Jalan Ruhani dan Pengetahuan Sejati
Fardiana Fikria Qur’any
Mencari Diri Lewat Pengetahuan
Secara elementer, kita sering menegaskan sisi perbedaan antara kita dengan hewan, yakni sisi akal. Sehingga pengetahuan pada manusia adalah kekhasan dan keunikan yang bersifat fundamental sehingga sekian banyak implikasi berupa kewajiban-kewajiban dibebankan pada manusia.
Umumnya juga pengetahuan diyakini hanya berkisar pada perolehan pengetahuan oleh akal baik melalui observasi ilmiah, maupun juga analisis logis rasional. Kedua model pengetahuan ini dapat dideskripsikan sehingga memungkinkan untuk didiskursuskan. Artinya kedua pengetahuan dapat dieksplorasi dengan bahasa-bahasa yang dapat dimengerti secara publik.
Observasi ilmiah misalnya, mesti menentukan obyeknya yang harus ada secara riil dan empirik. Dan setelah diobservasi dengan peralatan tertentu, dan dalam durasi waktu tertentu, lalu dilakukan analisa dengan mengaitkan satu fenomena dengan fenomena lainnya maka dihasilkanlah suatu kesimpulan. Dan kesimpulan tersebut boleh jadi dibantah jika ada data baru, atau kesalahan dalam sisi analisanya. Hal itu mungkin karena obyeknya bisa oleh siapapun, seperti halnya obyek-obyek sains.
Sementara dalam analisa logis-filosofis, kemampuan abstraksi adalah kuncinya. Dan memang akal manusia dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya makin memiliki daya-daya abstraksi sehingga acapkali dapat menghasilkan teori-teori, postulat-postulat yang bersifat universal.
Dengan menggerakkan nalar filosofisnya, manusia tidak sekedar melihat bahwa suatu fenomena tertentu adalah akibat dari fenomena tertentu lainnya, tapi ia juga dapat memahami bahwa sebab-akibat itu adalah fungsi rasional (praktis) yang disadari sendiri oleh akal (teoritis) sehingga meski realitas material-fenomen tidak menjelaskan apa-apa tapi akal mampu menangkap hukum yang bekerja di dalamnya.
Tapi bagaimana pun, akal hanya menangkap hukum-hukum realitas, tanpa mengerti nilai-nilai instrinsik realitas itu sendiri. Sains mengabarkan pada kita bahwa kecepatan cahaya adalah 299.792.458 meter per detik, atau energi sama dengan massa dikalikan kuadrat kecepatan cahaya (E=MC²). Tapi apa hubungannya cahaya, energi, massa dengan perasaan, hasrat atau hati nurani kita sebagai manusia?
Tentu saja kita dapat berkata bahwa sains adalah fenomena empirik-obyektif sementara jiwa adalah fenomena batin yang tidak mungkin dapat disingkap secara saintifik, yang itu berarti temuan-temuan sains hanya akan bermanfaat pada sisi luar dan praktis kehidupan manusia.
Sehingga sains tak bisa menjawab mengapa jiwa manusia kadang mengalami resah, merasa terasing, merasa kosong? Atau mengapa manusia lebih menyukai kesenangan daripada kesedihan, atau jiwa ini selalu ingin bahagia daripada menderita?
Filsafat berupaya menjelaskan fenomena jiwa ini dengan beragam analisa, yang secara mendasar menyatakan bahwa jiwa adalah potensi atau daya. Dimana dalam konteks ini, jiwa masih dikaitkan dengan materi sebagai perwujudan/aktualisasi jiwa. Maka jiwa dimaknai sejauh nilai aktualitasnya. Sehingga filsafat masih juga berjarah dengan jiwa yang hanya menilai jiwa sejauh melalui data aktualitasnya, bukan jiwa sebagaimana dirinya eksis dalam diri.
