Oleh : Musa Kadzim al Habsyi.
Tinjauan Umum
Asyura adalah hari perlawanan suci Imam al-Husein, cucu Nabi Muhammad, terhadap kekuasaan korup yang tumbuh di pusat kesucian agama. Drama sakral itu membawa begitu banyak renungan dan pelajaran. Ribuan buku dan ratusan ribu makalah telah dibuat untuk mereflkeksikannya.
Makalah sederhana ini hanyalah celah kecil untuk mengintip cakrawala yang luas itu. Rasanya mustahil saya memberikan gambaran utuh tentang peristiwa agung di bulan Muharam 61 Hijriah itu melalui celah kecil ini. Berjilid-jilid buku pun sepertinya tak pernah bisa berlaku adil dalam memaparkan semua sisi yang terkandung di dalamnya, apalagi makalah sesederhana ini.
Secara garis besar, makalah ini mencoba memaparkan beberapa sisi Asyura, dengan tujuan memerikan rahasia kesucian dan keagungannya dalam sejarah Islam. Di antara sekian banyak sisi yang telah dibahas oleh para peneliti, demi keringkasan, saya akan mengemukakan tiga aspek ini: (1) aspek kesucian tujuan; (2) aspek pemilihan waktu; dan (3) aspek pemilihan tempat.
Sudah jamak kita ketahui bahwa tujuan utama Imam Husein ialah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar yang juga menjadi misi semua nabi, terutama misi Baginda Nabi Muhammad. Sebagaimana kakeknya, Imam Husein berupaya menarik masyarakat yang jatuh dalam ngarai apatisme terhadap kezaliman.
Masyarakat yang menyerah pada kezaliman, sadar atau tidak, sebenarnya sedang mengabsahkannya sebagai takdir yang tidak bisa diubah. Mereka melihat kezaliman secara pasif dan permisif, sehingga siapa saja yang bangkit melawan tidak akan mendapat pendukung, terasing dan dianggap sebagai pelaku bunuh diri. Perlahan-lahan masyarakat ini beradaptasi dengan kezaliman dan membentuk simbiosis parasitisme dengan para penindas. Perintah agama untuk menegakkan keadilan pun kemudian dipelintir demi melegitimasi kekuasaan dan memvonis bersalah para penuntut keadilan.
Dalam perjalanannya menuju Karbala, Imam Husein menyatakan tujuan itu sebagai berikut: “Tidakkah kalian saksikan bahwa kebenaran tidak lagi ditaati dan kebatilan tidak lagi dilarang. Menghadapi keadaan ini, seorang mukmin harus siap mengemban syahadah di jalan Allah swt.” Atau, dalam ungkapan lain, “Jika agama Muhammad tidak bisa tegak kecuali dengan kematianku, maka, hai pedang-pedang, ambillah aku!”
Masyarakat yang pasrah terhadap kezaliman (munzhalim) belum tentu tidak tahu bahwa kezaliman itu buruk dan harus dilawan. Tapi mereka merasa tak berdaya. Semua kehendak dan alasan untuk melawan karam dalam kepasifan dan kepermisifan mereka. Penyair Arab, Farasdaq, dengan cerdas meringkaskan sikap munzhalim itu dalam pertemuannya dengan Imam Husein yang sedang menuju Karbala. Farasdaq mengungkapkan: “Hati mereka bersamamu, tapi pedang mereka terhunus untuk membunuhmu.” Syair ini secara gamblang melukisakan bagaimana masyarakat yang telah pasrah terhadap kezaliman bisa terjebak memusuhi dan membunuh pahlwan yang hendak bangkit melawan kezaliman.
Untuk membalikkan keadaan, seorang pahlawan harus siap melakukan pengorbanan paling agung, suci dan dramatis. Bila pahlawan itu sedikit saja terkesan setengah-setengah atau terkotori oleh motif-motif pribadi dan kelompok, maka tentu masyarakat tidak bakal tersentuh dan tersadarkan. Keadaan masyarakat seperti itu mirip dengan pasien yang sekujur tubuhnya telah terjangkiti virus mematikan. Virus ini telah beradaptasi dengan sistem tubuhnya, sehingga tidaklah mungkin mengobati pasien ini kecuali dengan obat generasi terbaru dan dalam dosis paling tinggi.
Gerakan Asyura berhasil mencerabut akar-akar virus itu dari tubuh umat. Virus kepasrahan itupun terkejut dan melompat keluar dari sangkarnya. Gerakan Imam Husein berhasil menyadarkan dan menggugah—setidaknya—sebagian umat dari sikap menerima kezaliman dan bergerak melawan hegemoni Yazid yang mencoba membangun imperium pertama dalam Islam. Ditinjau dari sudut ini, Imam Husein telah melakukan sesuatu yang paling agung dalam Islam. Kesyahidannya menjadi simbol perlawanan Islam terhadap kezaliman, sekalipun kezaliman itu mencoba berselubung di balik simbol-simbol Islam.
Gerakan ini menandai babak baru yang sangat penting dalam sejarah Islam: babak pertanggungjawaban atas berkembangnya skenario membangun imperium Islam yang korup dan bejat. Inilah perlawanan keluarga suci Nabi atas munculnya upaya sistematis untuk menjadikan Islam sebagai alat kekuasaan. Dan karena itu, ia dapat disebut, seperti akan kita bahas kemudian, Hijrah Kedua dalam sejarah Islam. Suatu hijrah untuk melawan dan mematahkan kezaliman yang berkedok Islam, sebagai kelanjutan hijrah pertama Nabi dari Mekkah ke Madinah untuk melawan dan mematahkan kezaliman kaum kafir Qureisy.
Oleh sebab itu, tak syak lagi Asyura menjadi salah satu tonggak dalam sejarah Islam. Ada begitu banyak aspek yang dapat kita amati dalam peristiwa ini, dan tiap aspek itu mengandung banyak makna yang sangat penting. Tapi, tujuan terpenting Asyura adalah tumbuhnya kembali semangat menegakkan keadilan dalam tubuh umat yang saat itu sedang asyik mengejar kesenangan dan menumpuk kekuasaan duniawi.
