Budaya Cinta Nabi SAW di Indonesia
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, budaya dimaknai sebagai 1 pikiran; akal budi; 2 adat istiadat; 3 sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); 4 sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah.
Salah satu budaya yang begitu mengakar kuat di masyarakat adalah budaya peringatan maulid Nabi saw. Maulid/Maulud Nabi Muhammad saw adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad saw, yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah.
Kata maulid/maulud berasal dari bahasa Arab. Dalam tata bahasa Arab, maulid merupakan ism zaman dan ism makan yang bermakna hari/waktu dan tempat kelahiran. Dalam penggunaannya, kita lebih sering mendengar acara muludan/mauludun daripada maulidan. Unsur logat daerah pun turut andil dalam mengubah kata maulud menjadi mulud.
Tulisan singkat ini mencoba untuk memotret kegiatan maulid di pelbagai pelosok negeri dengan cara dan gayanya masing-masing. Dan gema maulid yang membahana. Ini menunjukkan bahwa umat Islam Indonesia dari beragam kelompok begitu menyayangi dan mencintai Nabi Besar Muhammad saw.
1-Tradisi Maulud di Pulau Madura
Masyarakat Madura terkenal sejak dahulu kala sebagai Muslimin yang taat pemimpin (kyai atau habaib) dan cinta shalawatan dan maulid Nabi saw. Begitu datang bulan maulid, masyarakat Madura di pelbagai daerah meramaikan sura-sura dan masjid-masjid serta pesantren-pesantren dengan pelbagai acara dan ritual untuk mengagungkan kebesaran Nabi saw, baik membaca kitab maulid barzanji, diba’maupun simthu durar. pembacaan Semua kitab maulid tersebut membahas riwayat hidup Nabi saw. Setelah pembacaan kitab maulid, biasanya disampaikan tausiah dan ceramah keagamaan yang menceritakan sirah Nabi saw semasa hidupnya untuk dijadikan sebagai tuntunan hidup.
Pada saat pembacaan barzanji, tumpeng-tumpeng, berkatan dan aneka kue dan makanan dijajarkan di tengah orang-orang yang melingkar untuk didoakan. Setelah selesai, tumpeng-tumpeng itu kemudian dibelah-belah dan dimakan bersama-sama.
2-Grebeg Maulud, Yogyakarta
Grebeg Maulud memuncaki acara rangkaian acara Sekaten, yang digelar untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad saw setiap tanggal 5 hingga tanggal 12 Maulud.
Acara ini ditandai dengan iring-iringan Gunungan yang diarak dari dalam Keraton menuju Masjid Gedhe untuk diberkati dan didoakan. Setelah itu gunungan tersebut diperebutkan oleh masyarakat yang hadir dalam rangka ngalap berkah (mendapatkan keberkahan).
- Panjang Jimat, Cirebon
Masyarakat Cirebon menyambut bulan maulid dengan keceriaan dan kesemangatan. Dan satu minggu atau dua minggu sebelum bulan maulid, area di sekitar masjid agung Kasepuhan dan Keraton Kasepuhan dipadati oleh para pedagang kaki lima yang setiap tahun menjelang bulan maulid memang secara rutin menjajakan dagangannya. Penjual aneka martabak, tahu petis, pakaian, mainan anak-anak, aneka oleh-oleh khas Cirebon pun dengan mudah didapatkan dengan harga murah di area tersebut yang seolah-oleh disulap menjadi pasar rakyat tahunan.
Tradisi Panjang Jimat rutin dan turun temurun dilaksanakan di Keraton Cirebon (Kanoman, Kasepuhan, Kacirebonan dan Kompleks makam Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati) tiap malam 12 Rabiul Awal. Istilah Panjang Jimat berasal dari dua kata: panjang yang artinya lestari dan jimat yang berarti pusaka. Jadi, Panjang Jimat berarti usaha untuk mengabadikan pusaka paling berharga yang dimiliki umat Islam sebagai umat Nabi saw, yaitu dua kalimat syahadat.
