Napak Tilas Kehidupan Srikandi Karbala, Zainab al-Kubro (Bag-1)
Dalam tragedi Asyuro banyak perempuan yang telah dibawa Imam Husein as ke Karbala. Tentu terdapat filosofi penting yang menyebabkan beliau membawa para perempuan tersebut yang akan menyempurnakan misi beliau setelahnya. Dengan tanpa mengecilkan peranan para perempuan lainnya, dalam artikel ini hanya akan menapaki kehidupan srikandi Karbala, Zainab al-Kubro as yang memiliki peranan yang paling menonjol dalam dalam tragedi tersebut.
Nama dan Kelahiran
Zainab al-Kubro adalah putri dan anak ketiga dari pasangan manusia suci lagi agung, Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Beliau besar di bawah naungan pancaran wahyu Ilahi.
Berdasarkan pendapat termasyhur, beliau lahir di Madinah pada tanggal 5 Jumadil Awal tahun 6 Hijrah. Ketika berita kelahiran Zainab al-Kubro sampai kepada Rasulullah saw, beliau langsung menuju rumah Fathimah as. Saat tiba di rumahnya, beliau berkata, “Wahai putriku, bawalah kemari cucuku.”
Beliau meletakkan bayi itu di pangkuannya. Lalu, memeluk dan meletakkan pipi Zainab di pipinya. Tak lama kemudian beliau pun menangis dengan sangat keras hingga air matanya bercucuran membasahi pipinya. Fathimah as keheranan melihat sikap ayahandanya hingga beliau bertanya, “Wahai ayahku, semoga Allah Swt tidak membuat matamu menangis, kenapa engkau menangis?” “Wahai putriku, wahai Fathimah, ketahuilah, bayi ini akan ditimpa berbagai musibah dan akan menghadapi berbagai cobaan. Wahai putriku, wahai belahan jiwaku dan cahaya mataku, ketahuilah, barang siapa yang menangis untuknya karena segala musibah yang menimpanya, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang menangis untuk kedua saudaranya,” jawab Rasulullah saw. Setelah itu kemudian Nabi Muhammad saw memberi nama bayi tersebut Zainab.
Terdapat versi lain tentang penamaan Zainab al-Kubro yang disebutkan dalam kitab Nasikh at-Tawarikh, disebutkan bahwa penamaan Zainab al-Kubro atas perintah Allah Swt. Setelah kelahirannya Imam Ali as tidak langsung memberikan nama kepadanya, hingga Fathimah as menanyakan sebab kepadanya. Imam Ali as menjawab, “Kita tunggu saja sampai Rasulullah saw sendiri yang memberikan nama kepadanya.” Mendengar hal itu, lalu Sayidah Fathimah as menggendong bayinya pergi menuju rumah Rasulullah saw untuk menyampaikan hal tersebut. Pada saat itu, turunlah Malaikat Jibril as dan berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai utusan Allah, Allah swt telah mengirim salam untukmu dan Dia berfirman, “Namakan ia Zainab.”
Setelah menyampaikan pesannya, tiba-tiba malaikat Jibril as menangis hingga membuat Rasulullah saw keheranan. Kemudian beliau menanyakan sebabnya. Malaikat Jibril as menjawab, “Dari awal hingga akhir, kehidupan bayi ini akan dipenuhi berbagai musibah dan cobaan.”
Inti dari kedua versi tersebut bahwa sejak kelahirannya beliau telah diketahui akan menghadapi musibah besar di kemudian hari, yaitu tragedi Asyuro. Sejak kelahirannya telah diberitahukan tentang kesedihan yang akan menimpanya di kemudian hari.
Terdapat beberapa versi tentang akar kata nama Zainab as. Sebagian mengatakan nama beliau hanya terdiri dari satu suku kata yang berarti nama salah satu pohon yang cantik dan harum baunya, sebagaimana yang disebutkan dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnu Mandzur. Versi lain mengatakan bahwa nama beliau terdiri dari dua suku kata yaitu ‘zain‘ dan ‘abun’ yang artinya ‘hiasan ayah’.