Rahasia Kesucian Gerakan
Saat kita mengatakan bahwa gerakan Imam Husein itu bersifat suci, maka maksudnya ia tidak berangkat dari kepentingan pribadi dan kelompok untuk menumpuk uang, melanggengkan kekuasaan atau hasrat-hasrat rendah sejenisnya. Sebaliknya, ia adalah gerakan yang berangkat dari logika, hati nurani, pertanggungjawaban hamba kepada Allah, kecintaan pada keadilan dan motif-motif luhur lainnya. Dalam karyanya yang berjudul Hamose’e Huseyni, Profesor Murtadha Muthahhari merangkum tiga ciri kesucian gerakan ini. Saya sendiri akan menambahkan satu ciri lain yang mencerminkan kesucian gerakan Asyura.
Pertama, ciri-khas pertama kesucian gerakan Imam Husein terletak pada sasaran dan tujuan akhirnya yang tidak personal atau partisan. Sebaliknya, tujuan gerakan itu adalah menyelamatkan seluruh umat Islam dari sikap pasrah dan apatis terhadap kezaliman. Dalam hubungan dengan diri, keluarga dan para sahabatnya, Imam Husein justru melakukan pengorbanan yang sangat besar.
Beliau tidak memobilisasi massa dengan intimidasi atau iming-iming, tidak merencanakan kudeta dengan menjanjikan konsesi, tidak menggunakan taktik makar, dan tidak menyusup ke dalam struktur kekuasaan Dinasti Umayah dan menggulingkannya dari dalam. Imam Husein, misalnya, tidak pernah berpura-pura membaiat demi melancarkan aksi penggembosan dari dalam.
Imam Husein tidak memilih semua cara itu untuk menjaga kesucian dan kemurnian gerakannya. Beliau menolak cara-cara yang cenderung mengaburkan perbedaan antara pihak yang benar dan pihak yang salah sejak awal. Makar, infiltrasi, mobilisasi, kampanye, negosiasi, politik dagang sapi, dan sejenisnya dapat mengotori kesucian misi yang beliau emban. Cara-cara seperti itu mungkin dapat dipakai oleh musuh-musuhnya untuk mencoreng misi dan tujuan Asyura.
Strategi Imam Husein adalah strategi melakukan penyempurnaan hujjah kebenaran yang radikal. Beliau ingin membongkar manipulasi dan distorsi Kekhalifahan Islam itu sampai akar-akarnya. Beliau ingin menunjukkan kepada semua kalangan masyarakat bahwa beliau tak pernah bersentuhan dengan kezaliman atau memakai cara-cara yang umumnya dipakai oleh orang-orang zalim.
Bila Imam Husein memiliki kepentingan-kepentingan pribadi di balik gerakannya, tentu beliau tidak akan memboyong seluruh keluarga dekat dan sahabat yang paling beliau cintai dan beliau percayai. Charles Dickens, novelis Inggris yang kesohor itu pernah menyatakan, “Jika Husein berperang untuk memuaskan hasrat-hasrat duniawinya…maka saya tak bisa mengerti mengapa saudara perempuannya, istrinya dan anak-anaknya harus ikut bersamanya. Jadi masuk akal kalau dia betul-betul tulus berkorban demi Islam.” Di hadapan akal dan hati manusia yang jernih, kesucian gerakan Imam Husein itu tampak begitu nyata dan jelas. Dan kesucian ini memang senantiasa beliau pelihara demi tujuan agung yang dibawanya.
Untuk memelihara kesucian ini pula, Imam Husein memulai gerakannya dari Mekkah. Dalam kesempatan berkumpulnya jemaah haji di Mina dan Arafah, beliau menerangkan tujuan-tujuan universal Islam secara singkat. Beliau juga melantunkan Doa Arafah yang kemudian menjadi salah satu teks paling unggul dalam literatur mistis Islam. Lantas beliau membeberkan tujuan gerakannya sebagai berikut: “Ya Allah! Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Tahu bahwa gerakan, kebangkitan, protes, perlawanan dan peperanganku ini bukanlah untuk memperebutkan kekuasaan seseorang, bukan untuk meraup harta dan perolehan duniawi, bukan pula atas dasar kerakusan, melainkan untuk mengembalikan ajaran-ajaran agama-Mu dan mewujudkan perbaikan di bumi-Mu, agar yang hamba-Mu tertindas merasa aman dan hukum-Mu yang terabaikan kembali ditegakkan.”
Kedua, ciri-khas kedua kesucian gerakan ialah visi dan pandangan jauh yang dibawanya. Di saat semua orang gagal mengerti dan melihat, seorang pemimpin yang berpandangan jauh dapat mengerti dan melihat dengan jelas dan bening berbagai penyakit masyarakatnya. Lalu dia bangkit dan bergerak untuk menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut. Bisa jadi, jauh setelah gerakannya, barulah sebagian orang sadar dan memahami alasan pemimpin visioner itu bangkit dan melawan. Dengan berlalunya waktu, semakin banyak orang yang sadar dan mengerti tujuan-tujuan sakral di balik gerakannya.
Dengan kata lain, sebuah gerakan suci tidak hanya memiliki tujuan-tujuan jangka pendek, tapi memiliki tujuan-tujuan jangka panjang, yang jauh melampaui sekat-sekat ruang dan waktu yang serba sementara. Gerakan itu harus melampaui kalkulasi politik atau ekonomi yang sesaat. Ia harus merupakan gerakan—meminjam istilah Henry Corbin—yang bersifat trans-historis, gerakan yang senantiasa relevan dengan keadaan manusia di semua tempat dan zaman.
Gerakan Imam Husein adalah jenis gerakan seperti ini. Sekarang kita tahu dengan pasti karakter dan kepribadian Yazid dan segenap akibat buruk kekuasaannya. Kita juga tahu segala manipulasi dan distorsi yang dilakukannya melalui desain dan skema politik yang digulirkan jauh sebelum kekuasaannya.
Akan tetapi, hampir 80% kaum Muslim di zaman itu tidak mengetahui fakta-fakta ini. Mereka tidak mengendus skenario besar yang telah lama dicanangkan oleh suatu elit dalam umat untuk mengukuhkan imperium tertentu, terutama karena tiadanya media massa seperti yang ada hari ini. Orang-orang di zaman itu berkomunikasi lewat media yang sangat terbatas, dengan tingkat penyebaran yang sangat rendah.
