Filsafat Tentang Kenabian
Fardiana Fikria Qurany
Pembahasan kenabian dalam tinjauan filsafat barangkali perlu beberapa klarifikasi. Karena kenabian bukanlah eksistensi yang apa adanya, dimana setiap orang dapat menyaksikan nabi sebagai nabi. Kenabian karenanya terkait soal konsepsi dan keyakinan yang termuat dalam kepercayaan teologis. Yakni seorang Nabi adalah pertama-tama soal keyakinan atas suatu sosok yang menerima wahyu Tuhan. Di saat yang sama juga mengandung keyakinan bahwa sosok nabi adalah manusia yang terbebas dari dosa (maksum), Ia adalah manusia suci yang disucikan oleh Tuhan untuk mengemban amanah ‘langit’ yang suci.
Kenabian juga terkait dengan sesuatu keistimewaan yang ada pada diri seorang Nabi, yang disebut mukjizat. Yakni sesuatu yang mengagumkan, yang mustahil dilakukan oleh manusia biasa. Mukjizat juga dimengerti sebagai suatu fenomena yang mengatasi segala apa yang mungkin dilakukan oleh manusia. Tujuannya jelas, guna memperlihatkan bahwa sosok Nabi adalah manusia yang berada langsung di bawah bimbingan Tuhan. Mukjizat dengan demikian berfungsi meretas keraguan umat akan status kenabian seorang Nabi.
Maka, konsepsi Tuhan dan KalamNya, kesuciannya serta mukjizat yang dimilikinya adalah hal ihwal yang melekat pada konstruksi kenabian seseorang. Maka, filsafat sebagai tinjauan atas hakikat kenabian dapat mencermati dalam sisi epistemologis, yakni melihat sisi kesesuaian gagasan-gagasan yang dibawanya (wahyu) dengan realitas yang ada. Sisi ontologis, yang meninjau sisi eksistensial atas seluruh kapasitas yang dimiliki seorang Nabi sebagai suatu kemungkinan pada manusia. Dan dari sisi aksiologis, mencermati doktrin-doktrin praktis nubuwwah (wahyu) dalam relevansinya dengan suatu bentuk tatanan dunia yang lebih baik.
Secara historis, setiap Nabi (terlepas dari perbedaannya dengan konsep ‘rosul’) hadir di tengah-tengah umat tidak dalam kondisi hampa, yakni ia ada di tengah masyarakat yang juga telah memiliki keyakinan teologis. Nabi tidak terutama mengajarkan bahwa Tuhan itu ada, lantaran keyakinan akan Tuhan dalam pengertian dzat yang Agung, adalah keyakinan yang telah ada pada manusia. Rudolf Otto sebagaimana dikutip oleh Karen Amstrong meyakini bahwa pada mulanya manusia meyakini Tuhan yang Satu, hingga dalam gelombang epos sejarah, pengertian mengenai Tuhan yang satu dirasa jauh (abstrak) hingga kemudian manusia menjadikan alam sebagai tali penyambung terhadap Tuhan yang abstrak.
Tauhid dan mengenai Wujud yang Satu
Untuk itu, Nabi bertugas mengenalkan kembali pada manusia bahwa Tuhan yang satu itu adalah Wujud yang tidak akan tergantikan oleh wujud apapun di alam. Kelak Tuhan yang Satu itu disebut Allah. Dengan begitu, pemurnian konsep Tuhan (purifikasi) adalah tugas pertama kenabian. Maka, Tauhid adalah misi utama seluruh Nabi di muka bumi. Islam sendiri mendaku dirinya sebagai penerus seluruh rangkaian pewahyuan sebelumnya yakni Tauhid, yang kemudian dirumuskan dengan sangat padat “La Ilaha Illah Allah”.
Dalam kajian ontologis, sejak Yunani Kuno telah muncul suatu konsep yang membawa dinamika pemikiran yang cukup rumit mengenai ‘The One’ and ‘The Many’. Namun konsep ini lahir dari suatu diskursus epistemologi yakni adanya suatu konsep yang tunggal (konsepsi universal) dengan persepsi yang partikular, yang memiliki bentuk-bentuk yang unik di alam. Apakah eksistensi alam adalah eksistensi yang satu sebagaimana diwakili oleh konsep tunggal universal atau alam adalah eksistensi plural yang menjadi landasan persepsi yang beraneka ragam.