Puncak malam 12 Rabiul Awal ditandai dengan seremonial Panjang Jimat dengan mengarak berbagai macam barang yang sarat makna. Di antaranya, ada orang yang mengarak nasi tujuh rupa/nasi jimat dari Bangsal Jinem yang merupakan tempat sultan bertahta, dibawa ke masjid atau musala keraton.
- Panjang Mulud, Serang
Ritual Panjang Mulud digagas oleh masyarakat Serang, Banten. Tradisi ini ditandai dengan mengarak berbagai jenis makanan, pakaian, dan uang dalam kendaraan hias yang berwarna-warni.
Konon, tradisi Panjang Mulud diwarisi oleh masyarakat sejak jaman Sultan Ageng Tirtayasa. Panjang Mulud sendiri merupakan tempat untuk mengangkut makanan yang dibagikan saat perayaan Maulid atau hari lahir Nabi Muhammad Saw. Seiring berjalannya waktu, bentuk Panjang Mulud kini juga mengikuti perkembangan budaya populer.
- Pawai Endog-endogan, Banyuwangi
Pawai Endog-endogan (telur) dilakukan dengan mengarak telur hias. Telur-telur yang telah direbus kemudian dihias pelbagai rupa dan bentuk yang unik dan menarik. Media dan alat yang digunakan untuk meletakkan telur tersebut adalah kayu/bambu yang ditancapkan ke sepotong batang pisang. Batang pisang yang dihiasi aneka bunga dari kertas dan telur itu diarak dan kemudian dibagikan ke massa.
Tradisi Endog-endogan dilakukan oleh masyarakat Banyuwangi selama puluhan tahun. Tradisi ini memberi pesan budaya kesetiakawanan dan kerjasama serta bahu membahu antara masyarakat dan sebagai ekspresi kecintaan umat Islam terhadap Nabi Muhammad saw.
Ada yang mengkaitkan tradisi tersebut dengan Wali Songo, yaitu Sunan Giri yang notabene beliau adalah putra Blambangan, yang merupakan cikal bakal Kabupaten Banyuwangi.
- Zikir Berdiri dan Melompat, Aceh
Kawasan Di Panton Ree, Kabupaten Aceh Barat, Nangroe Aceh Darussalam mempunyai cara dan adat tersendiri dalam merayakan kelahiran Nabi saw. Di daerah tersebut ada tradisi doa dan zikir sembari duduk, berdiri dan melompat. Demikianlah cara masyarakat di sana menunjukkan luapan kegembiraan dan kecintaannya dalam rangka menyambut Maulid Nabi.
Ritual zikir ini diakhiri dengan membagikan pelbagai hidangan yang dikenal dengan sebutan idang meulapeh.
Dan tentu masih ada tradisi, budaya dan adat istiadat lainnya yang dilakukan oleh komunitas dan masyarakat di pelbagai belahan tanah air yang jarang diberitakan atau bahkan tidak pernah terekspos.
Pelbagai budaya tersebut menunjukkan bahwa jasad Nabi saw telah terkubur kaku di masjid nabawi, Madinah seribu empat ratus tahun lebih, namun ruh beliau tetap hadir dan hidup di hati setiap Muslim pencintanya, apapun mazhab, keyakinan dan budaya yang mereka anut.
Apresiasi budaya cinta Nabi saw tersebut menandakan hubungan harmonis dan abadi antara umat dan Nabinya. Dan alangkah baiknya bila relasi cinta yang terbangun indah ini ditingkatkan dan diperkuat dengan pengenalan (makrifat) secara baik dan benar terhadap sang idola. Sebab, budaya cinta yang tidak dibangun dengan dasar makrifat, niscaya akan memudar, kemudian luntur dan bahkan bisa menyimpang.
M.Tsaqafi