Fungsi Sosial Teks Maqtal dalam Tradisi Peringatan Asyura
Oleh: Otong Sulaeman
Peristiwa pembunuhan cucunda Rasulullah SAW, yaitu Imam Husein bin Ali, merupakan salah satu peristiwa yang sangat besar dalam sejarah Islam. Di Nusantara, peringatan atas peristiwa ini sudah lama dilakukan oleh kaum Muslimin Indonesia, dengan beragam ekspresinya. Kita sampai sekarang mengenal adanya upacara pengarakan keranda simbol jasad Husein (Mahoyak Tabuik) yang dilakukan orang-orang di Bengkulu dan Padang Pariaman. Di Jawa, ada upacara Suro dan memasak bubur merah-bubur putih. Semuanya dilakukan untuk menyambut momen tanggal 10 Muharram.
Selain tradisi-tradisi lisan dan peringatan, peristiwa Asyura juga terekam dalam berbagai karya sastra Nusantara. Ada sejumlah karya sastra Nusantara yang secara interteks terinspirasi secara kuat oleh Hikayat Muhammad bin Hanafiyah, sebuah karya sastra terjemahan dari dari bahasa Persia. Salah satu bagian dari Hikayat Muhammad bin Hanafiyah ini bercerita secara detail peristiwa Asyura.
Dalam bentuk aslinya, kisah tentang kesyahidan Husein itu dituliskan dengan gaya elegi dan tragedi yang disebut maqtal (kisah keterbunuhan). Dalam versi Melayu, unsur tragedinya diubah suai menjadi roman sejarah dengan unsur epik yang kuat. Versi Jawa, Sunda, dan Madura ditulis dalam bentuk tembang macapat (puisi), yang dibacakan dengan lagu khas di majelis-majelis pada malam di hari Asyura. Meskipun sudah mengalami perubahan, unsur kesedihan dari kisah-kisah tersebut masih tetap ada.
Secara filologis, manuskrip-manuskrip biasanya bisa bertahan dalam lintasan sejarah karena manuskrip-manuskrip itu memiliki fungsi sosial teks dan fungsi sosial naskah. Semakin banyak disalin atau disadur, dipastikan bahwa naskah tersebut memang dianggap memiliki fungsi dan manfaat bagi masyarakat pengguna. Mustahil orang-orang mau-maunya menyalin naskah, atau menerjemahkan dan menyadurnya, di tengah-tengah keterbatasan media penulisan di saat itu, jika mereka tak melihat kegunaan besar dari penyalinan/penerjemahan/penggubahan dari naskah yang disalin itu.
Bagi para pengikut mazhab Syiah, keberadaan teks-teks maqtal Asyura sangatlah penting. Tanpa teks elegi dan tragedi, cukup sulit untuk menghadirkan suasana duka saat memperingati peristiwa Asyura. Padahal, bagi kaum Syiah, peringatan Asyura adalah salah satu pilar kehidupan beragama, dan di saat memperingati itu, hadirnya suasana duka serta keluarnya tangisan adalah hal yang sangat penting. Kaum Syiah juga meyakini bahwa peristiwa Asyura bisa menjadi bahan renungan, karena di dalamnya ada pelajaran-pelajara akhlak yang sangat mendalam. Dan semua itu hanya akan bisa dilakukan ketika teks yang dimaksud memang tersedia.
Berikut ini adalah sejumlah alasan teologis kaum Syiah hingga mereka terus menghidupkan peringatan Asyura.
Pertama, Asyura diyakini memberikan inspirasi bagi perjuangan menegakkan keadilan dan melawan kezaliman. Sebagaimana yang diketahui, Asyura terjadi manakala Husein bin Ali melakukan perlawanan terhadap Yazid bin Mu’awiyah sebaga penguasa Bani Umayyah. Kaum Syiah meyakini bahwa Yazid adalah sosok penguasa yang kejam dan harus dilawan.
Kedua, peringatan Asyura akan memperbesar solidaritas terhadap kaum tertindas. Kisah Asyura adalah cerita ketertindasan keluarga Husein. Dengan memperingati Asyura, diharapkan akan muncul rasa kebersamaan dan empati terhadap nasib kaum tertindas di seluruh dunia.
Ketiga, Asyura juga diyakini bisa menjadi inspirasi kuat untuk memupuk sejumlah karakter mulia pada jiwa manusia: kesabaran, kemuliaan, harga diri, keksatriaan, keikhlasan, kebebasan, kesetiaan, pengorbanan, dan cinta.
Keempat, Asyura juga diyakini memiliki banyak nilai “keberkahan”. Kaum Syiah, misalnya, percaya bahwa makanan yang dihidangkan dalam majelis peringatan Asyura bisa menyembuhkan penyakit; orang yang menghadiri peringatan Asyura akan mendapatkan kemudahan memperoleh rezeki, dan lain sebagainya. Untuk itu, pada peringatan Asyura, para pengikut Syiah dianjurkan untuk membuatkan makanan dengan niat memperingati Asyura.
Terakhir, yang kelima, peristiwa Asyura juga diyakini sebagai momen penebusan dosa. Orang Syiah percaya bahwa air mata orang yang menangisi kematian Husein akan memadamkan api neraka; orang yang menangisi kisah duka Asyura akan mendapatkan syafaat di hari kiamat nanti. Agar bisa menangis, Syiah kemudian mengembangkan beberapa tradisi “meratap” yang muncul dalam bentuk pembacaan kembali peristiwa Asyura, pembacaan syair-syair duka, hingga ritual memukul-mukul tanda. Sampai pada tingkat yang ekstrem, ada sekelompok kecil orang Syiah yang melukai dirinya sendiri demi mendapatkan suasana duka itu, meskipun perilaku ini dilarang keras oleh semua ulama Syiah.
Demikianlah beberapa fungs sosial teks-teks kisah duka Asyura. Dengan semua keyakinan tersebut (terlepas dari benar atau tidaknya keyakinan kaum Syiah), secara filologis sangat bisa difahami, mengapa teks-teks kisah duka Asyura termasuk di antara yang paling abadi dan tersebar di banyak bentuk karya sastra dengan berbagai versinya.
*) Doktor Filologi, Dosen STFI Sadra