Menemukan Relasi antara ‘Irfan dan Sains
Latar Belakang Masalah
Relasi sains (ilmu eksperimenta/tajribi) dan tasawuf atau mysticisme—yang selanjutnya penulis menggunakan istilah ‘irfan dalam artikel ini—masih tetap menarik dibicarakan. Umumnya para sarjana memperbincangkan sains dengan filsafat atau dengan agama, tapi kemudian seiring perkembangan penelitian yang berbasiskan sains atau dekat dengan metode sains yang mencengangkan cukup memperlihatkan jejak-jejak ilahiyah seperti yang terurai dalam neuroscience atau fisika baru, maka diskusi terkait relasi keduanya menjadi hangat lagi untuk diperbincangkan. Artikel ini ingin menawarkan perspektif baru dalam melihat relasi antara ‘irfan dan sains.
Pengantar
Edward Sachau mengatakan, abad keempat (abad kesepuluh Masehi) adalah titik balik sejarah ruh Islam. Jika bukan karena al-Asy’ari dan al-Ghazali, orang-orang Arab mungkin dapat menjadi sebuah bangsa yang memiliki Galileo-Galileo, Kepler-Kepler atau Newton-Newton baru.[1] Omar Bakar mengatakan bahwa ada hubungan yang serius antara filsafat dan Sains. Bangsa-bangsa yang antipati terhadap filsafat tentu tidak akan mengalami perkembangan yang signifikan dalam urusan sains.[2]
Perkembangan Sains
Ilmu pengetahuan yang berbasiskan observasi ilmiah atau sains mengalami perkembangan yang sangat pesat sekali terutama di Barat. Kemajuan sains ditandai dengan kemajuan teknologi dalam berbagai bidang biologi, fisika, kimia dan sebagainya. Meskipun banyak dikritik tapi masyarat dunia tetap memandang sains sebagai bagian penting dalam agenda kehidupan mereka. Sains bukan hanya mengubah life style manusia modern bahkan juga paradigma berpikir mereka. Ada tiga warisan dari Sains, yaitu reduksionisme, prediksi, dan fenomenalisme.
Ketika sains menjadi paradigma maka bukan hanya masuk dalam tataran tehnis saja tapi sudah menyatu dengan kebijakan, kurikulum, dan juga bahasa.
Sains dan Filsafat versi Filsafat Islam
Sains sebenarnya lebih melakukan dialektika dengan filsafat dibanding dengan ‘irfan. Filsafat dan ‘irfan memang berdekatan dan memiliki relasi yang saling mendukung. Sementara sains yang valid tentunya juga merupakan salah satu fondasi bagi filsafat yang dalam istilah istilah filsafat Peripatetik disebut dengan tajribi. Sebagaimana menurut Mehdi Hairi Yazdi bahwa filsafat jika ingin merekonstruksi metodologinya maka ia harus mengintegrasikan seluruh sistem epistemologi dalam satu sistem yagn holistik.[3] Tetapi melihat hegemoni sains yang seolah-olah ingin meninggalkan filsafat dan mengabaikan spiritualitas, kita justru melihat hubungan antara yang ada di alam yang paling rendah dan realita yang ada di alam yang tertinggi.
Sains misalnya dalam tradisi filsafat Ibnu Sina menggunakan metodologi istiqra yang dilandasi oleh silogisme tersembunyi. Sekaligus untuk mengafirmasi kebutuhan sains kepada filsafat, dalam tataran discovery.[4] Relasi antara filsafat dan sains ibarat relasi antara ibu dan anaknya. Filsafat adalah ratu ilmu (queen of knowledge) yang memberikan justifikasi (itsbat) atas ontologi sains. Dalam ilmu kedokteran (medicine) misalnya, tubuh (body) sebagai obyek kajian dari aspek sehat dan sakitnya menjadi valid atau eksis setelah filsafat memberikan justikasi ontologinya. Namun dari sisi lain filsafat juga butuh sains sebagai penjelas yang akan menguraikan secara mendetail dan konkrit yang terukur, obyektif dan memiliki parameter.
Spiritualisme atau ‘irfan memiliki berbagai mazhab pemikiran yang beragam, dan metode yang meskipun sama tapi dalam tataran tertentu berbeda dari sisi penekannya atas epistemologi dan ontologi. Secara umum adalah satu metode yang lebih menekankan aspek intuitif, pencerahan jiwa lewat metode-metode khusus dan pengalaman-pengalaman istimewa pada alam transendental.
Dalam kajian ilmu-ilmu sosial (humaniora) Filsafat dan irfan dapat dimasukan sebagai ilmu-ilmu klasik sementara sains yang telah memisahkan diri dari filsafat menjadia bagian dari ilmu-ilmu modern. ‘Irfan dianggap sebagai bagian dari ilmu klasik yang memiliki metode, obyek dan tujuan yang berbeda dari sains seperti yang tergambar dalam bagan di bawah ini.
Ilmu klasik | Ilmu modern | |
Tujuan | Menyingkapkan hakikat (nama-nama Ilahi) | Mengetahui rahasia setiap entitas fisika, biologi, kimia, mental, otak |
Bahasa | Menggunaan bahasa simbol: cerita, dongeng, metafora, | Data, statistik, sensus, angka, scanning, surveys, laboratorium, gambar, diagram dll |
Kosmologi | Alam nasut, lahut dan malakut | Alam nasut saja |
Relasi dengan etika | Terintegrasi dengan etika | Tidak begitu diperhatikan |
Harmonis dengan setiap realita, fisik, medan, gelombang, kata, bahasa | ||
Orientasi | Penyempurnaan | Pragmatis |
Metode | Hirarki dari yang sensible hingga intuisi | Data-indrawi |
Sebagaimana ditekankan tentang aspek pengalaman spiritual maka para sufi dan teosofi Islam menyatkan bahwa man la kasya lahu la ilmah lahu, (siapa yang tidak bisa melihat dengan mata batin, ia tidak memiliki ilmu). Tetapi ini tidak berarti menafikan pendekatan metode yang lain. Bagi para ‘arif, melihat (visi) itu sebagai basis epistemologi dan basis etika. Karena dengan melihat, seseorang mendapatkan keyakinan yang pasti dan tidak akan berubah.
Menurut Jalaluddin Rumi, ilmu itu dibagi dua. Pertama ilmu tubuh dan kedua ilmu hati. Ilmu hati (del) akan membantu dan mengangkat pemiliknya sementara ilmu tubuh (tan) akan membebani pemiliknya. Ilmu hati memberikan ketentraman sementara ilmu tubuh akan melahirkan banyak keraguan.[5]
Bersambung…
Salman Nano
[1]Edward Sachau, al-Biruni’s Chronology of Ancient Notions, 1879, hlm x dikutip dari Aysdin Sayili, sebab-sebab kemunduran Sains dalam Islam, Jurnal al-Hikmah, Bandung-Mizan, 1994
[2]Haidar Bagir dalam makalah dengan tema hubungan filsafat dalam kehidupan disampaikan di STFI Sadra
[3]Mehdri HairiYazdi, Epistemologi Iluminasionis dalam filsafat Islam ; Menghadirkan cahaya Tuhan, (Jakarta : Mizan, 2003), hal. 5
[4]Ibn Sina, IlahiyatShifa, kitab al-Burhan, (Mesir: Matabi’ ammah Amiriyah, 1960)
[5]Muhammd Ridha Afdali, Ma’arif Matsnawi, (Qum : Intisyarat Baynal Milal Al-Musthafa, 1430), 42