).
Apa perbedaan wus’u dengan thaaqah? Para ahli bahasa sepakat bahwa wus’u adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu secara mudah. Sementara itu, thaaqah adalah kemampuan sambil berpayah-payah. Jika Anda seorang lelaki dewasa yang memiliki fisik normal, mengangkat beban seberat 5 kilogram tentulah bukan hal yang sulit. Kemampuan mengangkat beban seberat 5 kilogram itu dinamakan wus’u. Tapi, jika Anda disuruh mengangkat beban seberat 50 kilogram, Anda mungkin saja bisa melakukannya. Tapi, bisa dipastikan bahwa Anda akan berpayah-payah saat mengangkat beban tersebut. Inilah yang dinamakan thaaqah.
Dalam contoh lainnya, jika kita disuruh untuk mengerjakan dua rakaat shalat Shubuh dalam rentang waktu satu setengah jam, yaitu mulai terbitnya fajar hingga terbitnya matahari, kita akan mengatakan bahwa shalat Shubuh adalah kewajiban yang mudah untuk dikerjakan. Akan tetapi, seandainya kita disuruh mengerjakan shalat dua rakaat sambung menyambung tanpa henti selama satu setengah jam, kita bisa saja melakukannya. Akan tetapi, kita pasti akan melakukannya dengan bersusah payah. Dalam contoh shalat Shubuh tadi, kemampuan kita itu disebut wus’u, sedangkan kemampuan untuk melakukan shalat dua rakaat terus menerus selama satu setengah jam itu disebut thaqah.
Demikian juga dengan puasa. Secara fisiologis, manusia normal mungkin saja akan mampu menahan diri untuk tidak makan dan minum selama 24 jam. Akan tetapi kemampuan tersebut pastilah akan ditunjukkan dengan berpayah-payah. Kemampuan ini disebut thaqah. Sementara itu, berpuasa sekitar 14 jam akan bisa dilakukan manusia normal dengan cukup mudah. Kemampuan ini disebut wus’u.
Karena kondisi manusia berbea-beda, parameter kemampuannya pun berbeda-beda. Bagi orang yang sudah tua, mengangkat beban seberat 5 kilogram jadi akan menjadi pekerjaan yang berat. Baginya pula, menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum selama 14 jam adalah sebuah pekerjaan yang sangat berat. Untuk itu, menurut Al Quran, bagi para orang tua atau yang sakit permanen, kewajiban berpuasa adalah pekerjaan yang amat berat, meskipun mungkin saja masih bisa dilakukan. Istilahnya berpuasa adalah pekerjaan yang sudah memasuki zona merah thaqah, bukan lagi zona wus’u. Bagi mereka ini, puasa bisa diganti dengan fidyah.
Kesimpulannya, puasa itu wajib hanya bagi mereka yang punya kemampuan untuk melaksanakannya dengan mudah, bukan dengan berpayah-payah. Hal yang sama juga hakikatnya berlaku untuk segala macam kewajiban ibadah yang dibebankan kepada manusia. Jadi, ibadah itu mudah. Jika terasa sulit, kitalah sendiri yang mempersu
[i] Cerita lengkap perjalanan saya bisa dibaca di buku Pelangi di Persia (Pustaka IIMaN 2007)
[ii] Seperti yang diceritakan dalam Al Quran surat Al Maidah ayat 27-31.