Dari 20% yang tahu skenario itu, sebagian besar tidak berani melawan. Mereka mengira bahwa semua perlawanan akan berakhir sia-sia, dan lebih memilih berkompromi dengan realitas despotik tersebut. Sedangkan 2% lain sama sekali sama sekali tidak tahu, seperti dalam kasus sebagian besar penduduk Madinah. Penduduk Madinah tidak memahami situasi yang terjadi. Mereka tidak mengetahui dengan persis karakter Yazid dan dampak-dampak kekuasaannya bagi keseluruhan umat Islam.
Baru setelah pembantaian keluarga Imam Husein di Karbala, penduduk Madinah terkesiap dan bertanya-tanya. Mengapa Imam Husein beserta segenap keluarga dan sahabatnya harus dibantai dengan begitu sadis?! Mengapa Yazid dan kaki-tangannya tega melakukan pembantaian sekeji itu? Alasan dan tujuan perlawanan Husein pun menjadi bahan perbincangan dan perhatian. Perlahan-lahan tapi pasti, peristiwa pembantaian cucu Nabi itu menimbulkan dampak yang dahsyat.
Puncaknya, hegemoni Yazid yang tampak sedemikian kokoh di tengah-tengah apatisme masyarakat yang tertidur lelap itupun ikut terguncang. Yazid tidak secerdik ayahnya, Muawiyah. Dia lebih mengandalkan insting kebinatangan yang buas ketimbang kelicikan. Tidak terlintas dalam pikirannya bahwa peristiwa Karbala akan memupuskan semua cita-cita leluhurnya untuk mengangkangi simbol-simbol Islam demi membangun imperium dan dinasti Bani Umayyah.
Oleh sebab itu, beberapa waktu setelah peristiwa Karbala, penduduk Madinah bersepakat mengirimkan delegasi ke Suriah yang terdiri atas sejumlah tokoh terpandang dan dipimpin oleh seorang bernama Abdullah bin Hanzalah, yang kelak dikenal dengan gelar “ghasîl al-malâ’ikah” atau “orang dimandikan oleh malaikat”. Setelah tinggal beberapa hari di Suriah, delegasi penduduk Madinah ini terhenyak memandang kenyataan yang ada.
Saat kembali ke Madinah, dan ditanya tentang apa yang mereka saksikan, mereka sampai berkata: “Apa yang dapat kami ungkapkan kepada kalian ialah saat kami berada di Damaskus, kami selalu takut jangan-jangan akan terjadi hujan batu (sebagai bentuk kutukan Allah atas kita semua).” Lantas mereka berkata bahwa mereka telah melihat seorang khalifah yang meminum khamar di depan umum, berjudi, suka bermain-main dengan anjing dan monyet serta melakukan inses (hubungan seksual) dengan salah seorang anggota keluarganya sendiri.
Abdullah bin Hanzalah memiliki 8 putra. Dia berkata kepada segenap warga Madinah, “Entah kalian mau bangkit melawan ataupun tidak, aku akan tetap bangkit melawan biarpun aku harus melakukannya sendirian dengan putra-putraku.” Dia melaksanakan ikrarnya, dan terjadilah perlawanan terhadap pasukan Yazid yang hendak menyerang Madinah. Abdullah bin Hanzalah dan beberapa putranya gugur sebagai syuhada. Kesyahidan Abdullah bin Hanzalah menyulut kemarahan lebih besar pada penduduk Madinah terhadap Yazid. Sejak itu, jaringan kekuasaan Yazid terkikis dan tak sanggup menghadapi perlawanan sporadis yang terjadi di hampir tiap titik wilayah Islam.
Salah satu tujuan al-Husein melakukan perlawanan di Karbala ialah untuk menggagalkan bergulirnya rencana jahat Dinasti Umayah untuk mempergunakan simbol-simbol Islam dan sentimen-sentimen kesukuan dalam menguasai Umat Muhammad. Bagi al-Husein, kekuasaan Yazid, bila bertahan lebih lama lagi, akan berakibat pada lenyapnya Islam secara total dari kesadaran kolektif Umat. Al-Husein pernah menyatakan: ‘Katakan selamat tinggal pada Islam bilamana umat dipimpin penguasa semacam Yazid.’ Tujuan ini tampaknya dengan cepat dapat diraih oleh Imam Husein. Dan dalam konteks inilah ‘Darah mengalahkan pedang,’ (Ghalabatud-dam ‘ala as-sayf).
Demikianlah, Imam Husein berhasil melahirkan dan menghidupkan budaya kemenangan darah atas pedang, kemanangan nilai-nilai atas ilusi dan fantasi, kemenangan pengorbanan dan keluhuran atas kekejaman dan kebengisan, kememangan logika atas caci-maki, dan kemenangan ketabahan atas keagresifan.
Ketiga, ciri-khas kesucian gerakan yang ketiga adalah kemampuannya untuk menguak dalih-dalih palsu yang melegitimasi sebuah kezaliman. Sejak periode kekuasaan Muawiyah di Suriah, Bani Umayah mencoba mendalangi distorsi besar di tengah-tengah Umat Muslim untuk mencoreng citra Keluarga Nabi. Sasaran utama mereka adalah supaya legitimasi dan kredibilitas Ali bin Abi Thalib yang tak tersaingi itu pelan-pelah akan hilang. Mereka mencoba mem-frame Imam Ali sebagai aktor intelektual di balik kematian Usman. Lalu mereka menelikung kemenangan Imam Ali di Perang Shiffin dengan tipuan tahkim, yang akhirnya berujung dengan keluarnya kelompok Khawarij dari kepemimpinan Imam Ali dan akhirnya Imam Ali terbunuh di Mihrab Masjid Kufah.
Imam Ali pernah mengungkapkan kepribadian Muawiyah dalam ucapan berikut: “Demi Allah, sesungguhnya Muawiyah tidaklah lebih cerdik daripadaku. Tapi ia berhati culas dan tidak segan-segan berlaku keji. Sekiranya bukan karena aku membenci kecurangan, niscaya aku akan menjadi orang yang paling cerdik (memainkan kecurangan). Namun, setiap kecurangan pasti membawa pada kekejian, dan setiap kekejian pasti membawa pada kekufuran.”
