Perempuan Dan Politik dalam Konteks Sayyidah Fathimah as (Part: 1)
Euis Daryati, MA
Perempuan dan Politik dalam Islam
Al-Quran sebagai Kitab suci agama Islam telah menceritakan kisah yang menjelaskan tentang kebijakan politik Ratu Balqis dalam surat An-Naml ayat 32-35 tanpa membantahnya setelahnya, atau dalam ayat lainnya. Dapat dikatakan hal tersebut mengisyaratkan bahwa Islam tidak menentangnya terkait peran perempuan dalam aktivitas politik tersebut.
Juga, aktivitas perempuan pada awal Islam yang menjelaskan tentang peran mereka dalam bidang politik seperti pada peristiwa Bai’at al-Aqabah, di mana perempuan di Madinah ikut berjanji setia kepada Nabi Muhammad saw dan memilih untuk menerima kepemimpinan beliau.
Sayyidah Fathimah as dan Perannya dalam Politik
Meskipun hidup di zaman yang sangat berbeda dengan zaman modern, keteladanan Sayyidah Fathimah as menawarkan perspektif penting mengenai posisi perempuan dalam politik dan peranannya dalam memperjuangkan keadilan. Berikut ini beberapa aspek penting yang dapat diambil dari kehidupan dan peran Sayyidah Fathimah Zahra dalam konteks perempuan dan politik:
Perempuan Sebagai Pembela Kebenaran dan Keadilan
Sayyidah Fathimah Zahra bukan hanya dikenal karena sifat-sifat kemuliaannya sebagai seorang ibu dan istri, tetapi juga karena sikap tegasnya dalam membela hak-hak yang benar. Salah satu peristiwa penting yang menggambarkan sikap politik dan keberaniannya adalah ketika beliau berdiri tegak di hadapan khalifah Abu Bakr dan Umar al-Khattab untuk memperjuangkan hak warisannya terhadap tanah Fadak. Perjuangan beliau untuk menuntut haknya ini menggambarkan bahwa perempuan juga memiliki hak untuk berbicara, bertindak, dan memperjuangkan keadilan dalam kehidupan politik, baik di ranah publik maupun pribadi.
Dalam hal ini, Sayyidah Fathimah Zahra mengajarkan bahwa perempuan memiliki suara dalam urusan politik, dan tidak seharusnya mereka dipinggirkan atau dikebawahkan dalam hal-hal yang menyangkut hak dan keadilan.
Gigih Membela Kepemimpinan yang Sah
Demi membela kepemimpinan sah, yang secara de jure telah ditetapkan di Ghadir Khum Sayidah Fathimah Zahra mendatangi satu persatu rumah Muhajirin dan Anshar untuk mengingatkan pelantikan kepemimpinan Imam Ali as.
Bahkan dengan tegas beliau pun menyatakan dukungan dan pembelaan kepada Imam Ali as, “Wahai Abal Hasan, jiwaku sebagai tebusan jiwamu, diriku sebagai tebusan dirimu, aku akan selalu menyertaimu dalam kebaikan maupun dalam kesulitan.”[1]
Jenazah suci Rasulullah saw belum dikebumikan mereka telah berebut kekuasaan di Saqifah Bani Sa’idah. Saat itu Imam Ali as dan beberapa sahabat tengah sibuk mengurus jenazah Rasulullah, sebagian para sahabat mendatangi rumah untuk mengambil baiat. Sayyidah Fathimah Zahra pergi menuju ke arah mereka dan beliau berdiri di belakang pintu hingga menghalangi mereka masuk ke dalam rumah. Dengan berapi-api beliau menyampaikan pidato singkatnya, “Aku tidak pernah melihat sekelompok orang yang lebih buruk dari kalian. Kalian telah membiarkan begitu saja jenazah Rasulullah di antara kami, kalian telah memutuskan baiat kalian…”[2]
Menyadarkan Masyarakat akan Kepemimpinan yang Sah
Imam Ali as secara yuridis (masyru’iyat) telah dilantik sebagai pemimpin pasca Rasulullah, kendatipun secara de facto (maqbuliyat) baru terwujud dua puluh lima tahun kemudian. Peristiwa pelantikan ini terjadi pada tanggal 18 Dzulhijah setelah Rasulullah dan kaum muslimin melaksanakan haji Wada’. Ketika rombongan haji sampai di Ghadir Khum, tempat antara Madinah dan Mekah, malaikat Jibril turun dan menyampaikan pesan kepada Nabi Muhamad saw untuk menyampaikan satu pesan penting yang nilainya sama dengan risalah Rasulullah selama dua puluh tiga tahun, “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, jika engkau tidak menyampaikannya maka sama artinya engkau tidak menyampaikan risalahmu..”[3]
Rasulullah saw telah melantik Imam Ali as di hadapan ratusan ribu jemaah haji. Setelah melaksanakan solat berjamaah kemudian Rasululah naik mimbar yang terbuat dari punuk onta. Beliau memulai pidatonya dengan memperkenalkan dirinya, kemudian terakhir beliau mengangkat tangan Imam Ali as hingga ketiaknya terlihat seraya bersabda,”Barang siapa yang menganggapku walinya maka Ali adalah walinya.”
