Perempuan Dan Politik dalam Konteks Sayyidah Fathimah as (Part: 2)
Pidato Politik Sayyidah Fathimah as
Dalam aktivitas politiknya Sayyidah Fathimah as telah menyampaikan beberapa khutbah yang disampaikan dalamm kesempatan yang berbeda-beda. Beliau bukan hanya dengan sikap berusaha untuk membela dan memerjuangkan kepemimpinan pasca Rasulullah, namun beliau pun getol melakukan pidato politik untuk menyadarkan masyarakat. Beliau tidak lelah mengingatkan masyarakat akan kepemimpinan yang sah hingga akhir hayatnya. Secara garis besar beliau telah menyampaikan tiga pidato politik yang sangat fasih dan juga muatannya sarat dengan kandungan-kandungan Ilahi dan sangat tinggi;
- Pidato saat didatangi orang-orang untuk mengambil baiat dari Imam Ali as.
Dalam kesempatan tersebut beliau hanya menyampaikan pidatonya secara singkat hanya mengingatkan mereka tentang peristiwa Ghadir Khum,
“…kalian telah memutuskan baiat kalian. Kalian tidak menginginkan kekhilafahan kami, serta menganggap kami tidak layak mendapatkan hak istimewa itu. seolah-olah kalian lupa apa yang telah disampaikan Rasulullah di Ghadir Khum? Sumpah demi Alloh, Rasulullah telah mengambil baiat dari kalian atas kepemimpinan Ali! Hal itu untuk memutuskan harapan orang-orang yang haus tahta dan kekuasaan. Akan tetapi kalian telah memtuskan perjanjian antara diri kalian dengan Nabi kalian. Ketahuilah! Alloh akan mengadili antara kami dan kalian di dunia maupun akhirat.”[1]
- Pidato yang disampaikan di hadapan Muhajirin dan Anshar di masjid Nabawi, yang dikenal dengan khutbah Fadak.
Dalam kesempatan ini pidato beliau sangat panjang lebar, bahasanya sangat fasih dan muatannya sangat tinggi yang membahas tentang tauhid dan keesaan Allah SWT dan hakikatnya, Risalah kenabian Nabi Muhamad saw, Al-Quran dan Itrah, hikmah hukum-hukum Allah SWT, kondisi masyarakat Arab pra diutusnya Nabi Muhamad saw, perjuangan Imam Ali as, wafat Rasulullah dan munculnya dendam kemunafikan, warisan dan fadak, pengaduan kepada Rasulullah saw, perenugan Al-Quran dan lainnya. Berikut ini contoh isi pidato Sayyidah Fathimah as:
“Dan Allah telah menjadikan iman bagimu sebagai penyuci kesyirikan.
Dan Allah telah menjadikan shalat bagimu sebagai pembersih kesombongan.
Dan Allah telah menjadikan zakat untuk pensucian jiwa dan menambah rejeki.
Dan Allah telah menjadikan puasa sebagai pengokoh keikhlasan.
Dan Allah telah menjadikan haji sebagai pembangun agama,Dan Allah telah menjadikan keadilan sebagai penghubung para hati,Dan Allah telah menjadikan keta’atan terhadap kami sebagai pengatur bagi umat,Dan Allah telah menjadikan kepemimpinan (imamah) kami sebagai pengaman dari perpecahan.
Dan Allah telah menjadikan jihad di jalan-Nya sebagai kemuliaan untuk Islam.
Dan Allah telah menjadikan kesabaran sebagai penolong untuk mendapatkan pahala.
Dan Allah telah menjadikan amar ma’ruf dan nahi munkar (menyuruh kebaikan dan mencegah kemunkaran) demi kemaslahatan umat.
Dan Allah telah menjadikan berbuat baik terhadap orang tua sebagai pencegah dari kemurkaan-Nya.
Dan Allah telah menjadikan silaturahmi untuk memperpanjang umur dan memperbanyak jumlah (orang).
Dan Allah telah menjadikan qishash untuk mencegah tertumpahnya darah.
