Seri Tokoh Sufi: Mengenal Ibrahim bin Adham (Bagian Kedua)
Wahai sahabat suluk, marilah kita bentangkan kejadian yang luar biasa ini, yang dicatat oleh sejarah dengan pena dari cahaya, yang selalu dikenang oleh umat, yang selalu disanjung oleh generasi demi generasi. Marilah kita menyimak karamah ini dengan penuh pertimbangan dan perhatian dimana di dalamnya tampak menonjol kedudukan seorang Imam besar dari imam kaum Muslim dan seorang alim besar. Suatu karamah yang menunjukkan ketinggian kedudukannya dan keteguhan ma’rifat-nya dan ketulusan cintanya serta kedekatannya kepada Sang Kekasih.
Ats-Tsakli berkata: Ali bin Said bercerita kepada kami bahwa Ibrahim bin Bashar berkata: Pada suatu kali kami sedang berlayar di laut bersama Ibrahim bin Adham. Ketika kami mulai berlayar, angin tampak begitu tenang dan bersahabat serta udara begitu mendukung dan lembut, namun tiba-tiba kami dikejutkan dengan adanya gumpalan awan yang pekat bagaikan malam yang gelap lalu diikuti dengan angin kencang dan badai yang secara otomatis mengubah perjalanan perahu. Tiba-tiba ombak yang begitu kencang menerjang ke sana sini dan ingin menghancurkan apa saja yang ada di depannya dan di sekitarnya. Dan perahu yang kami tunggangi pun terancam bahaya yang besar, dimana ombak membuatnya terhuyun-huyun. Oleh karena itu, awak kapal dan isinya merasakan adanya bahaya yang besar sehingga mereka ketakutan. Dalam keadaan demikian, Ibrahim sebagai seorang mukmin sejati yang mengenakan pakaian yang sederhana tampak begitu tenang di atas perahu, lalu para penghuni perahu pun mendatanginya. Mereka mengadukan apa saja yang terjadi di atas perahu; mereka begitu bingung melihat sikapnya yang begitu tenang dan hatinya begitu damai. “Tidakkah kau menyadari apa yang terjadi dengan kita? Apakah kau melihat apa yang terjadi dengan kita? “Tampaknya engkau tidak peduli,” kata mereka dengan penuh penasaran. Ibrahim kemudian mengangkat kepalanya dan menjawab pertanyaan mereka dengan jawaban seorang yang percaya kepada Tuhannya yang tenggelam dalam cinta kepada-Nya: sungguh beruntung orang yang tidak siap untuk menghadapi hari seperti ini. Kemudian ia mengomat-ngamitkan lidahnya dan mengutarakan beberapa kalimat yang tidak kami pahamia sedangkan air mata tampak meleleh dari kedua pipinya. Lalu semakin menjadi-jadilah tangis dan teriakannya. Orang-orang yang ada di tempat itu melihat-melihat apa yang terjadi padanya. Tiba-tiba ada suara yang keras berkata: “Wahai penghuni perahu, mengapa kalian harus takut, sementara di antara kalian ada Ibrahim, wahai angin tunduklah engkau dan tenanglah, wahai lautan tenanglah engkau dengan izin Allah. Sesungguhnya engkau tidak bergerak kecuali dengan izin-Nya. Engkau adalah makhluk yang diperintah, tidaklah engkau mengetahui bahwa di permukaanmu ada Ibrahim.”
Tiba-tiba badai yang begitu keras berubah menjadi angin yang lembut dan tiba-tiba lautan yang bergelombang yang dahsyat pun menjadi tenang dan damai seakan-akan ia menjadi papan dari kayu lalu hilanglah rasa ketakutan dan dipenuhi rasa aman, sehingga para penumpang mencapai tujuannya masing-masing.
Jadi, Allah SWT mempunyai hamba-hamba yang istimewa yang seandainya mereka bersumpah atas nama Allah niscaya Dia akan mengabulkan sumpah mereka. Mudah-mudahan Allah merahmati Ibrahim yang meninggalkan bagi kita kenangan-kenangan yang baik dan warisan-warisan yang mulia, serta cerita-cerita yang akan melembutkan hati yang keras dan akan menyebabkan mata orang-orang pendosa akan berlinangan air mata dan akan membuat hati bergelora dengan cinta kepada Allah[1].
Konon, ada orang yang berkata kepada Ibrahim tidakkah engkau mau duduk bersama kami sehingga engkau menceritakan kepada kami apa yang engkau ketahui, beliau menjawab aku mau duduk bersama kalian ketika aku menyelesaikan tiga hal. Mereka bertanya, apa itu? Beliau menjawab, pertama ketika malaikat turun untuk menggambarku di rahim dan dia berkata, wahai Tuhanku, apa ia termasuk orang yang celaka atau bahagia? Aku tidak mengetahui apa jawabannya. Kedua, ketika malaikat turun untuk mencabut rohku dan berkata, wahai Tuhanku apakah ia mati atas keimanan atau atas kekafiran? Aku pun tidak mengetahui jawabannya. Ketiga, ketika penghuni surga masuk dalam surga dan penghuni mereka masuk dalam neraka, kemudian ada orang yang menyeru: wahai orang yang ada di surga, kalian di dalamnya kekal tanpa ada kematian, dan wahai penghuni neraka, di dalamnya kalian kekal tanpa ada kematian. Aku tidak mengetahui dalam kelompok mana aku berada [2].
Ibrahim bin Adham adalah waliyullah sejati. Beliau adalah seseorang yang hatinya dipenuhi dengan mahabbatullah (cinta kepada Allah) dan hatinya dijauhkan dari mahabatu dunya (cinta dunia). Ibrahim bin Adham mengalami revolusi batin setelah beliau melakukan renungan dan tafakur mendalam tentang tujuan penciptaannya. Ia sadar bahwa hidup bukan sekadar foya-foya dan berburu yang sia-sia. Hidup hakiki adalah menghidupkan jiwa dengan zikrullah dan membantu sesama. Apalah arti kekayaan dan kerajaan bila hanya untuk memuaskan hawa nafsu hayawaniah dan melupakan jati diri insaniah dan ilahiah.
Ya, marilah kita belajar dari Ibrahim bin Adham dengan menyadari asal usul diri kita dan menggunakan fasilitas dan nikmat Ilahiah di jalan yang diridhai-Nya. Sungguh perubahan batin terjadi ketika manusia merenungkan kekuasaan Allah dalam dirinya dan betapa besar karunia dan nikmat-Nya.
[1] Silakan Anda melihat kitab “at-Tawwabin”, karya Imam al-Maqdisi halaman 160.
[2] Kami telah menyebutkan sikap yang agung dari Ibrahim di hadapan orang yang bermaksiat di dalam kitab kami Samirul Mukminin, cetakan ketujuh halaman 268.