Pada tahap berikutnya, Muawiyah mencurangi Imam Hasan dengan butir-butir perjanjian damai yang dipaksakan. Dia juga memanipulir hampir semua simbol Islam demi menggelindingkan rencana-rencana kotor itu. Dan inilah letak masalah besar yang mesti dihadapi dengan sebuah perlawanan dramatis dan kolosal yang untuk sekali dan selamanya bisa membedakan dengan jelas mana pihak yang benar dan mana pihak yang batil.
Gerakan Imam Husein, dengan segenap detailnya yang dramatis, kolosal dan tragis itu sungguh berhasil menjungkirbalikkan manipulasi simbol-simbol yang dimainkan oleh Bani Umayah. Bukan hanya itu! Imam Husein bahkan berhasil menunjukkan kepada umat Muslim pada khususnya, dan umat manusia pada umumnya, bahwa ilusi Bani Umayah untuk mempermainkan sentimen-sentimen masyarakat dengan menampilkan kekejaman, teror dan intimidasi di satu sisi serta sogokan dan politik uang di sisi lain, sesungguhnya tidak akan bisa mengalahkan suara kebenaran dan keadilan.
Imam Husein telah membuktikan dengan segenap aksinya bahwa kekuasaan yang bertopang pada kebatilan yang sangat cerdik memanipulasi simbol-simbol agama, memainkan sentimen-sentimen kesukuan, menghadirkan teror dan ketakutan dan mengumbar ilusi-ilusi kesejahteraan dan kemakmuran, tidak mungkin bertahan menghadapi darah-darah suci yang berkorban demi kebenaran dan keadilan. Aksi dramatis Asyura di medan Karbala itu dengan cepat memotong tangan-tangan kotor Dinasti Umayah yang ingin mengendalikan umat dengan tipuan dan teror. Di hadapan kedahsyatan hari itu, semua mata terbelalak dan semua distorsi tersingkirkan. Di hadapan pengobanan sebesar itu, hati manusia paling beku pun menjadi leleh dan tertunduk kembali menerima kebenaran.
Keempat, ciri lain kesucian gerakan Imam Husein ialah fakta bahwa gerakan itu bermula dari bawah. Maksudnya, gerakan itu tumbuh secara sosial dari akar rumput, sebagai pelayanan dan respons atas kebutuhan umat. Ia bukan hasil rekayasa elit tertentu. Dalam bahasa modern, gerakan itu berproses dari bawah (bottom-up), bukan diperintah dari atas (top-down).
Beberapa saat setelah Yazid berkuasa di Damaskus, Imam Husein menerima ribuan surat dari berbagai penjuru dunia Islam. Surat yang paling banyak berasal dari warga Irak. Keberangkatan Imam Husein ke Irak, sebagaimana keberangkatan Nabi ke Madinah, merupakan bentuk pelayanan pada umat yang membutuhkannya. Beliau bukan ingin menghindari nestapa atau kematian, seperti yang diduga sebagian orang, tapi ingin melayani manusia dan menyambut jeritan mereka. Imam Husein memilih Kufah lantaran di sanalah, menurut ratusan (sebagian versi menyebut ribuan) surat yang beliau terima, para penduduk sudah tidak lagi tahan terhadap kekejaman kaki tangan Yazid.
Untuk mengilustrasikan suasana pengiriman salah satu surat, kita dapat melihat peristiwa yang terjadi di depan rumah Sulaiman bin Surd al-Khuzai. Sesaat setelah Muawiyah mati dan Yazid memegang tampuk kekuasaan, para pendukung Imam Ali berkumpul di rumah Sulaiman dan bersama-sama mengucapkan syukur kepada Allah atas kematian Muawiyah. Sulaiman lalu mengatakan di hadapan ratusan orang yang hadir di sana: “Muawiyah telah meninggal dan Husein bin Ali menolak baiat kepada Yazid. Kini beliau berangkat menuju Makkah. Kalian adalah pendukung Husein sebagaimana sebelumnya kalian mendukung ayahnya Ali. Jika kalian telah siap membantunya dan mengorbankan nyawa untuk melawan musuhnya, maka kalian harus memberitahunya melalui sebuah surat. Tapi jika kali takut, jangan kalian menipunya dan memintanya datang kesini.”
Hadirin yang berada di depan rumahnya lantas bersama-sama menyatakan kesiapan mendukung dan berkorban untuk Imam Husein. Mereka juga dengan jelas menyatakan bahwa mereka telah lama tertekan di bawah kekuasaan Muawiyah dan bakal hidup lebih sengsara di bawah kekuasaan Yazid. Mendengar jawaban itu, Sulaiman mengajak mereka bersama-sama menulis surat sebagai berikut.
Bismillâhi-Rahmân-ni-Rahîm
Surat ini ditulis oleh Sulaiman bin Surd, Musayyab bin Najbah, Rafa bin Shaddad al-Bajali dan Habib bin Mazhahir di hadapan sejumlah kaum Muslim dan pendukung setia Husein bin Ali yang tinggal di Kufah: “Salam sejahtera untuk Anda. Segala puji bagi Allah tiada tuhan selain-Nya. Terpujilah Dia yang telah menghancurkan musuhmu yang menindas dan bengis, orang yang menguasai umat ini, merampas kendali pemerintahan secara tidak sah, mencuri harta umat dan menjadi penguasa kaum Muslim tanpa persetujuan mereka. Lalu dia membunuh orang-orang paling saleh dan menyisakan orang-orang keji. Dia membiarkan harta Allah di tangan para penindas dan golongan kaya. Semoga Allah mengutuknya seperti Dia mengutup kaum Tsamud. Sekarang ini kami, masyarakat Irak, tidak memiliki pemimpin atau Imam. Maka itu, kami meminta Anda untuk berangkat menuju kami dan memimpin kami.”