Perbedaan yang terjadi ialah dalam mengartikan kata ‘wali’, ada yang mengartikan sebagai teman atau penolong. Namun, sangat tidak logis dengan melihat berbagai indikasi bahwa kata ‘wali’ diartikan sebagai ‘teman atau penolong’.
Pertama, logiskah Rasulullah saw hanya sekedar untuk mengumumkan pada kaum muslimin jika Imam Ali as sebagai penolong atau temannya, memerintahkan jemaah haji yang sudah terpisah untuk kembali berkumpul di Ghadir Khum, padahal kala itu untuk mengumpulkan orang segitu banyak sulit sekali karena tidak ada sarana seperti pengeras suara sekarang ini? Ditambah, udara gurun pasir yang sangat panas membakar. Logiskah sosok seperti Rasulullah saw membiarkan orang-orang terbakar kepanasan hanya sekedar untuk mendengar mengetahui jika Imam Ali as teman atau penolong Rasulullah?
Kedua, ucapan selamat para sahabat besar terutama Umar bin Khatab, Abu Bakar, Usman bin Affan dan lainnya kepada Imam Ali as, “Bakhin-bakhin laka ya Ali! Ashbahta maulaya wa maula kulli mukminin wa mukminati..”, “Selamat…selamat atasmu ya Ali! Engkau telah menjadi waliku dan wali tiap mukmin dan mukminah.”[4]
Jika maksud dari wali ialah hanya teman penolong? Apa arti dari ucapan selamat Umar bin Khatab? Apakah para sahabat lain bukan teman dan penolong Rasulullah?
Ketiga, ayat yang diturunkan setelahnya ialah ayat Ikmal atau ayat tentang penyempurnaan ajaran Islam, ”Pada hari ini, telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah kusempurnakan bagi kalian nikmatku…dan Alloh menjagamu dari manusia…”[5]
Karena itu, pasca wafat Rasulullah Sayidah Fathimah as bersama Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husein as selama empat puluh pagi mendatangi rumah-rumah Muhajirin dan Anshar untuk mengingatkan kepemimpinan yang sah.”[6]
Perempuan dalam Keluarga dan Politik
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan masyarakat yang adil dan sejahtera. Sayyidah Fathimah Zahra tidak hanya berperan sebagai seorang ibu yang mendidik anak-anaknya, tetapi juga sebagai seorang istri yang mendampingi suaminya, Imam Ali bin Abi Talib, dalam perjuangannya. Keluarga beliau adalah contoh sempurna dari bagaimana seorang perempuan dapat mempengaruhi kebijakan politik dan mempengaruhi arah sejarah melalui peran dalam keluarga.
Sayyidah Fathimah Zahra juga dikenal karena mendidik anak-anaknya dalam konteks perjuangan moral dan sosial. Putra-putranya, Hasan dan Husain, kelak menjadi tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam sejarah Islam, terutama dalam perjuangan melawan ketidakadilan, yang berujung pada peristiwa tragis Karbala. Dengan demikian, peran Sayidah Fathimah Zahra sebagai seorang ibu menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya berperan dalam konteks domestik, tetapi juga dalam membentuk pemimpin masa depan yang akan berperan dalam politik dan perjuangan sosial.
Sayyidah Fathimah as dan Perempuan dalam Politik Kontemporer
Dalam konteks zaman sekarang, banyak perempuan yang terlibat dalam politik, baik di level lokal maupun internasional. Sayidah Fathimah Zahra memberi teladan bahwa perempuan, apapun latar belakang dan posisinya, memiliki peran penting dalam menciptakan perubahan sosial dan politik. Perempuan yang terinspirasi oleh nilai-nilai yang dibawa oleh Fathimah Zahra dapat berperan aktif dalam memperjuangkan hak-hak mereka, serta mendukung perjuangan keadilan dalam berbagai ranah kehidupan.
Dalam banyak aspek, pengaruh Sayidah Fathimah Zahra terhadap politik perempuan dapat menjadi contoh penting tentang bagaimana perempuan, bisa menjadi agen perubahan yang signifikan dengan memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan martabat manusia.
Kehidupan dan perjuangan Sayidah Fathimah Zahra memberi pesan kuat mengenai pentingnya peran perempuan dalam politik dan kehidupan sosial. Dengan integritas, keteguhan, dan keberanian dalam menghadapi ketidakadilan, beliau telah membuktikan bahwa perempuan tidak hanya berperan dalam urusan domestik, tetapi juga memiliki peran strategis dalam politik, keadilan, dan perubahan sosial, dari perjuangannya untuk membela hak-hak yang benar, serta memberi inspirasi bagi perempuan masa kini untuk terlibat dalam kehidupan politik dengan tujuan yang mulia demi terwujudnya masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
[1] Kaukab ad-Durriyu, jil 1, hal 196 dinukil dari Jami az Zulale Kausar, Mishbah Yazdi hal 146
[2] Majlisi, Biharul Anwar, jil 28, hal 205
[3] QS al-Maidah:67
[4] A’lamul Wara‘, hal 132 dan al-Irsyad, jil 1, hal 177
[5] QS al-Maidah:3
[6] Kazim Gazwini, Fathimatuz Zahra az Wiladat ta Shahadat, hal 694