Mengapa ada Kebencian?
Fardiana Fikria Qurani
Ruh manusia sebagai jelmaan keagungan, keindahan, kebenaran dan kesempurnaan Tuhan, hanya memiliki satu nilai yakni cinta. Cinta akan Tuhannya sebagai ‘obyek’ kesempurnaan. Hal demikian lantaran cinta pada dasarnya hanya tertuju pada kesempurnaan, dan tiada kesempurnaan kecuali dzatNya.
Cinta juga terkait dengan jalan kembali (ma’ad). Kembali kepada kesempurnaan sebagai sumber eksistensial bagi seluruh maujud di alam semesta sebagai eksistensi yang bergantung (mumkinul wujud) kepada yang memberinya eksistensi (wajibul wujud).
Ruh dalam konteks ini merupakan eksistensi yang otentik (mujarrod) yang terlepas dari segenap dimensi keduniaan yang fana dan parsial. Maka ruh mujarrod dengan sendirinya bersifat universal (nafsun wahidah). Tidak ada kategori apapun pada ruh ini kecuali cinta yang bergerak dalam kerinduan untuk menyatu dengan hakikat dasarnya: Al Haqq.
Namun ruh ini ada bersama kehidupan di alam. Alam sebagai ruang bagi pluralitas, gerak, perubahan dan panorama-panorama material yang berdimensi terbatas. Maka secara eksistensial ruh ini berada dalam keterasingan (alienasi), dia yang hanya merindu kesempurnaan hidup di tengah keserba-terbatasan.
Fakultas Jiwa Menurut Aristoteles
Di samping ada ruh mujarrod yang hanya merindu kesempurnaan, manusia juga memiliki jiwa yang dalam aktualitasnya mesti terhubung dengan alam. Dalam konteks ini, di Yunani Kuno muncul Aristoteles yang membagi bentuk-bentuk jiwa dalam tiga kategori: Jiwa Vegetatif, Jiwa Sensitif, dan Jiwa Intelektif.
Jiwa Vegetatif terkait dengan potensi suatu entitas alam untuk bertumbuh. Dalam konteks disiplin sains (biologi) kita kenal jiwa ini ada pada semua yang disebut makhluk hidup. Semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, hewan hingga manusia memiliki jiwa (potensi) untuk bertumbuh.
Sementara Jiwa Sensitif, hanya dimiliki oleh hewan yang memiliki hasrat, kehendak untuk melakukan sesuatu. Dan manusia sebagai bagian dari entitas (genus) hewan sudah barang tentu memiliki kehendak sebagaimana hewan-hewan yang lain pada umumnya.
Jiwa ketiga, Intelektif, inilah fakultas jiwa yang khas manusia. Dengan fakultas jiwa ini manusia dapat berpikir, mengabstraksi dan menemukan konsepsi-konsepsi universal, yang menjadikannya dapat menilai semua realitas sekalipun tak semua di saksikan dengan mata kepala. Lebih jauh, ia mengenal konsepsi etis yang memunculkan kategori nilai-nilai baik-buruk yang mengharuskannya bertindak atas nilai tersebut.
Jiwa inilah yang pada dirinya dengan keterkaitannya pada alam memiliki dua dimensi yang saling bertentangan, atau memiliki sisi dualitas dalam memandang, menerima dan berbuat: Suka dan Benci.
Secara instingtif, dengan berakar pada jiwa sensitifnya, hewan dan manusia mesti memiliki rasa suka terhadap hal-hal yang dapat memenuhi hasrat hewaniahnya, yakni kebutuhan-kebutuhan hewaniah yang bersifat material: makanan, seks, kehidupan, dan bagi manusia ada prestasi, prestise yang biasanya terkait dengan identitas sosialnya seperti jabatan, harta dan kedudukan. Sebaliknya, rasa benci muncul dan mengarah pada hal-hal yang bertentangan dengan kenikmatan jasadiah dan nilai identitas sosialnya. Manusia pada umumnya membenci atau tak menyukai kekurangan, seperti kekurangan harta dan tahta. Manusia juga tak menyukai bila tubuhnya mendapat rasa sakit sehingga menjadikannya menginginkan untuk sembuh dengan mencari obat atau sarana penyembuhan lainnya.
Tentu saja manusia berbeda dengan hewan. Hewan bergerak semata dengan jiwa sensitifnya, sementara manusia dengan kerangka jiwa intelektifnya yang rasional menghadirkan nilai-nilai dari sebuah tindakan. Manusia memiliki konsepsi mengenai hidup kebersamaannya yang dalam kehidupan tersebut manusia mengenai arti hak asasi bagi masing-masing individu. Manusia juga saling mengandaikan suatu kebaikan bersama yang hendak dicapai dari sebuah tatanan sosial.
Jiwa manusia di satu sisi berhubungan dengan ruh yang bernilai universal dan di sisi lain terkait dengan alam materi. Hasrat adalah fakultas jiwa yang terkait dengan sesuatu di luar diri manusia. hasrat, keinginan, nafsu semata bekerja secara instingtif, ia tidak mengenal sudut pandang, sejauh ia suka ia suka begitu saja. Maka kebencian dan rasa suka terhadap sesuatu dalam konteks jiwa sensitif tidak dapat diklarifikasi oleh jenis penilaian apapun.
Sementara Ruh sebagai aspek primordial kemanusiaan menjadi suara batin terdalam manusia yang hanya mungkin diakses secara intelektif. Dalam hal ini, sesungguhnya etika merupakan sisi konseptualisasi atas hati nurani. Manusia amat menghendaki untuk diperlakukan baik, adil dan benar, apapun soal konsepsi (definisi) atas apa itu baik, adil dan benarnya.
Hubungan Ruh, Jiwa Inteleksi dan Sensitif Manusia
Dalam kerangka jiwa inteleksi inilah, rumusan apa itu kebaikan—sebagai manifestasi Cinta Ruh—dibangun, dan menjadi sandaran bagi perilaku praktik yang dikehendaki dan tidaknya (sensitif) oleh jiwa. Di sini kita dapat melihat, jika sisi dominan pada diri manusia adalah semata mendasarkan diri pada kehendak, hasrat, emosi maka yang terjadi apa yang kita mau adalah itu yang kita lakukan tanpa memperdulikan nilai-nilai etika. Dan nila kita membeci sesuatu, maka tanpa dasar apapun sesuatu tersebut (apapun nilai kebaikan yang terkandung di dalamnya) akan kita abaikan.
Maka, kemanusiaan manusia amat bertumpu pada fondasi nilai etiknya, dengan cinta nuraninya manusia dapat melakukan hal-hal yang secara sensitif tidak dikehendaki, dan sebaliknya meninggalkan hal-hal yang secara sensitif justru itulah yang dikehendakinya. Hal itu karena nilai nurani menghendaki kesempurnaan batiniah, kebahagiaan yang hakiki, murni yang tidak tereduksi oleh batasan-batasan material.
Maka rasa suka dapat bernilai buruk bila ia melegitimasi nilai-nilai yang justru menghancurkan kemanusiaan, seperti penindasan, eksploitasi, pembunuhan dan sebagainya. Begitu pula rasa benci bisa bernilai kebaikan jika ia tertuju pada tindakan-tindakan di atas. Maka suka dan benci tidak dengan sendirinya baik, tergantung pada dasar etis tempat ia bertumpu.