Di dalam tradisi mitos Yunani Kuno juga tersebut seseorang yang bernama Hermes yang diyakini mengemban tugas menafsirkan suara Tuhan untuk manusia, yang kelak sebagian filsuf muslim meyakininya sebagai Nabi Idris. Jadi, konsepsi Tuhan dan adanya sosok manusia yang mampu menafsirkan kalimat-kalimatNya kepada khalayak manusia merupakan kisah purba yang diyakini sebagai asal-usul peradaban manusia.
Perihal segi ontologis apakah realitas pewahyuan adalah semata benar dialami dan diterima oleh Nabi? atau apakah yang dikatakan oleh seorang Nabi benar-benar berasal dari Tuhan? Pewahyuan sebagai ‘iluminasi’ kehadiran makna-makna Ilahiah di hati seorang Nabi dengan ragam perantara apapun hanya bisa dimengerti oleh Nabi yang bersangkutan. Maka, pewahyuan adalah realitas subyektif kenabian. Apa yang mungkin bagi alasan untuk meyakini kenabian seseorang adalah nilai kapasitas yang di luar kuasa manusia. Sehingga Mukjizat merupakan ciri kenabian yang imanen dalam tiap perjalanan dakwahnya.
Wahyu yang diterima Nabi memang memiliki kualitas yang berbeda yang sesuai dengan tingkat kecerdasan serta kebutuhan zamannya. Namun bukti bahwa wahyu yang diterima Nabi adalah benar-benar berasal dari Tuhan adalah nilai konsistensinya yang bertahan oleh waktu sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Konsistensi itu adalah misi Tauhid dan misi akhlak. Tauhid meyakini keEsaan Tuhan. Tuhan para Nabi adalah tuhan seluruh manusia bahkan alam dan seisinya. Hingga wahyu yang terakhir yang diturunkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw berupa ayat-ayat al Quran., komponen teks makin kompleks dan nyaris menyisir banyak hal kehidupan manusia. Mulai soal akidah hingga mu’amalah. Dari soal cahaya hingga hutang piutang.
Salah satu kritik yang muncul terhadap konsepsi kenabian adalah tiada kebutuhan yang jelas bagi kehadiran seorang Nabi di tengah-tengah masyarakat atau manusia, lantaran manusia dengan akal sehatnya dapat mengerti adanya Tuhan yang Satu dan moral yang baik. Oleh sebab itu juga, manusia dapat juga menciptakan hukum bagi dirinya sendiri menurut apa yang diyakininya dapat menjadi jalan kehidupan terbaik, dan itu bisa dicapai dengan kemampuan akal manusia tanpa harus datang seorang Nabi atau Wahyu.
Tanggapan atas kritik di atas adalah bahwa meskipun manusia dengan akalnya mampu melahirkan ragam argumen atas keberadaan Tuhan: Ontologis, Logis, Kosmologis, dan sebagainya. Tapi semua itu adalah upaya akal mengenal Tuhan, ia bergerak dari subyek ke obyek, Tuhan tengah dikonsepsi oleh akal. Sehingga siapa itu Tuhan ada dalam batas-batas konstruksi akal. Dan sebagaimana kita tahu, Tuhan dalam argumen akal bersifat sekunder, Tuhan dalam konstruksi akal adalah dzat yang ‘disimpulkan’. Maka, Konstruksi akal tetap membutuhkan afirmasi, atau penegasan yang benar-benar berasal dari Tuhan sendiri. Akal menyadari keharusan akan adanya yang Satu, dan wahyu menegaskan bahwa yang Satu itu adalah Allah.
Di sisi lain, memang manusia dengan kesadarannya dapat mengerti mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi bukankah konsepsi moral seseorang berakar pada cara pandang dunianya, dan bukankah pandangan dunia yang bila hanya bertumpu pada alam (yang dipersepsi oleh indra dan akal yang melakukan abstraksi) tidak akan menjangkau lebih dari yang teramati. Moral bukan sekedar perkara subyektif, seperti saat kita merasa harus menghormati orang tua lantaran beliau yang melahirkan dan menghidupi kita, bukan karena memang pada orang terdapat hak untuk dihormati. Maka, agama datang menegaskan sisi ontologis moral dimana moral menjadi obyektif karena ia mengacu pada hak dan kewajiban kemanusiaan, bukan perasaan belaka.