Filsafat Ketuhanan
Oleh:
Fardiana Fikria Qur’any, MA
Di kepala manusia Tuhan adalah misteri. Sekalipun begitu, tema tentangNya adalah tema yang paling krusial bahkan kontroversial, karena justru dianggap sebagai sesuatu yang fundamental. Tuhan diyakini sebagai yang “paling jelas” dalam kemisteriannya. Dalam ketakjelasan konsepsi (definisi) mengenaiNya, ada keyakinan yang kuat, dengan ragam ekspresi.
Di samping soal Tuhan, konsep agama adalah tema yang selalu mengiringinya. Tepatnya, agama adalah ajaran yang paling getol menegaskan adanya Tuhan, KekuasaanNya yang mutlak, dan segala ke-Maha-anNya yang tiada tara. Agama adalah sistem nilai yang kompleks, menyangkut sisi teologis-imaniah (teoritis), menyangkut sisi praktis berupa laku ritual dan tatanan moral. Semua konsepsi berpangkal pada keyakinan akan adanya Tuhan, perintahNya, laranganNya, dan segenap aturan-aturanNya yang wajib diikuti oleh manusia.
Diskursus agama berpangkal pada teks-teks yang diyakini kesuciannya. Yakni, agama sebagai ajaran terumuskan dan tertuang dalam kitab suci dan qoul manusia-manusia suci (para Nabi). Dalam konteks ini, akal berhadapan dengan teks-teks yang kadang-kadang tak lagi dapat dinalar secara ilmiah. Berbeda dengan agama yang berangkat dari teks, bagaimana dengan Tuhan? Dia yang Tak terlihat, Tak Terdegar, Tak Tersentuh, bagaimana bisa diyakini keberadaanNya?
Argumen teologis bekerja secara sirkuler sehingga tak memberi kejelasan alur logis justifikasi keyakinan akan Tuhan. Karena keyakinan akan Tuhan disandarkan pada keyakinan akan kitab suci, demikian sebaliknya keyakinan akan kitab suci bersandar pada keyakinan akan Tuhan.
Pengetahuan akan Tuhan, Mungkinkah?
Secara epistemologis, manusia mampu memahami sesuatu di luar dirinya (obyek ilmu hushuli) dengan cara mendefinisikannya, yang berarti melihat aspek cakupan (jenus) dan batasannya (differensia), sementara sesuatu di dalam dirinya sendiri, pikiran dan perasaannya (obyek ilmu hudhuri) dapat dipahami secara langsung.
Definisi tak bisa dipekerjakan pada konsep Tuhan, lantaran saat diandaikan Dia masuk dalam suatu cakupan, maka Dia setara dengan yang lain, dan itu menyebabkannya keluar dari sifat keTuhanannya. Dengan begitu, karena tiada sesuatu yang mencakupNya, maka ia pun tanpa batas. Artinya tak ada satu konsep pun yang dapat membatasiNya. Bahkan sekalipun kita mempredikatkan sebagai “dzat yang tiada batas”.
Demikian pula, Tuhan bukan obyek yang dapat dirasa, sebagaimana rasa takut, bahagia, sedih dan sebagainya. Lantas, apa yang memungkinkan manusia dapat mengakses diriNya?
Namun, meski Dia tak terlihat, yang justru akan menjadikanNya suatu benda terbatas, manusia mampu membangun argumen rasional untuk menjustifikasi keberadaanNya. Argumen rasional umumnya berangkat dari konsep kausalitas, yang menyatakan bahwa segala yang ada memiliki suatu sebab (dunia ada, jadi dunia atau kosmos memiliki suatu sebab, yaitu Tuhan). Itulah sebabnya bukti ini juga disebut bukti kausalitas. Namun dalil kausalitas akan cenderung terus bergerak ke atas, sehingga untuk itu, para filosof mengemukakan, bahwa adanya rentetan sebab-akibat menunjukkan kepada adanya sebab pertama, yaitu Tuhan. Karena secara rasional tidak mungkin untuk menerima adanya sebab-akibat yang tiada akhirnya (pangkal), maka harus ada suatu sebab pertama yang berdiri sendiri secara mutlak, yang menjadi sebab adanya dunia ini.
