Kemanusiaan dalam Visi Besar Islam
Fardiana Fikria Qurany
Dalam teori ilmu pengetahuan, utamanya pada disiplin pengetahuan sosial humaniora, dikenal dua klasifikasi utama, pengetahuan teoritis atau deskriptif dan pengetahuan praktis atau normatif. Pengetahuan deskriptif adalah pengetahuan yang hanya bertugas menjelaskan realitas obyek yang diketahui, pengetahuan mengenai sesuatu sebagaimana adanya, what is. Sementara dalam pengetahuan praktis-normatif bertumpu pada sikap yang seharusnya dilakukan, ought to.
Pada pengetahuan deskriptif, melazimkan obyek yang diketahui ada secara independen dari pengetahuan. Misalnya pengetahuan kita mengenai buah apel, mengandaikan adanya buah apel yang mesti eksis untuk diketahui yang independen dari pengetahuan kita sendiri tentang apel tersebut. Sementara pada pengetahuan praktis-normatif, realitas tersebut diproyeksikan, artinya ia hendak direalisasikan oleh sebab motif, dasar atau asumsi tertentu. Maka sebegaimana dijelaskan juga oleh Ibnu Sina dalam karyanya as Syifa, bahwa dalam hubungannya dengan eksistensi, pengetahuan deskriptif melazimkan eksistensi obyek yang bebas dari konstruksi subyek (la bi fi’lina wa la bikhtiyarina) sementara pada pengetahuan praktis-normatif, realitas hadir dalam skema konstruksi dan realisasi subyek (bi fi’lina wa ikhtiyarina).
Dalam kerangka filsafat klasik (baik Yunani Kuno juga Islam), filsafat (pengetahuan) teoritis berkisar pada ranah pengetahuan mengenai alam metafisika, fisika, kosmologi, matematika. Sementara pada filsafat praktis berkisar pada etika, politik dan ekonomi. Dalam kepustakaan modern, sisi teoritis pengetahuan lazimnya disebut Ilmu, misal; ilmu fisika, ilmu ekonomi, ilmu politik dan sebagainya. Semnetara sisi praktisnya disebut ideologi yang kelak melahirkan ‘sistem’; sistem etika, sistem politik dan sistem ekonomi. tegsnya, manusia memiliki dua kategori berpikir: berpikir mengenai sesuatu, dan berpikir mengenai bagaimana ia mesti bersikap.
Islam Sebagai Ilmu dan Sistem Hidup
Pada level sumber pengetahuan sendiri bisa datang dari berbagai ranah obyek pengetahuan, seperti alam yang dipersepsi secara indrawi, rasio yang diabtraksi secara rasional, maupun juga dalam pengalaman-pengelaman batin yang dialami secara subyektif, seperti intuisi, ilham dan kasyf. Namun ada pula sumber pengetahuan yang diketahui oleh manusia sekaligus diyakininya (atau juga diingkarinya) yakni agama. Tapi yang perlu diperhatikan disini, agama bukanlah obyek rill yang memiliki realitas pada dirinya, karena ia adalah ‘ajaran’, di mana dalam ajaran tersebut terkandung dan terhimpun pandangan-pandangan teoritis tentang sesuatu (obyek) juga praktis berupa perintah-larangan bagi penganutnya. Sehingga agama satu sisi adalah ilmu, dan di sisi lain adalah norma-sistem yang bersifat ideologis.
Tak terkecuali dalam hal ini, Islam. Satu sisi—berdasar pada sumber primernya; al Quran – al hadist—ia berbicara mengenai Tuhan, Manusia dan alam (teoritis), dan di sisi lain ia juga menegaskan orientasi praktisnya, bagaimana seharusnya manusia menjalani hidup, membangun kepribadian, membangun keluarga, masyarakat dan sebagainya. Tentu saja, secara logis, apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia mesti berlandas pada apa yang benar mengenai realitas.
