Filsafat Seni
Fardiana Fikria Qur’any
Sebagai makhluk budaya, manusia memiliki sense kesenian dalam ragam rupa dan bentuknya. Seni sendiri merupakan bagian dari ekspresi kebudayaan manusia. Kontjaraningrat mengkategorikan budaya dalam tiga level yang itu bagian dari cara manusia bereksistensi. Pertama adalah state of mind, cara berpikir. Bahwa manusia sejak berpikir ia telah berkesenian secara mental. Karena berpikir terkait suatu pola/sistem yang tersusun atau disusun sedemikian rupa untuk mencapai kebenaran. Sebagai bagian dari seni, setiap orang berpikir dengan pola yang berbeda-beda sehingga menyimpulkan sesuatu yang juga berbeda-beda.
Kedua, state of act, yakni pola bertindak. Tindakan manusia juga terlihat beraneka ragam. Bahkan kesamaan suatu tindakan dari segi empirik tidak secara mesti menunjukkan cara berpikir yang sama. Dua kelompok yang sedang berperang meski sama-sama melakukan tindakan perangan, membunuh, memainkan senjata, bertahan dan sebagainya, tapi bisa berbeda dalam motivasi dan tujuannya. Ada yang bertujuan merampas kekayaan lawan, menguasai lawan, atau ingin menghabisi lawan sama sekali, tapi ada juga yang berperang untuk mempertahankan wilayah, memperjuangkan hak-hak, dan melindungi kehormatan.
Dua orang yang tengah berdebat, akan terlihat sama-sama mengeluarkan argumentasinya masing-masing, namun bisa jadi motivasinya juga berbeda-beda. Satu orang berdebat untuk mengalahkan argumen lawan atau memenangkan kasus, dan satu orang lainnya berdebat untuk mengungkap kebenaran, atau berusaha meyakinkan lawan akan hakikat kebenaran dari keyakinannya.
Ketiga, karya (produk) dari suatu kerja, baik kerja berpikir yang menghasilkan teori, atau kerja konkret yang menghasilkan barang. Namun secara sosial suatu produk lazim disebut sebagai karya kesenian bila memenuhi aspek tertentu. Misalnya suatu karya bernilai kesenian bila ia bagian dari ekspresi seseorang dalam merekonstruksi, mereproduksi atau memanipulasi kenyataan. Seperti seni rupa yang berupa lukisan, patung atau seni tari yang misalnya diekspresikan untuk menggambarkan kehidupan yang selalu berputar-putar.
Dengan begitu, seni dengan sendirinya melekat pada tiap state kehidupan manusia, mulai dari cara berpikirnya, cara bertindaknya serta karya-karya yang dihasilkannya. Secara klasik, seni sering dikonsepsi dalam kaitannya dengan keindahan. Sehingga seni adalah cara untuk menunjukkan keindahan. Seni ditujukan untuk memikat selera estetik manusia sehingga memunculkan decak kagum pada suatu karya. Dalam puisi misalnya, seni ini terkait dengan kemampuan seseorang dalam merangkai kata-kata yang indah menawan sehingga dapat membuat orang terbuai oleh susunan kata yang dirakit dengan indah.
Tapi dalam perkembangan sejarah peradaban manusia, dan dengan aneka problem sejarah yang dihadapinya, seni tak saja hendak mengungkap nilai-nilai keindahan, namun justru untuk memperlihatkan sisi buram dunia dan sejarah. Seni dalam konteks ini hendak memperlihatkan bahwa kehidupan itu tidak saja soal kebahagian tapi juga soal derita, tidak saja soal keindahan semesta tapi juga tragedi kehidupan. Namun dengan model orientasi yang berbeda tersebut, yang pasti adalah bahwa seni terkait dengan suatu ekspresi untuk mengungkap hakikat kenyataan.
Sastra sebagai bagian dari ekspresi seni manusia juga ada dalam frekuensi yang dialektis, ia bisa berupa pujian-pujian akan keindahan alam, keagungan moral suatu tokoh, tapi boleh jadi sastra juga hadir sebagai kritik sosial, yang membongkar kepalsuan-kepalsuan dengan bahasa-bahasa satir. Jika kritik politik menyasar tataran sistem kerja suatu bangunan dan praktik politik, seni seringkali menyisir sisi-sisi humanistik universal yang terdegrasi dalam kerja suatu sistem politik. Sastra merangsang seseorang untuk hadir terlibat langsung dalam suatu kenyataan sehingga turut merasakan apa yang tengah terjadi. Sastra berbeda dari teori-teori ilmiah yang berjarak dengan kenyataan, sastra justru mengekspresikan keterlibatan jiwa atas suatu kenyataan sehingga ia mengalirkan suara jiwa yang tak terekam oleh deduksi-deduksi formal suatu teori atau ideologi.
Eksistensi Seni Sebagai Makna Simbolik
Dimensi eksistensial seni adalah pada kemampuannya menjadi simbol-simbol yang mengekspresikan suara batin/jiwa. Karenanya ia bisa mengapresiasi nilai-nilai atau juga mengkritiknya. Kemampuan simbolis manusia merupakan tingkat pencapaian kesadaran yang cukup tinggi, karena simbol merupakan suatu fenomena untuk mengimplisitkan makna-makna, yang hanya mungkin diakses dengan kesadaran kontekstual, pemahaman reflektif, atau keterlibatan jiwa dengan realitas-realitas yang dimanifestasikan oleh suatu simbol. Artinya, seni bukan sekedar apa yang dipikirkan, tapi bagaimana pikiran tersebut diungkapkan.
Dalam suatu karya ‘Philosophy in a New Key’ (1942) Langer, mengemukakan teorinya yang ia beri nama dengan “teori simbol”, oleh sebab itu ia mendefinisikan seni sebagai kreasi bentuk-bentuk simbolis dari perasaan manusia. Sebagai bentuk simbolis, seni merupakan universalisasi dari pengalaman. Dalam karyanya yang lain, Problem of Art (1957), Langer menjelaskan prinsip pembentukan seni dengan membandingkannya dengan prinsip pembentukan simbol pada ilmu pengetahuan. Pembentukan simbol, menurutnya, adalah abstrak dan tidak melalui generalisasi yang bertahap-tahap. Abstraksi pada seni dalam pandangan Langer, merupakan abstraksi yang total menyeluruh, karena seni bersifat kreatif dan bukannya konstruktif (penyusunan). Secara tegas Langer mengemukakan bahwa seni adalah kreasi bentuk-bentuk simbolis dari perasaan manusia
Dengan aspek kreatifnya, seni dapat memunculkan dunia yang bisa sama sekali berbeda, suatu dunia yang belum mewujud secara riil, namun ia berfungsi sebagai imajinasi yang dapat membangkitkan harapan, tekad dan optimisme. Kemampuan kreatif manusia karenanya lahir dari jiwa kesenian yang eksis dalam dirinya.
Terdapat trilogi kemanfaatan sesuatu bagi manusia ‘Ilmu membuat manusia menjadi mudah, Agama membuat manusia terarah, dan seni membuat kehidupan manusia menjadi indah’, kemudahan, keterarahan dan keindahan adalah kualitas-kualitas dimensi kemanusiaan yang menjadikan manusia bergerak mencapai tahapan kesempurnaan yang lebih tinggi. Karena bahkan agama sekalipun membutuhkan seni untuk menjadikan kehidupan keberagamaan tidak kaku, rigid, sempit sehingga tidak memiliki daya persuasi pada jiwa manusia.