Dunia Islam: Kritik Atas Ide Liberal dan Sentimen Anti Komunis (3)
Annisa Eka Nurfitria____ Seperti Kuru dan Sardar, cara pandang Islamis seperti itu juga dikembangkan oleh Ali A. Allawi yang dituangkan dalam buku best seller nya, di beberapa negara ia dipuji sebagai ‘world original thinker’ oleh majalah terkemuka Inggris, Prospect Magazine. Dalam bukunya berjudul Krisis Peradaban Islam: Antara Kebangkitan dan Keruntuhan Total (2015). Ia menyebutkan sebuah istilah ‘Spiritualitas Islam’, yaitu sebuah proyeksi atas sistem Islami untuk kebangkitan dan kemajuan Islam yang akan mewarnai perubahan-perubahan masa depan Islam. Spiritualitas yang ia maksud adalah spirit moral yang mendorong pada asketisme sufistik. Seperti yang Allawi sebutkan dalam bukunya;
“Dalam pandangan para rasionalis, ilmu tasawuf merupakan sistem pemikiran palsu berdasarkan tahayul, halusinasi, penciptaan mitologi dan keadaan serta pengalaman yang kebenarannya belum terbukti, yang mendekati keadaan gila. Para modernis menganggap dalam cerita-cerita rakyat Islam terdapat bentuk indoktrinasi primitif massal yang sangat buruk dan bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa islam selaras dengan dunia modern.”
Seperti yang disadarinya pula, bahwa praktik sufisme yang ia kritik sama seperti yang banyak dikritik yang disebut sebagai “menggerus keabsahan dan relevansi tarekat-tarekat sufi tradisional”. Sampai di sini, Islam yang dibayangkan Allawi sebagai solusi abastrak memiliki kemiripan dengan apa yang dibayangkan Sardar suatu Sipiritualitas Islam atau Sains Islam yang tidak dipengaruhi barat.
Di Indonesia pemikir Islam modern seperti Nurcholis Madjid dalam tulisannya pada tahun 80-an menunjukkan bahwa kurang lebih sama dengan gagasan-gagasan yang memandang gerakan progresif seperti marxisme dan leninisme merupakan gerakan yang harus diwaspadai karena bahaya sekuler dan ateis. Namun, disaat yang sama ia begitu gigih mempertahankan gagasan liberalis yang diperaktekkan negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Intelektual Islam lain yang lebih ekspresif dalam memberikan gambaran buruk mengenai Uni Soviet dan komunisme adalah Akbar S. Ahmed, seorang antropolog kelahiran Pakistan yang menjadi profesor tamu di Princeton University dan Harvard University Amerika Serikat. Secara serampangan ia menulis, “bagaimana Rusia mengendalikan wilayah yang sangat jauh ini—jawabannya terkandung dalam dua kata: kekuatan brutal”. Begitu mengerikan dan tak faktual! Pengamatan Akbar yang hanya sekadar berjalan-jalan berkeliling singkat atas dunia Islam dan kemudian menuliskannya dalam sebuah buku amatan antropologis berjudul Living Islam Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga Stornoway (1997) adalah amatan sambil lalu yang lebih cocok disebut sebagai catatan perjalanan. Secara buru-buru dan sembrono ia menyimpulkan ganasnya rezim Soviet terhadap wilayah-wilayah Asia Tengah. Tetapi dalam paragraf-paragraf selanjutnya, yang ia klaim sebagai fakta penguat tentang kekuatan brutal itu, tak satu pun menunjukkan kebrutalan Soviet. Justru sebaliknya, fakta-fakta tersebut hanya menampilkan kebrutalan kekaisaran Rusia yang justru ditumbangkan oleh Revolusi Oktober.
Alur cara kerja-kerja intelektual di dunia kebudayaan yang menurut bahasa Berman, telah ‘disituasikan’ agar memberi angin segar bagi liberalisme dan mendeligitimasi komunisme seperti dalam kasus dunia Islam di Indonesia. Proses ini disebut Wijaya Herlambang, sebagai kumpulan akademisi jebolan University of Quensland dan penerima Post-Graduate Award (2006-2009) yang meneliti isu kekerasan budaya pasca 1965, sebagai ‘kekerasan budaya’. Penelitiannya ini berjudul Cultural Violence: Its Practice and Challenge in Indonesia (2011) dan diterjemahkan ke dalam buku berbahasa Indonesia berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (2013).