Sebagaimana ibundanya, Sayidah Fathimah as, memiliki gelar ‘Ummu Abiha’ (ibu ayahnya) yang mengisyaratkan hubungan yang amat dekat antara seorang anak perempuan dengan ayahnya, Zainab as juga memiliki gelar ‘zain abiiha’ (hiasan ayahnya). Untuk mempersingkat nama atau karena telah sering digunakan maka alifnya dibuang dan menjadi ‘Zainab’.
Yang pasti, baik nama Sayidah Zainab hanya terdiri dari satu suku kata, ataupun dua suku kata, kedua-duanya mengisyaratkan makna yang sangat dalam dan indah. Dan, saya kira kedua versi tersebut tidak saling bertentangan, yang ada bahkan saling menyempurnakan.
2.Masa Kanak-Kanak
Zainab al-Kubro as tumbuh dan berkembang di rumah tempat para malaikat berlalu lalang. Di rumah tempat nama-nama suci Allah selalu dikumandangkan, yang para penghuninya merupakan pengejawantahan segala kesempurnaan; kezuhudan, keberanian, kedermawanan, ahklak mulia, penghambaan, keadilan dan segala sifat sempurna lainnya.
Kakeknya Rasulullah saw yang merupakan manusia paling sempurna di alam semesta dan penghulu para nabi, cukup memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan kepribadiannya. Nabi Muhammad saw senantiasa memperhatikan para putra dan putri Sayidah Fathimah as dengan sepenuh hati, dan sangat mengasihi mereka. Tidak ada seorang kakek pun yang memberikan perhatian dan kasih sayang kepada cucunya, lebih dari yang telah dilakukan Rasulullah saw terhadap cucu-cucunya. Saat beliau melihat para cucunya, beliau akan mencium, memeluk, menempelkan pipinya yang suci ke pipi mereka. Bahkan, beliau tak segan untuk bermain kuda-kudaan bersama mereka. Mereka akan menunggangi punggung beliau dengan riang gembira.
Tentu saja, perilaku Rasulullah saw tersebut tidak hanya berdasarkan hubungan emosional antara seorang kakek dan cucu saja. Karena perbuatan beliau sebagai seorang nabi tidak dilakukan berdasarkan hawa nafsu, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Nabi Muhammad saw) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah berdasarkan wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. [QS an-Najm:3-4]
Juga, segala prilaku beliau akan menjadi contoh dan teladan bagi umatnya dalam memperlakukan anak-anak, atau cucu.
Hanya sebentar Zainab as dapat merasakan kasih sayang kakeknya. Rasulullah saw wafat di saat beliau berusia lima tahun. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Zainab as masih kanak-kanak, beliau bermimpi buruk. Lantas beliau menceritakan mimpi tersebut kepada kakeknya seraya berkata, “Wahai kakekku, semalam aku bermimpi buruk. Aku melihat angin topan sangat kencang dan langit menjadi gelap. Angin kencang telah membawaku ke berbagai arah. Tiba-tiba aku melihat sebuah pohon besar, lalu aku memegang pohon itu. Namun, angin kencang telah membuat pohon besar tersebut tumbang dan jatuh ke atas tanah. Kemudian aku memegang salah satu dahannya yang besar, namun angin kencang juga membuatnya patah. Setelah itu akupun memegang dahan lainnya, namun sama seperti sebelumnya, angin kencang mematahkan dahan tersebut. Lalu aku memegang dahan ketiga dan keempat, sampai akhirnya aku terbangun.”
Rasulullah saw menangis setelah mendengarkan ceritanya seraya bersabda, “Ketahuilah wahai cucuku, pohon besar itu adalah kakekmu. Sedangkan kedua dahan pohon besar tersebut ialah ayah dan ibumu. Sementara kedua dahan lainnya adalah kedua saudaramu Hasan dan Husain. Dengan ketiadaan mereka, dunia akan menjadi gelap gulita dan engkau akan memakai pakaian hitam sebagai lambang duka cita atas musibah yang menimpa mereka.”