Dan secara konklusif, Islam mengajarkan pada umatnya suatu pandangan komphrehensif yang mendasar, yakni Pandangan Dunia Tauhid. Suatu pandangan dunia yang menegaskan bahwa seluruh realitas (alam) menyatu dalam wujudNya. Tauhid dipahami dengan beragam dalam skala disiplin pengetahuan yang muncul dalam khazanah peradaban Islam sendiri. Misal, dalam perspektif kalam (teologi), Tauhid dipahami bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, segala sesuatu berasal dan akan kembali padaNya. Dalam tradisi irfan-tasawuf, Tauhid dimengerti sebagai kesatuan alam semesta, atau lebih tepatnya bahwa eksistensi absolut hanya Allah, sementara yang lain hanya tajalli (manifestasiNya). Sementara pandangan filosofis mengindikasikan bahwa Allah adalah sumber wujud, dimana segala wujud bergantung pada wujudNya.
Maka, lantaran Allah diyakini sebagai sentral eksistensi, maka segala apa yang eksis mau tidak mau mesti bergantung padaNya, dan ini membawa konsekuensi pada segala sesuatu mesti menerima sifat-sifat yang dimilikiNya. Dalam konteks ini menjadi mustahil bila ada eksistensi di alam raya yang memiliki sifat secara independen-absolut di luar sifat yang dimilikiNya.
Pandangan ini berpengaruh pada konsepsi agama mengenai manusia dan alam. Yakni Alam dan manusia ini memiliki dimensi material sebagaimana DiriNya yang Maha Dhohir, juga mesti mengandung sisi immaterial sebagaimana DiriNya yang Maha Bathin. Namun agama menegaskan bahwa manusia memiliki derajat tertinggi dalam struktur kosmik lantaran potensi dirinya yang cukup sempurna dalam menerima sifat-sifat Allah.
Potensi utama itu adalah kesadaran (baik rasional maupun spiritual). Dikatakan bahwa seluruh alam ini bersujud (baca: tunduk) pada Allah (melalui hukum-hukumNya), namun ketundukan tersebut adalah ketundukan pasif. Berbeda dengan manusia yang tunduk pada Allah secara sadar (aktif). Maka alam bagi manusia dalam kacamata agama, di samping berfungsi secara praktis untuk kehidupan manusia (konsumsi, berteduh, dan segala aktivitas material lainnya) juga berfungsi teoritis yakni sebagai ayat yang membawa rasio dan hati manusia untuk mengenal Tuhannya.
Berkemanusiaan Yang Adil adalah Sikap Tunduk (Islam)
Maka visi besar dari struktur ideologis ajaran Islam, justru tercermin dari kata Islam itu sendiri: ketundukan, yang melazimkan penghambaan diri padaNya (wama kholaqtul jinna wal insa illa liya’buduni). Ketundukan ini tercermin dalam segala dimensi kehidupan manusia baik sebagai individu, hubungan dengan individu yang lain, juga hubungannya dengan alam.
Pada aspek individualitasnya, manusia diharapkan menyerap sedalam mungkin nilai-nilai ketuhanan (rabbaniyah) dalam dirinya, dengan bekal iman dan ilmu, yang tercermin dalam dirinya yang hidup penuh ketawadhuan, kesabaran, dan harapan, juga dalam relasi sosialnya yang tercermin dalam laku keadilan, kasih-sayang dan cinta. Berikut juga dengan alam, yang tidak dijadikannya sebagai pemuas nafsu jasadiahnya, melainkan menjadikannya cukup sebatas sarana kecukupan hidup (qodrul hajah).
Sehingga, sistem ajaran Islam, tak mengindikasikan antroposentrisme yang melahirkan humanisme ateistik-sekuler, dimana asal dan tujuan hanya pada manusia, juga tidak sedogmatis teosentrisme yang menyisihkan kemanusiaan yang riil, dengan memaksa tunduk pada hukum Tuhan (baca: tafsir atas hukum Tuhan). Tapi Islam meletakkan Tuhan, Manusia dan Alam dalam jalinan eksistensial yang solid, yakni nilai-nilai ketuhanan tercermin dalam laku kemanusiaan yang berkeadilan, kasih sayang dan cinta.
(Fardiana Fikria Qurany)