Asyuro dan Keadilan: Akar Penyimpangan Keadilan Sosial dalam Islam (bag. II)
Oleh : Fardiana Fikria Qur’any, S. Th, I., MA
Akar teologis menjadi salah satu akar penyimpangan keadilan sosial di dalam masyarakat Islam. Masyarakat dengan paham jabariyahnya akan melihat bahwa ketidakadilan yang terjadi merupakan sebuah takdir ilahi yang tidak bisa ditentang, dilawan apalagi diantisipasi lebih awal. Lebih parah dari itu, pemahaman seperti ini diambil sosok pemimpin negara dan masyarakat, terlebih parah lagi pemimpin yang memahami akan pemahaman masyarakatnya dan memanfaatkan kondisi itu untuk melenggangkan jabatan dan kepemimpinannya. Dengan demikian, akar lainnya dari penyimpangan keadilan sosial dalam masyarakat Islam ialah, pemimpin yang tidak berorientasi pada keadilan bahkan ia hanya mengagungkan dan mengikuti hawa nafsunya saja.
Karakteristik Pemimpin Adil dalam Islam
Islam dengan konsep dan sistem pemerintahannya memiliki orientasi dan tujuan yang sangat tinggi yaitu, menegakkan dan mengokohkan kebenaran dan keadilan, memusnahkan dan melemahkan kebatilan, kezaliman, penjajahan dan ketertindasan. Kemudian, untuk mencapai tujuan tersebut perlu dibangun hubungan antara pemimpin dengan rakyatnya ialah, hubungan persaudaraan Islam, ilahiyah dan menjauhkan diri dai segala kezaliman, sikap kasar, sombong, egois dan erasa paling benar sendiri.
Imam Ali as dalam kumpulan khutbahnya, seringkali mengisyaratkan bahkan secara gamblang berbicara tentang bagaimana menjadi pemimpin yang adil ketika ia menuliskan surat kepada Malik Asytar. Dalam Khotbah ke-87 Kitab Nahj al-Balaghah, Imam Ali as berkata: “Tanda-tanda pertama akan keadilannya (seorang hamba yang saleh) ialah, menghilangkan segala keinginan hawa nafsunya dari hatinya.”[1] Dalam khotbah lainnya, Imam Ali as berkata: “Seseorang yang ingin menjadikan dirinya sebagai pemimpin rakyat, sebelum mengajakan orang lain, maka ia pelu mendidi dirinya sendiri. Sebelum mendidik perkataannya, maka terlebih dahulu mendidik perilaku atau perbuatannya. Dibandingkan dengan mengajarkan dan mendidik dirinya sendiri, lebih baik lagi ia memuliakan orang yang mengajarkan dan mendidiknya.”[2]
Imam Baqir as menukil perkataan Rasulullah dalam satu riwayatnya, ia berkata: “Bukanlah satu kepempimpinan itu baik kecuali seorang tersebut memiliki tiga kriteria: ia bertakwa, sehingga ia dijauhkan dari segala dosa, ia mampu mengontrol amarahnya dan mengayoim dengan baik orang-orang yang di bawah kepemimpinannya, hingga ia ayah yang penyayang lagi pengasih.”[3]
Beberapa perkataan dari para imam Ahlul Bayt di atas telah menegaskan tentang bagaimana seorang pemimpin yang adil. Tentu karena keadilan sangat erat berkaitan dengan tauhid, maka seorang pemimpin harus beriman, bertakwa dan mampu mengimplementasikan keimanannya dalam bentuk keadilan ucapan dan tindakannya dalam memimpin dirinya, keluaganya dan masyarakatnya. Seorang pemimpin tidak boleh memiliki sikap yang bertentangan dengan al-Qur’an, dengan kebaikan dan keadilan.