Atas persetujuan hadirin, Sulaiman lantas menyuruh Abdullah bin Suba al-Hamadani dan Abdullah bin Wal untuk bergegas ke Mekkah dan menemui Imam Husein di sana. Pada 10 Ramadhan tahun 60 H, kedua orang ini sampai di hadapan Imam Husein dan memberikan surat tersebut. Dalam buku A Probe into the History of Ashura, Dr. Ibrahim Ayati mencatat setidaknya 150 surat dari warga Kufah saja. Setiap surat ditulis oleh paling sedikitnya empat orang. Jadi, pukul rata saja, sedikitnya 600 warga Kufah telah meminta Imam Husein untuk pergi memimpin dan membantu mereka. Proses demokratis ini berjalan cukup lama sebelum beliau memutuskan untuk pergi menemui mereka.
Rahasia Aspek Waktu
Salah satu aspek penting lain dalam peristiwa Karbala adalah waktu yang dipilih oleh Imam Husein untuk pergi dari Madinah sampai hari kesyahidannya. Sudah banyak sekali kajian seputar masalah ini. Saya hanya akan memberikan gambaran umum tentang rahasia penting ini, agar kita bisa menelaah lebih jauh keagungan peristiwa ini dan nilai-nilai besar yang dikandungnya.
Pertama, sejarah merekam bahwa Imam Husein pergi meninggalkan Madinah menuju Mekkah pada hari ketiga bulan Sya’ban tahun 60 Hijriah. Mulai hari itu sampai tanggal 8 Dzul Hijjah tahun 60 Hijriah beliau menetap di Mekkah. Di kota suci ini, Imam Husein bertemu dengan ribuan kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia. Beliau juga memberikan berbagai wejangan, sekaligus menjelaskan falsafah gerakan perlawanannya. Jelas bahwa keberadaan beliau di Mekkah pada bulan-bulan suci itu merupakan bagian dari rencana matang yang telah beliau persiapkan sejak semula.
Seperti sudah kita ketahui bersama, Sya’ban dan Ramadhan adalah dua bulan yang banyak mengandung nilai kesucian dalam Islam. Pilihan beliau untuk berangkat dari Madinah pada awal Sya’ban itu sama sekali tidak boleh dipandang sebagai kebetulan belaka. Pilihan itu jelas sekali untuk mendukung dan memperjelas posisi kesucian gerakan beliau.
Rajab, Sya’ban dan Ramadhan adalah tiga di antara 12 bulan Islam yang dianggap sebagai bulan-bulan ibadah. Tapi, di antara ketiganya, bulan Ramadhan jelaslah yang paling bernilai. Di bulan inilah Allah memerintahkan manusia untuk berpuasa; berpuasa dari kelalaian, kebodohan, kesombongan, pencarian dunia. Dalam banyak hadis, Nabi menyatakan bahwa ibadah yang terbaik adalah bertafakur dan mengekang diri dari segenap larangan-Nya, agar kemudian kita dapat berbuka dengan pencerahan dan kesadaran baru.
Sudah barang tentu tidak ada waktu yang lebih tepat untuk mengingatkan kaum Muslim akan kerusakan yang ditimpakan oleh kekuasaan Yazid atas Islam selain bulan Ramadhan. Selain akan mendukung pesan-pesan suci beliau, di bulan ini kebanyakan kaum Muslim berada pada tingkat kesucian yang lebih dari biasanya. Di bulan suci ini, Imam Husein ingin mengingatkan umat akan kewajiban tertinggi Islam yang merupakan konsekuensi langsung dari tauhid, yaitu menegakkan keadilan dan melawan penindasan.
Kedua, Imam Husein juga memilih pekan pertama bulan Dzul Hijjah, tepatnya tanggal 8, untuk memulai perjalanannya menuju Kufah. Kita tahu bahwa ibadah haji mempunyai dimensi sosial, politik dan ekonomi yang sangat kental. Pada momen ibadah ini, Imam Husein mengumandangkan manifesto gerakannya. Apalagi kita tahu bahwa dalam ibadah haji ini Allah memerintahkan kita untuk menyatakan bara’ah (lepas tangan) dari kaum Musyrik dan segala kejahatan. Nah, memilih bulan ini untuk menyerukan perintah bara’ah sangatlah strategis dan tepat sasaran.
Manakala banyak Muslim berihram untuk melaksanakan ibadah haji, cucu Nabi ini justru meninggalkan Mekkah. Beliau hanya melakukan umrah dan tidak melanjutkan haji. Setelah bertawaf mengelilingi Ka’bah dan melakukan sai antara Shafa dan Marwa, beliau melepas ihram. Kejutan seperti ini beliau pakai untuk menambah bobot dalam gerakannya. Beliau berharap masyarakat Muslim bertanya-tanya dan mencari alasan di balik pilihan ini.
Di hadapan para jamaah haji yang datang menemuinya waktu itu, Imam Husein mengatakan bahwa tidak ada yang dapat beliau lakukan kecuali beranjak menyambut kesyahidan. Di hari terakhir keberadaannya di Mekkah, Imam Husein berkata: “Aku bisa melihat serigala-serigala padang pasir Irak menyerangku di antara Nawawis dan Karbala dan merobek-robek tubuhku. Mereka melakukannya demi memenuhi kantong-kantong harta mereka. Urusan mereka adalah memuaskan kerakusan, sedangkan urusanku adalah melawan kerusakan dalam masyarakat dan agama ini. Allah telah memilih kesyahidanku sebagai penyembuh dan jalan perbaikan keadaan… Hanya orang yang siap mengorbankan nyawanya di jalan Allah yang akan menemaniku.”
Sebagian pengamat menyatakan bahwa beliau tidak ingin para kolaborator Yazid merusak kesucian Mekkah dan membunuhnya di sana. Beliau khawatir tindakan itu akan menjadi preseden buruk bagi Islam di kemudian hari. Tapi, agaknya, upaya beliau meninggalkan ihram dan berangkat menuju Kufah pada tanggal 8 itu juga untuk menunjukkan sikap yang lebih fundamental: bahwa apa yang beliau lakukan lebih penting ketimbang semua ibadah ritual apapun. Beliau sedang melakukan penyelamatan Islam dari tangan-tangah para durja. Dan ini memang tampak jelas bagi siapa saja yang pada waktu itu berkumpul mendengarkan ceramah-ceramah Imam di Mekkah.