Sehingga pengetahuan baik sains maupun filsafat yang cukup banyak menyumbang peradaban manusia masih berjarak dari diri manusia itu sendiri. Yang belum adalah: Manusia memahami manusia melalui dirinya bukan sekedar pengetahuannya. Yakni manusia yang bukan diketahui, tapi manusia yang dialami.
Melihat Diri Lebih Dekat
Khazanah Islam memperkenalkan tradisi irfan (atau tasawuf) sebagai jalan bagi manusia untuk melihat dirinya lebih dekat. Tradisi ini menekankan pada sisi esoterik, atau olah jiwa terdalam manusia. Namun tradisi ini tetap mengawali pengembaraannya dengan pandangan teologis, tepatnya: keyakinan akan Tuhan dan hukum-hukumNya.
Karena obsesi utama dalam tradisi irfan ini adalah upaya meraih pengetahuan langsung dari sumbernya: Tuhan. Sehingga pengetahuan ini bukan bersifat observasional atau dianalisa tapi ia ‘terlimpahkan’ ke sanubari jiwa, sehingga jiwa sedemikian menangkap hakikat-hakikat realitas yang tak bisa tersingkap oleh pikiran biasa.
Karena pengetahuan ini tak lagi terkategori ke dalam dua pengetahuan sebelumnya, maka jalan memperolehnya pun mesti berbeda secara fundamental. Jalan pengetahuan ini adalah lewat olah ruhani (riyâdlah) yang dilakukan atas dasar hub (cinta) atau iradah (kemauan yang kuat), dengan tahapan-tahapan spiritual tertentu (maqâmât) dan pengalaman batin tertentu (ahwâl).
Secara teoritis, puncak pencapaian perjalanan spiritual ini adalah ketika seseorang mengalami kesadaran diri (kasyf) sedemikian rupa sehingga mampu menyaksikan dan memahami realitas diri dan hakekat yang ada sedemikian jelas dan gamblang (musyâhadah). Ini adalah puncak kesadaran dan limpahan pengetahuan yang didapat dari proses panjang suluk ruhani.
Pengetahuan ini terlimpah melalui univikasi eksistensial yang oleh Mehdi Yazdi disebut ‘ilmu huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge), atau jika dalam teori permainan bahasa (language game) Wittgenstein, pengetahuan irfani ini tidak lain adalah bahasa ‘wujud’ itu sendiri
Namun, karena pengetahuan irfani tidak terkategori pada pengetahuan konseptual dengan representasi konsep-konsep di alam mental melainkan ia pengalaman penyatuan hakikat diri yakni sebuah “kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan”, maka tidak semua pengalaman dan pengetahuan yang begitu jelas gamblang tersebut dapat diungkapkan.
Untuk itu, kerap kali para pejalan suluk ruhani (umum dikenal sebagai sufi), mengungkapkan pengalaman ruhaniahnya dengan analogi-analogi yang umum dimengerti. Misal: Hati ibarat Cermin, Eksistensi ibarat Cahaya, termasuk juga menafsirkan ayat-ayat suci dengan pengalaman-pengalaman ruhaniahnya.
Oleh sebab itu, tafsiran-tafsiran sufistik dalam dunia teks keagamaan lebih merupakan pengkayaan dan pendalaman makna batin, bukan sebagai konstruksi hukum. Hal ini lantaran perbedaan sifat di antara nalar hukum yang menuntut rumusan-rumusan dan analisa logis dalam metode instimbat yang cukup diskursif dan memungkinkan terjadinya khilaf, sementara pengetahuan irfan adalah penyingkapan batin seseorang yang bersifat tersembunyi dan subyektif.
Pengetahuan irfan bukan dalil menetapkan sesuatu, namun ia konsepsi mengenai hakikat diri yang hanya dapat dihukumi secara batin pula. Artinya, ia dapat menjadi dalil hukum bukan pada wilayah-wilayah fiqhiyyah—yang sudah mendasarkan diri dalil-dalil syar’i—tapi pada sikap batin dalam menyikapi realitas.
(Fardiana Fikria Qurany)