Yazid bin Muawiyah dan Keadilan yang Tergadai
1400 tahun silam, tepatnya 10 Muharam 61 H atau 680 M terjadi sebuah peristiwa besar di tanah merah Irak, Karbala. Bani Umayyah memegang kepemimpinan pemerintah saat itu dan Yazid bin Mu’awiyah menjadi khalifah pengganti sepeninggal ayahnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sosok Yazid bukanlah sosok yang layak untuk memimpin masyarakat, terkhusus menjadi pemimpin umat Muhammad. Sosoknya jauh dari kata muslim apalagi mukmin.
Ada tiga orang yang diminta untuk berbai’at kepada Yazid melalui gubenur Madinah, Walid bin ‘Uqbah. Tiga orang yang diminta paksa untuk berbai’at yaitu, ‘Abd Allah bin ‘Umar, ‘Abd Allah bin Zubayr dan al-Husain bin Ali. Yazid memerintahkan untuk memenggal kepala orang yang menolak membai’at dan tidak mengakui kekuasaannya, siapapun orangnya, sekalipun itu keturunan Rasulullah Saww.
Dalam beberapa riwayat, Husein bin Ali menjelaskan alasan mengapa ia bersikeras tidak membai’at dan tidak mengakui kekuasaan Yazid bin Mu’awiyah di antaranya, Hashim Ma’ruf al-Hasani dalam kita Intifadat al-Shi’iyyah ‘Abar al-Tarikh menuliskan bahwa al-Husein berkata, “Wahai Amir, aku adalah Ahlul Bait Kenabian, sentral Risalah, tempat lalu lalangnya Malaikat…. Yazid adalah manusia durjana, peminum arak, pencabut nyawa orang mulia, melakukan kebejadan di muka umum. Manusia sepetiku tidak boleh membai’at orang sepetinya.
Pada kesempatan lain, Husein brkata pada Mu’awiyah, “…… Yazid peminum arak dan hidupnya habis untuk bermain-main, apakah dia lebih baik dariku?” selain itu, dalam jawaban suratnya pada Mu’awiyah, Husein menulis “…….Engkau telah menyerahkan kekuasaan pada anak kecil, peminum minuman keras, bermain-main dengan anjing, aku saksikan bahwa engkau telah menjerumuskan dirimu pada kejahatan, engkau rusak agamamu, kau lantarkan tanggungjawabmu. Wassalam”
Dan masih banyak riwayat lainnya yang menggambarkan ketidaklayakan sosok Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah dan semua itu mewajah dalam tragedi Karbala. Tragedi yang menampakkan kekejaman sosok Yazid dan menjadikannya simbol ketidakadilan, kelaliman sepanjang sejarah Islam. Ia memerintahkan ribuan tentara untuk melawan Husein bin Ali dan pasukannya yang hanya berjumlah puluhan orang saja. Ia melakukan penyiksaan terhadap keluarga Nabi demi melanggengkan kekuasaannya. Ia memperlakukan keturunan Muhammad dengan semena-mena, membunuh anak kecilnya, tidak mengizinkan mereka untuk minum air dan puncak kezalimannya pada saat ia menyembelih leher Husein bin Ali, membunuhnya dengan keji tanpa basa basi.
Mengaca dari peristiwa Karbala. Sosok Yazid memiliki dua kriteria yaitu, jauh dari ulama dan cinta akan dunia. Dua kriteria inilah yang akan melahirkan sosok pemimpin yang zalim. Sosok pemimpin yang zalim bukan saja tidak bisa membangun keadilan untuk orang lain dan masyarakatnya, bahkan untuk dirinya sendiri ia tidak mampu untuk berlaku adil. Sosoknya yang tidak mau mendengar akan kebenaran dan para ulama dan membangun kesombongan dirinya dalam kekuasaan membuatnya sama sekali tidak mampu untuk menegakkan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Inilah salah satu lainnya dari akar penyimpangan ketidakadilan dalam masyarakat Islam.
[1] Nahj al-Balaghah, Khotbah ke-87 hal. 118.
[2] Nahj al-Balaghah, Hikmah 73, hal. 480.
[3] Ushul Kafi, Jil. 1, hal. 107.