Dan Allah telah menjadikan tepat janji sebagai lahan untuk mendapatkan ampunan-Nya.
Dan Allah telah menjadikan memenuhi timbangan dan neraca pemusnah penipuan dalam timbangan dan neraca.
Dan Allah telah menjadikan pencegahan terhadap meminum minuman keras sebagai pembersih perbuatan keji dan kotor.
Dan menjauhi dari menuduh seseorang akan menghalanginya dari laknat Allah swt, Dan meninggalkan pencurian akan menyebabkan terjaganya kesucian diri (iffah).
Dan Allah swt telah melarang syirik, sehingga yang patut disembah hanyalah diri-Nya (“Maka bertakwalah dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah mati melainkan dalam keadaan muslim”), dan ta’atilah Allah dalam hal-hal yang telah diperintahkan dan dilarang-Nya, karena sesungguhnya ; “Sesungguhnya di antara hamba-hamba-Nya yang takut terhadap Allah ialah para ulama…
Wahai manusia, ketahuilah sesungguhnya aku adalah Fathimah, dan ayahku adalah Muhamad, aku mengatakan ini tidak satu kali tapi berkali-kali. Ketahuilah aku tidak pernah berkata salah dan aku tidak pernah melakukan perbuatan yang salah…
Allah telah menyelamatkan kalian dari kehinaan melalui ayahku Muhamad setelah melewati segala macam halangan dan rintangan…
Tiap kali para pengikut setan atau kaum musyrikin bangkit untuk menyerang kalian, ayahku menjadikan saudaranya (Ali bin Abi Thalib) untuk menghadangnya.
Ali tidak pernah berhenti berperang melawan para musuh-musuh Islam dan memadamkan api fitnah dengan pedangnya.
Ali senantiasa menjadikan dirinya dalam kesulitan dan kesusahan berjuang untuk Allah.
Ali senantiasa berjuang demi menjalankan perintah Allah.
Ali orang yang dekat dengan Rasulullah, ia adalah penghulu para wali dan kekasih Allah, senantiasa menyingsingkan lengan bajunya untuk melakukan kebaikan, bersungguh-sungguh dan pekerja keras, dalam menjalankan perintah Allah tidak takut dengan segala macam cercaan.
Sementara kalian kala itu hidup sejatera, hidup bersenang-senang dan aman.. kalian lari dari peperangan…. “[2]
- Pidato Fathimah az-Zahra as dalam kondisi sakit di hadapan perempuan Muhajirin dan Anshar, isinya kembali mengingatkan perlakuan para suami mereka terhadap pemimpin sah yang diangkat Rasulullah saw,
“…aku marah pada para suami kalian… terpaksa aku limpahkan kepemimpinan kepada mereka…
Celakalah mereka, bagaimana mungkin mereka telah menjauhkan khilafah dari orang yang merupakan pondasi risalah, asas kenabian dan hidayah, tempat turunnya Jibril al-Amin, yang mengetahui segala urusan dunia dan agama. Tidak ragu lagi ini adalah kerugian yang sangat nyata…”
Apakah dosa Abul Hasan (Ali bin Abi Thalib) mereka telah hingga mereka balas dendam kepadanya? Sumpah demi Allah, kesalahannya hanya karena ia menghunuskan pedang, tidak takut mati, berjuang keras dalam menumpas musuh-musuh Islam, berani dalam peperangan…” [3]
Dari khutbah-khutbah politik tersebut kita belajar tentang perjuangan Sayidah Fathimah bahwa dengan integritas, keteguhan, dan keberanian dalam menghadapi ketidakadilan, beliau telah membuktikan bahwa perempuan tidak hanya berperan dalam urusan domestik, tetapi juga memiliki peran strategis dalam politik, keadilan, dan perubahan sosial, dari perjuangannya untuk membela hak-hak yang benar.
[1] Biharul Anwar, jil 28, hal 205
[2] Balaghatun Nisa, Ibnu Thaifur, hal 23-32
[3] Balaghatun Nisa, Ibnu Thaifur, hal 32-33