Filsafat Keadilan: Konsepsi dan Nilai Kemanusiaan Universal
Keadilan: Antara Hak dan Kewajiban
Keadilan adalah soal yang hanya diperbincangkan oleh manusia. Karena keadilan merupakan ide abstrak yang hanya sanggup dimengerti secara rasional, termasuk di dalamnya melibatkan aspek-aspek perasaan kemanusiaan manusia.
Keadilan karenanya adalah sebuah kategori filosofis yang abstrak sehingga ia tidaklah merupakan suatu wujud dzati sebagaimana benda-benda material. Ia merupakan suatu kondisi dimana jika kondisi tersebut memenuhi suatu kriteria maka ia disebut adil.
Dalam konteks ini Aristoteles, misalnya, barangkali merupakan seorang filsuf yang pertama kali yang merumuskan makna keadilan. Bagi Aristoteles, keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat jutitia bereat mundus.
Pandangan ini menyiratkan suatu pandangan dunia mengenai manusia. apakah setiap manusia memiliki hak pada dirinya? Jika demikian, bagaimana hak tersebut bisa ada dalam dirinya?
Apa dan bagaimanapun konsepsi mengenai hak dalam diri manusia, tapi yang jelas ia hanya bisa dimengerti oleh kesadaran rasional manusia. Dan hak tiada lain akan berpulang kepada inti kemanusiaan manusia, sesuatu yang menjadikan manusia adalah manusia.
Jika manusia dimengerti sebagai makhluk yang berpikir, maka berpikir adalah hak manusia. Demikian pula, jika dimengerti manusia adalah makhluk membutuhkan ruang ekspresi dan aktualisasi diri, maka ia pun memiliki hal itu sebagai haknya. Kesadaran ini bisa merupakan suatu kesadaran yang intim dalam diri manusia.
Artinya manusia dapat mengenal dirinya yang sanggup berpikir yang tidak mungkin diciptakan oleh sesama manusia. begitu pula, apa yang manusia saksikan dalam jiwa berupa kehendak dan perasaan juga merupakan kediriannya yang tidak diciptakan oleh orang lain. Manusia mengalami itu sebagai sebuah kenyataan eksistensial pada dirinya, sehingga ia berkuasa atau menjadi subyek atas dirinya sendiri.
Sehingga, hak tersebut, sebagai yang sesuatu yang melekat menjadi kenyataan ontologis dalam diri manusia, memunculkan konsepsi etik dimana hak tersebut adalah dasar kebebasan manusia yang tak boleh direnggut oleh siapapun. Maka sebuah sistem budaya, sosial dan politik sejauh ia mampu melindungi dan mengembangkan hak-hak manusia maka ia adalah sistem yang adil.
Oleh sebab itu pula, keadilan ini kemudian dispesifikasi berdasar kebutuhan aktualisasi manusia. seperti keadilan ekonomi, dimana setiap manusia berhak untuk sejahtera, kebebasan berusaha menurut pilihan dan kemampuannya, juga mendapat distribusi yang berkeadilan. Begitu pula keadilan politik misalnya, yang terkait dengan kebebasan untuk mengutarakan pendapat, kebebasan memilih pemimpin dan sebagainya.
Lantaran hak adalah terkait dengan pemenuhan dirinya, maka pemenuhan tersebut menjadi suatu kewajiban. Jika hak wajib dilindungi dan dipenuhi, maka memenuhinya adalah kewajiban. Jika berpikir adalah hak, maka kewajiban kita adalah memberikan ruang pada setiap orang untuk menyampaikan isi pikirannya. Begitu pula, jika setiap manusia berhak sejahtera atas kekayaan alam yang dimilikinya, maka ia mesti diberikan kebebasan mengelolanya tanpa intervensi atau penyerobotan hak dari pihak lain.