Saat Muhammad bin Hanafiyah memberitahukan bahwa orang-orang Mekkah dan jamaah haji bertanya-tanya mengapa dia pergi sehari sebelum hari raya Haji, Imam meninggalkan surat kepada saudaranya yang menerangkan maksudnya dengan jelas. Surat itu antara lain berisi: “Aku tidak keluar untuk melakukan huru-hara atau penindasan. Aku ingin membawa umat ini kembali ke jalan amar makruf nahi munkar. Aku ingin mengajak mereka ke jalan kakekku Rasulullah dan ayahku Ali bin Abi Thalib.”
Ketiga, Imam Husein tiba di Karbala pada tanggal 2 Muharam. Dan Muharam adalah bulan hijrah Nabi yang kemudian dijadikan tahun baru Islam. Imam Husein memilih tiba di sana pada awal Muharam untuk tujuan yang juga sangat penting. Salah satu tujuannya ialah mengaitkan hijrahnya dengan hijrah Nabi. Imam Husein ingin mengingatkan kita pada tujuan hijrah Nabi ke Madinah yang tak lain adalah membangun masyarakat Islam yang berkeadilan. Nabi tidak berhijrah untuk kekuasaan atau sejenisnya, demikian pula Imam Husein.
Tahun baru Islam ini juga beliau jadikan momentum untuk menyegarkan kembali kesadaran umat akan Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Setidaknya ada dua esensi Islam yang didengung-dengungkan oleh Imam Husein sepanjang perjalanannya, (a) tauhid, yakni tiada tuhan dan penguasa selain Allah dan bahwa semua kekuasaan yang tidak tegak di atas perintah Allah adalah kekuasaan yang zalim; dan (b) tidak ada keunggulan satu manusia atas manusia lain kecuali dengan ketakwaan. Dan seperti kita tahu, ketakwaan dalam Islam merupakan istilah generik untuk semua kebajikan.
Kita tahu bahwa di zaman itu umat Islam diterpa oleh fitnah Jahiliah yang mempermainkan sentimen kesukuan, fanatisme kelompok dan semangat regional. Banyak kalangan masyarakat Arab yang kembali menjalin afinitas berdasarkan hubungan-hubungan seperti ini, sehingga Imam Husein mendesak semua orang untuk tidak berpikir dengan landasan konyol seperti itu.
Sejak Nabi wafat sampai kebangkitan Imam Husein, masyarakat Islam sering terpecah berdasarkan suku (tribalisme), mujahir versus non muhajir (partisanisme), Kufah versus Syam (regionalisme), dan sebagainya. Seperti juga kakeknya, Imam Husein hendak menyatakan bahwa kelebihan atau kekurangan orang adalah konsekuensi pilihan bebasnya sendiri, bukan berpijak pada hal-ihwal yang tidak bisa dipilih seperti garis keturunan, tempat kelahiran dan semacamnya. Selain itu, baik Nabi maupun Imam Husein sebenarnya sama-sama bergerak untuk menyambut permintaan warga setempat. Mereka sama-sama bergerak dengan niat melayani, bukan memerintah atau menguasai.
Pada kali pertama perjumpaannya dengan pasukan Ibn Ziyad di Karbala, Imam Husein berseru sebagai berikut, “Ingatlah, bila kalian melihat penguasa melanggar larangan Allah dan Rasul-Nya, bergelimang dosa dan menindas rakyat yang dipimpinnya, tapi kalian tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan penguasa macam itu, maka di hadapan Allah kalian dan dia sama-sama berdosa.” Lalu beliau menambahkan: “Orangtuaku tidak membesarkanku untuk tunduk pada penindas yang keji. Aku adalah Imam kalian dan sudah menjadi kewajibanku untuk memberitahu kalian bahwa kalian telah menyerahkan kemerdekaan pikiran kalian pada cara-cara jahat Yazid. Jika kalian tidak peduli pada Islam, dan tidak takut hari perhitungan, maka setidaknya pedulilah pada karunia Allah yang berharga bagi kalian, yakni kemerdekaan jiwa kalian!”
Di samping kerupaan tujuan, hijrah Nabi dan hijrah Imam Husein juga memiliki keserupaan dalam pola dan metode. Misalnya, keduanya sama-sama mengutus delegasi untuk memastikan kesiapan warga setempat, melakukan inspeksi lapangan dan menemui pimpinan suku-suku setempat. Kesimpulannya, yang jelas, siapa saja yang membaca sejarah hijrah Nabi dan gerakan Asyura akan menemukan sekian banyak keserupaan, baik dalam tujuan maupun pola gerakan. Pemimpin Hizbullah, Sayyid Hasan Nahsrullah, dalam seri ceramah Asyura tahun ini telah mengupas berbagai titik persamaan antara kedua hijrah tersebut.
Rahasia Aspek Tempat
Salah satu aspek penting dalam gerakan Imam Husein adalah tempat-tempat yang beliau lalui menuju Karbala. Belum ada riset luas mengenai signifikansi khas masing-masing tempat, tapi jelas bahwa semua tempat yang Imam singgahi memiliki arti penting bagi keseluruhan strategi dan keberhasilan gerakannya.
Marilah kita mulai dengan kota yang paling penting, Mekkah. Sebagai Muslim, kita percaya bahwa inilah tempat paling suci di muka bumi. Inilah tempat pertama yang Allah bangun sebagai rumah ibadah. Di sini Nabi Ibrahim melakukan ibadahnya yang mencerminkan tauhid dan melakukan pengorbanan terbesarnya, berupa penyembelihan Ismail. Inilah kiblat, tempat ibadah haji dan berkumpulnya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan dari sini pula Nabi mengawali perjuangannya menyebarkan ajaran tauhid.
Keberangkatan Imam Husein dari Mekkah semakin mempertegas keserupaan kedua hijrah ini. Imam ingin menjaga keserupaan ini dalam semua dimensinya, termasuk secara lahiriah, sedemikian hingga ingatan tentang hijrah akan membawa orang pada ingatan tentang Asyura. Pilihan Mekkah sebagai titik tolak ialah untuk meletakkan hijrah Nabi dan Asyura dalam satu lingkaran misi yang utuh. Barangkali dalam koteks inilah seharusnya kita memahami hadis Nabi yang berbunyi, “Husein dariku dan aku dari Husein. Allah mencintai siapa saja yang mencintai Husein.”
