Mengenang 2 tahun Syahid Qasim Soleimani
Annisa Eka Nurfitria, LC___Qasim Soleimani lahir pada tahun 1955 di provinsi Kerman di tenggara Iran. Saat remaja ia hobi melakukan seni bela diri dan olahraga Zurkhaneh (olahraga tradisional di Iran). Seperti yang dia katakan, “Olahraga berdampak besar pada moralitas agama saya. Salah satu alasan terpenting mengapa saya tidak terseret ke dalam kegiatan asusila adalah olahraga meskipun saya masih muda, terutama olahraga tradisional yang memiliki dasar dan prinsip moral dan agama.” Semua upaya dan aktivitas tersebut membawanya menjadi atlet profesional dengan tubuh lincah nan berotot di usianya yang baru menginjak 21 tahun. Ia dibesarkan dalam keluarga petani miskin dan bekerja sebagai pekerja konstruksi. Soleimani melanjutkan pendidikannya hingga SMA kemudian bekerja di kotamadya Kerman hingga Revolusi Islam Iran pada 1979. Setelah keberhasilan revolusi Iran melawan Shah, ia bergabung dengan Korps Pengawal Revolusi Islam pada awal 1980 yang didirikan atas perintah pemimpin spiritual Iran Ayatollah Khomeini pada November 1979.
Dikutip dari Khamenei.ir, salah satu sudut pandang terpenting Syahid Qasim adalah teori ”regional security”, tujuannya mempelajari dan mengembangkan teori dan pemahaman barat tersebut adalah untuk mencegah rencana mereka terpenuhi. Menurut teori ini, keamanan negara-negara Islam (Asia Barat) saling mempengaruhi dan terhubung satu sama lain. Dengan kata lain, ketidakamanan di Suriah akan berdampak pada keamanan Irak, begitu juga ketidakamanan di Irak akan membahayakan keamanan Iran. Untuk memastikan keamanan Asia Barat dan menangkal plot barat, Syahid Soleimani mengembangkan model resistensi dalam melawan ekstremisme dan terorisme berdasarkan pengembangan strategi. Ia bahkan mendahului rencana barat, di mana mereka mencoba menciptakan perselisihan bagi kubu anti-Zionis, namun ia justru menyatukan negara-negara tersebut di bawah poros perlawanan. Ia juga menempatkan tujuh negara – Suriah, Lebanon, Iran, Pakistan, Afghanistan, dan Irak – di bawah payung tersebut.
Dia membentuk poros resistensi dengan memanfaatkan identitas dan budaya asli setiap negara, bukan dengan memaksakan budaya versi Iran pada negara-negara tersebut. Hizbullah dengan identitas Lebanon, Hashd al-Sha’bi dengan identitas Irak, dan pasukan Zaynabiyun, Fatemiun, dan Haydariun dengan identitas nasional serta lokal masing-masing, hingga akhirnya kelompok-kelompok ini pun berkembang semakin luas.
Dengan teori keamanan regionalnya, Syahid Soleimani membuat setiap negara peka dalam memastikan keamanan nasional mereka sendiri juga negara tetangga mereka. Poros resistensi yang digagasnya telah menggagalkan plot barat dalam mengubah geografi regional dalam usaha mereka memastikan keamanan Israel. Sebagai sosok yang luar biasa dan sebagai simbol perlawanan terhadap terorisme, ia juga tetap berada di sisi saudara Sunni, Palestina dalam perang 51 hari, dan dalam perang 33 hari, dia telah mengalahkan rezim Zionis bersama pasukan Hizbullah. Sementara itu, saat Suriah berada dalam ambang krisis, ia secara pribadi bergegas membantu Bashar Assad, begitu juga ketika Baghdad berada di ambang kehancuran, dia melewati pasukan ISIS dan tiba di Baghdad, memimpin operasi anti-teroris sampai mencapai hasil yang diinginkan. Dengan bantuan kekuatan poros resistensi yang altruistik dan rela berkorban, Syahid Soleimani mempertahankan otoritas nasional juga integritas teritorial negara-negara, ia telah menyalakan kembali harapan di hati negara-negara kawasan dengan memperketat cengkeramannya pada rezim Zionis dan para pendukung barat dan Arabnya.
Selama perang Irak yang dipaksakan terhadap Iran, pada tahun 1980 dan berlangsung selama delapan tahun, Syahid Soleimani secara bertahap dikenal sebagai komandan yang mahir, memimpin pasukan Iran dalam berbagai pertempuran melawan pasukan rezim Ba’ath yang menyerang. Kemudian saat ditunjuk sebagai kepala pasukan IRGC, Syahid Soleimani secara bertahap menjadi tokoh terdepan yang mendorong Iran untuk membantu negara-negara kawasan dan sekutu melawan intervensi yang didukung asing di wilayah tersebut. Ketika pakaian takfiri yang didukung asing mengangkat kepala mereka dalam beberapa tahun terakhir, komandan IRGC muncul sebagai ahli strategi utama, ia menjadi komandan cerdik yang memimpin penasihat militer Iran membantu pasukan Suriah serta Irak dalam pertempuran melawan teroris. Jenderal ini sering digambarkan di garis depan selama operasi anti-terorisme dari Mosul Irak ke Aleppo Suriah. Di Irak, pada puncak kampanye teror ISIS, ia membantu pemerintah Baghdad dalam operasi untuk merebut kembali kota Tikrit yang kaya minyak dari kelompok terror tersebut pada tahun 2015.
Pada Januari 2015, kepala Organisasi Badr Irak memuji Teheran dan Syahid Soleimani karena telah menyelamatkan Baghdad ketika ISIS pertama kali melancarkan terornya di negara tetangga itu setahun sebelumnya. Jenderal itu juga mengambil alih komando pertempuran melawan militan takfiri di kota Bukamal, Suriah, yang terletak di Provinsi Dayr al-Zawr, pada November 2017.
Pada 3 Januari 2020, Jenderal Qasim Soleimani dibunuh di dekat bandara Baghdad bersama al-Muhandis, wakil pemimpin Popular Mobilization Forces (PMF), atau dikenal sebagai Hashd l-Shaabi. Seorang jenderal top Iran mengunjungi Irak atas undangan pemimpin Irak untuk menyampaikan balasan Iran atas pesan Saudi melalui Irak. Ia meninggalkan Teheran menuju Baghdad pada 3 Januari 2020, dan tiba pada tengah malam di bandara Baghdad, tempat al-Muhandis menunggu untuk menyambutnya. Setelah bertukar sapa singkat, kedua pria itu meninggalkan bandara tetapi ketika mereka keluar dari bandara dengan iring-iringan mobil, mereka justru menjadi sasaran sejumlah rudal yang diluncurkan oleh pesawat tak berawak Amerika. Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah memerintahkan serangan itu, yang juga menghadapi reaksi berlawanan dari dalam Amerika Serikat. Pada Juli 2020, seorang pakar PBB mengatakan serangan AS yang menewaskan jenderal top Iran itu melanggar hukum internasional.
Sumber :
https://en.mehrnews.com/news/195626/Martyr-Qasem-Soleimani-Champion-of-Islamic-Ummah