Namun, dalam kehidupan faktual kita, dengan sistem politik yang bersendikan kepentingan kelompok semata, maka apa yang kita imajinasikan sebagai sebuah keadilan menjadi amat jauh. Hal serupa pernah dikemukakan oleh seorang filsuf Perancis, Alain Badiou. Ia mengatakan, “injustice is clear, justice is obscure”. Sebab, ketidakadilan itu mudah dipahami, dimengerti, dan dialami karena kita nyaris tidak mengalami kesulitan untuk menjumpai orang-orang yang menderita, banyaknya orang yang miskin, gelandangan, dan masyarakat kecil yang ditindas oleh struktur kekuasaan sebagai intitusi dalam kehidupan masyarakat.
Maka, sejauh manusia menyadari hak dan kewajibannya, sejak itu ia akan terus mencari, berupaya dan bercita-cita untuk menyelenggarakan dan mendapatkan keadilan.
Keadilan: Basis Nilai Institusi Sosial
Seorang filsuf politik kenamaan Amerika, John Rawls, menegaskan bahwa keadilan merupakan keutamaan tertinggi manusia. Dalam buku A Theory of Justice, Rawls menegaskan bahwa keadilan merupakan keutamaan pertama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.
Dalam pandangannya tersebut mengandung makna bahwa keadilanlah suatu nilai dimana dengannya manusia dapat bermasyarakat secara benar. Sehingga, masyarakat sebagai ruang aktualisasi nilai kemanusiaan (amal shaleh), merupakan ruang yang tak mungkin dipisahkan dari kehidupan manusia.
Sebagaimana lazimnya sebuah pengetahuan atau teori betapapun ia populer, namun di hadapan logika dan rasionalitas ia hanya akan divalidasi nilai kebenarannya. Demikian pula, hukum dan institusi, betapapun efisien dan efektifya, harus didekonstruksi jika tidak berkeadilan.
Rawls juga mengetengahkan keadilan sebagai kesetaraan, justice as fairness, hal ini sama dengan yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam menformulasikan keadilan dalam ekonomi, dia mengatakan “tidak ada pertukaran tanpa kesetaraan, dan tiada kesetaraan tanpa keseukuran”. Artinya, pertukaran (ekonomi) menjadi sah berkeadilan jika barang yang dipertukarkan memiliki keseteraan nilai.
Namun, manusia bukanlah barang, sehingga nilai keadilan pada manusia jauh lebih kompleks dari sekedar pertukaran barang. Artinya memperlakukan manusia berbeda dengan memperlakukan barang. Letak kemanusiaan tidak pada sisi aksidental kehidupannya. Namun lebih dari itu kedalaman jiwa yang sampai pada hadhirat Wujud Niscaya Tertinggi.
Sehingga, dalam keadilan, manusia tak lagi dilihat dirinya yang berasal-usul secara partikular (ras, warna kulit, agama) namun, pada sisi universalitasnya sebagai manusia yang memiliki esensi dan eksistensi yang sama. Dengan itu, pada dasarnya keadilan adalah kemanusiaan itu sendiri. Sehingga agama pun bukan menjadi obyek yang mesti dibeda-bedakan dalam kerangkan institusi sosial, karena ia jalan seorang hamba untuk menggapai kebenaran.
Keadilan Islam, Visi Kesatuan Iman dan Amal
Dalam Islam, keadilan adalah jalan menuju ketaqwaan,
Wa anta’dilu, huwa aqrobu littaqwa..
Dapat ditangkap bahwa ketaqwaan sebagai inti keberislaman seseorang memiliki di dalamnya indikator, yakni keadilan. Artinya tiada sampai seseorang pada derajat taqwa jika ia tak bersikap adil. Sementara berkeadilan meniscayakan pemahaman akan hak dan kewajiban.
Artinya, makin mendalam seseorang mengenal dirinya sebagai manusia maka besar kemungkinan ia mengenal agama yang menitikberatkan pada nilai ketaqwaan. Dengan bersandingnya keadila dan ketaqwaan maka sesungguhnya ketuhanan dan kemanusian pun saling mengandaikan.
Fardiana Fikria Qurany