Setelah beranjak dari Mekkah, ada 13 persinggahan lain yang Imam Husein lalui sebelum tiba di Karbala. Saya akan mengutip beberapa di antaranya dari Route of Imam Hussain (A.S) from Makkah to Karbala karya Syed MR Shabbar. Persinggahan pertama Imam Husein adalah Saffah. Di sini Imam bertemu dengan Farazdaq, penyair Arab yang ditanyai oleh Imam tentang keadaan penduduk Kufah. Mendengar kata-kata Farazdaq yang sudah kita kutip di atas, Imam menjawab, “Allah telah mengambil keputusan. Aku serahkan nasibku kepada-Nya yang telah memberiku alasan yang benar untuk bergerak.”
Selanjutnya Imam singgah di Dzat Al-Irq. Di tempat ini beliau bertemu dengan Abdullah bin Jafar yang menyerahkan dua anak lelakinya, Auwn dan Muhammad, kepada ibunya, Sayidah Zainab, untuk membantu Imam. Abdullah membujuk Imam untuk kembali ke Madinah tetapi Imam menjawab, ”Nasibku di tangan Allah.” Di Zurud, kota atau desa berikutnya, Imam bertemu dengan Zuhair bin Qain. Zuhair bukan termasuk pengikut Ahlulbait. Tapi, ketika Imam memberitahukan tujuan perjalanannya, Zuhair menitipkan semua hartanya kepada istrinya dan menyuruhnya pulang sendirian, karen dia berniat menjadi syahid bersama Husein.
Sesampainya di Zabala, tidak jauh dari Zurud, Imam mendengar berita syahadah Muslim bin Aqil, utusannya untuk menengok warga Kufah. Imam berkata, “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. ‘Indallahi nahtasib anfusana.” (Kita berasal dari Allah dan pasti kembali kepada-Nya. Kepada-Nyalah kita pasrahkan diri kita). Seorang dari suku Asadi mencoba membujuk Imam untuk balik, tapi beliau tak bergeming. Di sini Imam memberitahukan sahabatnya itu tentang kematian Muslim bin Aqil dan Hani dan bahwa orang Kufah telah berkhianat. Imam berkata,”Siapa yang ingin pergi, silahkan.” Kumpulan orang dari berbagai suku yang ikut dalam perjalanan dengan harapan mendapatkan pampasan perang menyadari harapan mereka menemui jalan buntu. Mereka pun akhirnya berpencar pulang. Hanya 50 orang yang tetap tinggal bersama Imam Husein.
Lalu Imam bermalam di Sorat dan pagi harinya beliau memerintahkan para sahabatnya untuk membawa air sebanyak mungkin. Tak jauh dari Sorat, tepatnya di desa Zuhasm, Imam bertemu dengan al-Hurr yang membawa pasukan 1000 orang. Mereka kehausan lalu Imam memerintahkan para sahabat untuk memberi air pada mereka. Imam sendiri menolong beberapa tentara yang kehausaan untuk minum. Bahkan binatang mereka pun diberi minum. Selepas shalat Zuhur berjamaah, Imam mengabarkan pada al-Hurr tentang surat-surat yang dia terima dari Kufah.
Beliau berseru,”Wahai warga Kufah, kalian kirim delegasi dan ratusan surat untuk menyatakan bahwa kalian tidak punya pemimpin dan memintaku datang untuk memimpin kalian di jalan Allah. Kalian menulis bahwa kami Ahlulbait lebih pantas mengendalikan urusan kalian daripada para pelaku kezaliman dan kebatilan. Tapi, jika kalian mengubah putusan, mengabaikan hak kami dan melupakan janji kalian, maka aku akan kembali.”
Keesokan harinya, Imam Husein sampai di Baiza dan memberikan khutbahnya yang terkenal. ”Wahai manusia, Nabi telah berkata bahwa jika seseorang menjumpai pemimpin tiran, menyeleweng dari jalan Allah dan Nabi dan menindas orang, tapi kalian tidak melakukan apa-apa lewat perkataan atau tindakan untuk mengubahnya, maka keadilan Allah yang akan menghukumnya. Tidakkah kalian melihat nistanya keadaan kalian… Tidakkah kalian perhatikan bahwa kebenaran tidak diikuti dan kebatilan berlaku tanpa batas. Aku akan mencari syahada, karena hidup di tengah kesesatan tidaklah berarti apa-apa kecuali kesedihan dan penderitaan.”
Di Uzaibul Hajanat, Imam bertemu dengan Tsimmah bin Adi. Setelah mengetahui Kufah telah menelantarkan utusannya, Muslim bin Aqil, Imam tidak lantas kecil hati. Saat Trimmah menawarkan bantuan 20.000 tentara terlatih dari sukunya untuk mengiringi Imam ke Kufah atau berlindung di pegunungan, Imam menjawab, “Semoga Allah memberkahimu dan orang-orangmu. Aku tidak bisa menarik kata-kataku.” Dari jawaban ini jelas bahwa Imam mengerti sepenuhnya situasi yang bakal dia hadapi. Dia juga telah mempersiapkan strategi jitu untuk mengadakan revolusi demi penyadaran kaum Muslim. Dia tidak mencoba memobilisasi pasukan militer yang dapat dengan mudah dia lakukan sejak di Hijaz, sebagaimana dia juga tidak mengambil kesempatan mendapatkan kekuatan militer baru.
Pada hari pertama Muharam, Imam dan rombongan tiba di wilayah Nainawa. Rombongan melanjutkan prosesi melewati Ghadiriyah menuju lokasi yang disebut dengan Karbala. Sebelum berhenti, Imam menanyakan nama lokasi itu. Seseorang memberitahunya bahwa tempat itu bernama Karbala. Imam lalu menjawab, “Memang, inilah tempat karb wa bala (kegelisahan dan prahara). Mari kita berhenti di sini karena kita telah tiba di tujuan. Ini adalah tempat kesyahidan. Inilah Karbala.”