Dari riwayat ini kita dapat memahami bahwa dari jauh-jauh hari, Zainab as telah dipersiapkan, baik mental maupun spritual untuk menghadapi berbagai peristiwa pedih sehingga beliau dapat melaksanakan tugas yang dipikulnya dengan baik. Salah satu peristiwa pedih itu adalah peristiwa Asyuro. Setelah kakeknya wafat, beliau menyaksikan berbagai penindasan yang menimpa ayah dan ibunya. Beliau menyaksikan bagaimana hak kekhalifahan ayahnya dirampas. Beliau juga menyaksikan bagaimana ibunya mendatangi satu persatu rumah para Muhajirin dan Anshar untuk mengingatkan baiat mereka kepada Imam Ali as di Ghadir Khum. Beliau menemani ibunya ketika menyampaikan khutbah di masjid. Beliau juga menyaksikan pembakaran dan pendobrakan rumahnya yang akhirnya menyebabkan ibu tercintanya sakit.
Musibah demi musibah telah menimpa putri mungil tersebut. Ibunya wafat saat usianya masih kecil, yang seharusnya masih memerlukan pelukan dan kasih sayang seorang ibu. Juga, kesedihan karena ketiadaan kakeknya pun belum sepenuhnya sirna. Bersama para saudaranya, beliau juga ikut menemani sang ayah menguburkan jenazah ibunya di kesunyian malam. Itulah, ketegaran Zainab al-Kubro as telah terlatih sejak belia.
- Pernikahan dan Keluarga Zainab al-Kubro as
Sejarah tidak menjelaskan secara terperinci masa remaja Zainab as. Namun Thabari menukil ucapan beberapa orang yang melihat beliau, “Seakan-akan aku melihat seorang perempuan bagaikan mentari yang dengan cepat telah keluar dari dalam kemah.”
Bahkan, saat Zainab al-Kubro as hendak berangkat ke Mesir pasca tragedi Karbala, Abdullah bin Ayub Anshori berkata, “ Sumpah demi Allah Swt, aku tidak pernah melihat wajah sepertinya yang bagaikan rembulan.” Padahal waktu itu beliau sudah berumur sekitar lima puluh tahun dan telah mengalami tragedi Karbala yang sangat menyedihkan. Sedikit banyaknya, peristiwa itu pasti mempengaruhi kondisi jasmani dan psikologis beliau.
Tentu di masa remajanya, beliau kondisinya melebihi dari ungkapan-ungkapan yang telah diucapkan oleh orang-orang yang pernah melihat beliau. Ketika beliau telah mencapai usia pernikahan, banyak sekali orang yang datang menemui Imam Ali as untuk menyuntingnya. Namun Abdullah bin Jakfarlah yang beruntung dan paling cocok dari yang lainnya.
Abdullah bin Jakfar adalah putra dari Jakfar bin Abdul Muthalib yang syahid dalam perang Mu’tah dan mendapat gelar ‘dzul jinahain’ yang berarti memiliki dua sayap. Gelar ini diberikan kepada beliau karena kedua tangan beliau putus disabet pedang musuh dalam peperangan untuk mempertahankan panji perang yang ada di tangannya.
Adapun berkaitan dengan putra-putri Zainab as dari Abdullah bin Jakfar terdapat beberapa versi. Syeikh Thabarsi dalam kitabnya A’lamul War’a menyebutkan bahwa putra-putri beliau adalah Ali, Jakfar, Aun Akbar dan Ummu Kultsum. Sementara Sibthi ibnu Jauzi dalam kitab Tadzkiratul Khawash menyebutkan bahwa putra-putri beliau ialah Ali, Aun al-Akbar, Muhammad, Abbas dan Ummu Kultsum, dimana Muhammad dan Aun telah syahid di Karbala.
[Sumber; ‘Muslimah Idol’; Napak Tilas para Perempuan Teladan, Euis Daryati MA]