Kontrasepsi dalam Pandangan Islam
Oleh: Hayati Mohammad, Lc
Pendahuluan
Di antara makhluk Allah Swt, manusia memiliki kelebihan yang khusus yaitu kelayakan menerima kewajiban sedangkan makhluk Allah lainnya tidak memiliki kelayakan ini. Manusia merupakan sebuah jisim nami yang mempunyai sifat-sifat makan, berkembang dan berketurunan, dan juga memiliki sifat-sifat hewani seperti berekehandak, bergerak berdasarkan kehendak, insting syahwat.
Dari sisi lain manusia mempunya ruh mujarrad dan akal yang dengannya ia dapat berfikir tentang akibat-akibat perbuatannya, dan dari sini dia dapat mengontrol dan dapat mengendalikan keinginan-keinginan dan kecenderungan nafsunya. Dan dengan gabungan akal dan syahwat inilah, jika manusia dapat menundukkan syahwatnya maka dia akan lebih baik dari malaikat, namum jika syahwatnya dapat mengalahkan akalnya maka dia akan lebih buruk dari hewan.
Berkembang dan berketurunan selain menjadi ciri khas binantang begitu juga menjadi ciri khas manusia. Dimana hal itu juga harus diatur oleh syariat, sehingga akan menghasilkan generasi yang selamat jiwa dan raganya.
Perkawinan dan Memiliki Anak
Islam mensyariatkan adanya sebuah perkawinan. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan. salah satu tujuan perkawinan adalah mendapatkan keharmonisan dunia dan akhirat. Terdapat banyak faktor penyebab adanya keharmonisan dalam rumah tangga, salah satunya adalah hadirnya seorang anak di dalam sebuah keluarga dan anak-anak kita kelak akan menjadi regenerasi manusia di muka bumi ini.
Mulai dari proses akad nikah, adab mendatangi pasangan, ketentuan saat dan pasca melahirkan, mendidik anak untuk tumbuh-kembang, dan membina rumah tangga dalam keta’atan, telah diatur sedemikian rupa dan telah dijelaskan oleh baginda Rasulullah saw dan para makshumin secara sempurna. Oleh sebab itu, syari’at memerintahkan manusia untuk menikah, memiliki anak keturunan dan menjaga keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.
Memiliki anak merupakan anugerah terbesar yang Allah Swt berikan kepada setiap pasangan bahkan di saat pasangan belum dikaruniai anak, ada sebagian praktik masyarakat mengambil anak asuh atau mengadopsi anak orang lain sebagai anak angkat, dikarenakan momen yang paling dinantikan oleh setiap pasangan tanpa terkecuali keluarga besar dari suatu pernikahan adalah hadirnya sang buah hati dan terpenuhinya harapan untuk mendapatkan momongan sebagai penyempurna kebahagiaan dalam rumah tangga. Sehingga etos kerja mengais rizki akan semakin besar seiring dengan hadirnya anak keturunan dalam keluarga karena bertambah kebahagiaan yang berbanding lurus dan bertambahnya tanggung jawab dalam hal memberi nafkah.
Namun, hal ini menjadi sedikit berbeda di saat ada pasangan yang meyakini bahwa perkara mendapatkan keturunan adalah sesuatu yang tidak penting, sehingga mereka hanya membatasi satu atau dua orang anak saja atau seperti sekelompok orang yang memang hidup pernikahannya tidak menginginkan anak sama sekali sebagaimana mereka yang hidup dengan child-free yang akhir akhir ini mendadak populer di tengah masyarakat. Tentu saja, konsep tersebut dibarengi dengan pro dan kontra yang ada. Banyak pihak yang menentangnya, tapi tak sedikit pula yang memberikan dukungan. Menurut Cambridge Dictionary, child-free adalah sebuah konsep di mana seseorang memilih untuk tidak memiliki anak, atau tempat dan situasi yang tanpa ada kehadiran anak.
Banyak faktor mengapa sebagian orang tidak ingin memiliki keturunan atau hanya dengan membatasi keturunan yang dimilikinya. Penyebab seseorang atau pasangan tidak ingin memiliki anak dapat digolongkan dalam dua kluster besar. Pertama, pilihan atau keinginan sendiri. Kedua, karena suatu akibat, misalnya karena faktor kesehatan, atau faktor lain yang tidak diketahui sehingga tidak dapat memiliki anak. Kedua penyebab ini meliputi berbagai aspek, mulai dari kondisi fisik, psikologis, ekonomi sosial, dan budaya.
Oleh karenanya cara yang mereka lakukan untuk mencegah kehamilan, menundanya atau yang ingin membatasi anak harus sesuai dengan ajaran syariat islam bukan dengan cara aborsi.
Sepakat para ulama mazhab ahlu sunnah tidak memperbolehkan adanya aborsi bahkan pelaku aborsi dapat dikenakan diyat yang jumlahnya tergantung dari usia janin. Demikian juga menurut pendapat ulama syiah bahwa menggugurkan janin haram secara syar’I, kecuali jika tetap berada dalam keadaan hamil yang akan membahayakan nyawa ibunya, maka aborsi dalam situasi demikian tidak dilarang selama janin belum bernyawa, jika janin telah bernyawa, maka tidak boleh digugurkan, meskipun keberadaannya dalam kandungan ibunya akan membahayakan nyawa ibunya, kecuali jika keberadaannya dalam kandungan akan membahayakan ibu dan janin sekaligus, sedangkan nyawa janin tidak dapat diselamatkan, dan penyelamatan ibu hanya dapat dilakukan dengan menggugurkan kandungan.