Wijaya menyampaikan, kebencian terhadap komunisme di Indonesia bukanlah sesuatu yang alamiah. Namun sesuatu yang diproduksi oleh agen-agen kebudayaan liberal dan anti-komunis melalui produk-produk kebudayaan berupa film, serial televisi, lagu, dan buku-buku. Siapakah yang disebut agen-agen kebudayaan liberal dan pengusung anti-komunis itu? Merekalah para sarjana Muslim yang aktif menggagas ide Islam yang bercorak liberalisme dan anti-komunis.
Apa yang digagas oleh sarjana-sarjana Islam memiliki kesesuaina dengan kepentingan Amerika Serikat, CIA membentuk lembaga bernama Congress for Cultural Freedom (CCF). Dalam lembaga inilah disusun suatu kerangka kerja kebudayaan dan intelektual bagi politik liberalisme dan anti-komunisme. Tokoh penting CCF yang sekaligus juga agen CIA, Ivan Kats, melakukan surat-menyurat dan bertemu langsung dalam sejumlah kesempatan dengan beberapa tokoh Muslim Indonesia dan merencanakan kerja-kerja intelektual dan kebudayaan anti-komunisme. Dia bekerja sebagaimana digambarkan Martin Suryajaya, yakni “membuat wajar kapitalisme” sehingga kekerasan di belakang eksploitasi kapital itu diterima sebagai sesuatu yang wajar dan ‘sunnatullah’. (Atau dalam bahasa Wijaya Herlambang: “mewajarkan kekerasan pasca 65”).
Kekerasan terhadap PKI dan simpatisannya pasca 1965 dan kekerasan kebudayaan lanjutannya di Indonesia, yang hingga kini terus dirayakan setiap bulan September, bertemu dengan semakin banyaknya sarjana Islam jebolan Barat yang mempercayai liberalisme sebagai suatu pandangan dunia yang tepat untuk Indonesia, juga untuk dunia Islam. Di saat yang sama mereka menebar kebencian terhadap komunisme sehingga membuat dunia intelektual dan akademik kita tercemar oleh proyek kebebasan palsu CIA melalui CCF yang membawa kepentingan politik dan kebudayaan Amerika Serikat. Suatu pemikiran yang menyebar luas dan kuat karena ‘disituasikan’.
Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, wacana liberalis dan anti-komunis ini dikembangkan. Dunia akademik kita memainkan peran yang cukup sentral dalam perkembangan wacana itu. Karena itulah wacana yang berkembang di ruang publik kita sampai sekarang masih seperti ini: “pembantaian 600.000 sampai 2 juta orang pasca 1965 dianggap sebagai kewajaran”; “liberalisme adalah jalan terbaik”; “pemberangusan serikat pekerja adalah hal biasa”; “pengupahan dan perbudakan di bawah kapitalisme adalah sesuatu yang pantas saja”; “kolonialisme oleh barat lebih beradab dari bahaya Cina/Soviet komunis”.
Wacana-wacana semacam itu begitu mudah diterima dan bahkan telah terinternalisasi menjadi sebagai semacam kepercayaan yang membatin. Dan kepercayaan ini juga nampaknya tercermin pada penerimaan atas tafsir liberal dunia Islam yang disampaikan Kuru. Keyakinan dan pengetahuan seperti itu menyebar ke kampus-kampus. Para akademisi, dosen, dan mahasiswa adalah induk semangat dan penggeraknya. Juga di kalangan intelektual Islam seperti telah disebutkan di atas. Mereka begitu memusuhi komunisme dan memuja-muja Amerika Serikat dan kroninya yang mengisap darah mereka: sejak kolonialisme sampai neoliberalisme kini! Sudah saatnya Cendikiawan Muslim di Indonesia bercermin pada Iran yang mematok Amerika Serikat adalah Setan Besar.
Sumber:
Ali A Allawi, Krisis Peradaban Islam Antara Kebangkitan dan Keruntuhan Total (Bandung: Mizan, 2015), hal. 420.
Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan yang diterbitkan kembali dalam bundel buku Karya Lengkap Nurcholis Madjid (Jakarta: Nurcholis madjid Society,2019), hal. 169.
Akbar S Ahmed, Living Islam Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand hingga Stornoway (Bandung; Mizan, 1997), hal. 179.
Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965 Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film (Jakarta: Marjin Kiri, 2013), hal. 16. Lihat juga halaman 245-247 di mana Wijaya menguraikan keterlibatan Jaringan Islam Liberal yang menginduksi dunia Islam Indonesia dengan wacana kebebasan dan demokrasi dengan biaya amat besar dari lembaga donor yang berkantor di Amerika Serikat seperti Asia Foundation. Lembaga ini menyediakan suntikan dana sebesar 150.000 USD/tahun.