Di samping nalar rasional-kausalitas, Dalil kosmologis-teleologis juga dijadikan dalil atas keberadaan Tuhan, argumen ini dibangun di atas logika bahwa suatu harmoni meniscayakan adanya desain dan tujuan. Oleh karena di dalam seluruh kosmos ada suatu tata tertib, suatu harmoni, suatu keselarasan, maka mesti ada desain dan tujuan, dan untuk itu maka harus ada suatu zat yang sadar, yang menentukan tujuan itu terlebih dahulu.
Selain menjadikan alam sebagai landasan pembuktian, manusia juga tertarik menjadikan ihwal kesadarannya sendiri—sebagai makhluk yang berkesadaran—sebagai bukti juga. Misalnya bahwa pada segala orang ada kesadaran tentang kesusilaan, yaitu pengertian mengenai yang baik dan yang jahat. Dari mana asalnya itu? Kemampuan manusia secara etik adalah suatu bukti pula adanya dzat yang berkesadaran yang mendesain sistem moral dalam diri manusia.
Semua argumen mengenai adanya Tuhan, berangkat dari suatu fakta yang tak terbantahkan, yakni alam ini ada, bekerja secara harmonis, bahwa manusia itu ada, disadari secara langsung oleh dirinya sendiri, dan bahwa rasa moral itu ada. Manusia mengenal Tuhan dengan menyadari apa yang ada di sekelilingnya. Maka, argumen tersebut berarti bersifat sekunder. Manusia tak langsung dapat membuktikan Tuhan, maka Tuhan hanya diyakini keberadaannya, tanpa diketahui hakikatNya.
Namun, mengapa semua itu menjadikan pikiran manusia beranjak meyakini Tuhan? Memang, logika kausalitas membawa pikiran dari sesuatu (akibat) ke sesuatu yang lain (sebabnya), tapi mengapa harus Tuhan? (emang selain Tuhan siapa?). Secara logis, manusia hanya tidak mendapati adanya yang layak menjadi sebab semua ini, maka ia merumuskan sendiri secara rasional-“imajinatif” bahwa ada sesuatu/dzat yang disebut “Tuhan”. Bukankah dengan begini, Tuhan adalah hasil konstruksi berpikir manusia belaka? Seakan manusia menciptakanNya dalam pikirannya sendiri?
Seluruh argumen rasional mengindikasikan Tuhan secara Das Sollen, bahwa Dia “harus” ada, demi memenuhi standar rasionalitas berpikir. Tapi apakah kenyataannya Tuhan memang benar-benar ada, faktual, Das Sein?
Membuka Hati Untuk yang disebut “Tuhan”
Manusia mesti mengetahui gunung, untuk meyakini akan adanya gunung, tapi bagaimana dengan dirinya sendiri, apakah manusia harus mengenali dirinya untuk meyakini dirinya ada? Bukankah saat ia berusaha mengenali dirinya, adalah bukti keberadaan dirinya sendiri, karena tiada aktivitas mengenal tanpa ada subyek yang mengenal. Jika diri manusia begitu jelas pada dirinya, sementara manusia masuk dalam rentetan sebab-akibat yang kompleks, cakupan dan batasan yang kompleks, bagaimana harusnya dengan Tuhan? Bukannya harusnya Dia lebih jelas?
Jika diri lebih jelas dari Tuhan, sementara diri bukanlah Tuhan yang menjadi sebab alam semesta, maka diri yang dipuja dan dimutlakkan akan menjadi penghalang bagi manusia menemukan Tuhannya.
Tuhan yang dipikirkan adalah Tuhan yang “harus” ada demi memenuhi hasrat rasio dan diri yang nampak jelas adanya, namun saat diri runtuh, rasio menunduk, maka Tuhan adalah kenyataan yang sesungguhnya.