Islam menginginkan agar keturunan para pengikutnya terus berkembang. Ketika sperma dan sel telur telah bercampur sehingga membentuk emberio, maka inilah awal kehidupan manusia. Dan aborsi terhadapnya adalah haram. Meskipun emberio merupakan objek kecil tapi ia memiliki hak untuk eksis. Ia merupakan eksistensi, yang cepat berkembang menjadi manusia seutuhnya. Oleh karenanya bagi mereka yang melakukan aborsi sama dengan melakukan pembunuhan dan kelak akan dimintai pertanggung jawabannya.
Ishaq bin Ammar meriwayatkan: Aku bertanya kepada Imam Musa bin Jakfar as tentang kasus seorang wanita yang takut hamil, apakah anda mengizinkannya untuk meminum ramuan demi melakukan aborsi? Beliau menjawab, “tidak. Aku tidak mengizinkannya. “Aku lalu bertanya lagi, “ketetapan apa yang berlaku pada masa kehamilan di tahap awal embrio? ”Beliau berkata, perkembangan manusia dimulai pada saat terbentuknya embrio. Allah Swt berfirman dalam al-Quran bahwa pada hari kiamat kelak, para orang tua akan ditanya tentang kejahatan membunuh anak mereka sebagaimana yang disebutkan dalam surat at Takwir ayat 8-9 yang berbunyi; “.. dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa dia dibunuh?..”
Karenanya, menggugurkan janin tanpa alasan yang memperbolehkannya adalah meupakan tindakan kriminal, dan pelaku mendapatkan sanksi yang sangat berat, sebagaimana firman Allah Swt: “..Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (alasan) yang benar….” (Qs. Al-Isra (17):33).
Hukum Kontrasepsi
Dalam istilah medis, alat kontrasepsi dimaksudkan dengan tindakan pencegahan kehamilan dengan mencegah terjadinya konsepsi. Di zaman ini, berbagai alat kontrasepsi banyak ditemukan dan beredar di tengah masyarakat, ada yang berupa suntikan, atau oral, kondom, atau alat kontrasepsi antar-vaginal maupun kontrasepsi yang dipasang di rahim wanita yang dikenal dengan istilah AKDR atau I.A.U.D (Intrauterine Device) atau yang lebih jauh yaitu dengan melakukan operasi tubektomi atau vasektomi. Tindakan pencegah kehamilan ada yang bersifat tradisional lagi alami seperti al-‟azl (coitus intereptus) dan ada juga yang bersifat kimiawi (medis).
Perdebatan kontrasepsi dalam Islam menjadi suatu yang diperdebatkan dikalangan para ulama fikih. Menurut pendapat ulama ahli sunnah tidak semua cara kontrasepsi yang dimasyarakatkan program KB dapat pakai oleh umat Islam. Ada cara kontrasepsi yang dilarang yaitu IUD, vasektomi dan tubek tomi. IUD dilarang karena cara pemasangannya harus dengan melihat aurat besar wanita sedang sterilisasi dilarang karena mematikan fungsi reproduksi dan dilakukan dengan cara merusak organ tubuh suami atau isteri. Cara kontrasepsi yang diperbolehkan misalnya: pil, suntik, kondom.
Dalam pandangan ulama ahli sunnah dapat disimpulkan dengan menyebutkan bahwa hukum menggunakan alat kontrasepsi dapat dibagi menjadi tiga keadaan, Pertama: Apabila penggunaan alat kontrasepsi bertujuan untuk meniadakan anak keturunan atau karena kekhawatiran yang bersifat materi seperti takut akan ketidakmampuan dalam memberi nafkah dan mendidik anak, kehilangan lapangan pekerjaan, maka para ulama bersepakat akan keharamannya. Kedua: Apabila penggunaan alat kontrasepsi termasuk azl dengan tujuan kemasalahatan seperti mengatur jarak kelahiran, karena alasan kesehatan dan penyakit yang diderita, atau karena kemaslahatan lainnya maka penggunaan alat kontrasepsi atau perbuatan azl hukumnya menjadi boleh. Ketiga: Hukumnya Makruh jika azl atau penggunaan alat kontrasepsi tidak ada alasan yang dijadikan sebagai landasan.
Menurut pendapat ulama syiah bahwa seorang istri boleh melakukan kontrasepsi dengan persetujuan suami dan bukan untuk pencegahan yang permanen dan juga tidak diperbolehkan bila akan menyebabkan pengguguran nutfah yang telah berada dalam rahim atau (di saat memasangnya) dan juga tidak boleh hukumnya jika akan menyebabkan dipandang dan disentuh secara haram disaat pemasangan alat kontraseps i. Dalam hal penggunaan kontrasepsi suami tidak berhak memaksa istrinya untuk melakukan hal itu. Adapun terakait azal tidak dilarang jika berdasarkan restu suami istri.
Adapun pembahasan hukum fikih terkait penggunaan alat kontrasepsi secara detail kita dapat merujuk pada buku fikih masing-masing baik dari pandangan ulama ahli sunnah dan ulama syiah dengan merujuk pada fatwa-fatwa maroji’ masing-masing.
Daftar pustaka:
- Buka ta’lim wa tarbiyah oleh: Ayatullah Ibrahim Amini
- Buku fatwa Rahbar
- Al Qur’an dan terjemahan
- Mizanul Hikmah oleh: Muhammad.M Reysyahri