Karbala adalah sebuah tempat yang unik dalam sejarah manusia. Nama-nama lain wilayah ini adalah Nainawa, al-Ghadiriyah dan Tepian Furat (syathi’ul-furât). Masing-masing nama itu sepertinya merujuk pada salah satu karakteristik wilayah tersebut. Sebagai pembukaan, saya akan mengutip pasase dari tulisan Abdullah Yusuf Ali, penerjemah al-Qur’an yang sangat terkenal itu.
“Dalam rangka memberikan gambaran geografis seputar tempat tragedi besar ini terjadi, saya merasa beruntung punya ingatan pribadi tentangnya. Semua ingatan itu mempertegas gambaran di benak saya, dan mungkin bisa juga membantu Anda.
Ketika saya mengunjungi tempat-tempat itu pada tahun 1928, saya ingat datang dari Baghdad melalui seluruh titik yang dilewati oleh sungai Eufrat. Saat saya menyeberang sungai dengan perahu di Al-Musaiyib pada pagi cerah bulan April, benak saya meloncat ke abad-abad silam. Di sisi kiri aliran sungai itu ada tanah tua dari sejarah Babilonia, stasiun kereta Hilla dan reruntuhan kota Babilon. Di situ Anda menyaksikan salah satu peradaban kuno terbesar. Lantaran mungkin bercampur debu, baru beberapa tahun terakhir ini kita menyadari kebesaran dan keagungan tempat itu.
Lalu di situ Anda menemukan arus besar sungai Eufrat, yang dinamai dengan Furat, sebuah sungai yang tiada bandingnya. Sumber air yang berhulu dari berbagai tempat di pegunungan Armenia Timur, mengalir meliuk-liuk melewati daerah perbukitan, dan akhirnya menyusuri gurun pasir, seperti yang kita ketahui sekarang. Di tiap cabang atau anak sungainya, ia mengubah gurun menjadi daerah perkebunan buah-buahan. Dalam ungkapan indahnya, Eufrat telah membuat gurun pasir mekar seperti mawar. Sungai ini menyusur sampai ujung Timur gurun Suriah lalu mengalir ke rawa-rawa.
Di bagian yang tidak jauh dari Karbala sendiri terdapat danau-danau yang menampung air dan menjadi sumber air untuk keperluan hidup. Ke bawah lagi sungai ini bersatu dengan sungai lainnya, yaitu Tigris, dan gabungan aliran sungai ini dikenal sebagai Shatt al-Arab yang mengalir sampai ke Teluk Persia.”
Tapi gambaran geografis Abdullah Yusuf Ali itu belum menjelaskan rahasia tempat ini, dan mengapa sebenarnya Imam memilih Karbala sebagai tanah kesyahidannya? Ada banyak teori yang dikemukakan untuk menjawab soal ini. Secara umum, ada dua teori saling berhubungan yang mencoba menyingkap rahasia tempat itu. Pertama, tempat ini dipilih berdasarkan isyarat Ilahi yang diterima oleh Nabi tentang kesyahidan Imam Husein. Karena itu, saat mendengar nama Karbala, Imam yang pernah mendengar isyarat Ilahi itu dari Nabi langsung meminta para sahabatnya untuk mendirikan tenda dan menetap di situ. Menurut teori ini, ada misteri Ilahi yang agung dalam pemilihan tempat tersebut.
Kedua, sejalan dengan teori pertama, Imam memilih tempat ini karena ia berada di wilayah paling tua dalam sejarah manusia, yakni Mesopotamia. Seperti sudah kita tahu, di Mesopotami itulah manusia mulai pertama kali mencatat sejarahnya sekitar 3500 tahun sebelum Masehi. Sejak ribuan tahun itu pula, manusia telah membangun ratusan peradaban di sungai Eufrat dan Tigris. Para ahli sejarah menyebut Mesopotamia (secara harfiah berarti, ‘di antara dua sungai’) sebagai cradle of civilization (buaian peradaban). Jadi, Karbala dipilih dengan kesadaran penuh Imam akan sebuah konteks trans-historis dari misi yang diembannya. Imam sadar betul bahwa Karbala dapat menjadi lambang keabadian misinya. Semua manusia tertindas di muka bumi ini dapat mengaitkan dirinya dengan tanah persaksian itu. Dan karena itu, setelah peristiwa Asyura, di mana-mana kita mendengar slogan, “Kullu yaumin ‘Asyura wa kullu ardhin Karbala.” (Setiap hari adalah Asyura, dan setiap tempat adalah Karbala).
Edward G. Brown, seorang profesor di University of Cambridge pernah menulis: “…ingatan akan padang Karbala yang bersimbah darah, tempat cucu Rasul gugur, tak berdaya, disiksa oleh dahaga, dan dikerubungi oleh para pembunuh keluarganya, sejak waktu itu hingga sekarang ini, tetap memadai untuk menimbulkan, sekalipun di hati orang yang paling suam dan tak peduli, sebuah emosi yang terdalam, kesedihan yang meluap-luap, dan kebangkitan semangat yang di hadapannya semua rasa sakit, bahaya, dan kematian menjadi demikian remeh.”
Derita kesyahidan, dengarlah, adalah hari kegembiraan.
Yazid tidak mendapatkan sebutir atom pun dari cinta ini.
Kematian adalah hujan (berkah) bagi anak-anak Ali.
Wallahu a’lam bi-shawab
Daftar Pustaka
· Murtadha Muthahhari, Hamose’e Huseyni, Intisyarat-e Shadr, Qom, Iran.
· Dr. Ibrahim Ayati, A Probe Into the History of Ashura, Islamic Seminary Publications, Karachi, Pakistan.
· Syed MR Shabbar, Route of Imam Hussain (A.S) from Makkah to Karbala, The Muhammadi Trust of Great Britain and Northern Ireland
· Sayyid Hasan Nashrullah, Seri Ceramah Asyura 1429, www.wa3ad.org
· Abdullah Yusuf Ali, Imam Husain and His Martyrdom, www.al-islam.org
· Henry Corbin, Spiritual Body and Celestial Earth: From Mazdean Iran to Shi’ite Iran. Trans. Nancy Pearson. Princeton: Princeton University Press, 1977.