Kritik Filsafat Islam atas Dialektika Material dan Kelas Sosial
Fardiana Fikria Qur’any
Gerak sejarah manusia tak sekedar suatu peralihan kronologis dari satu masa ke masa yang lain. Meski melalui suatu masa, namun sejarah manusia menunjukkan suatu perubahan yang progresif. Sekali suatu hal ditemukan, maka ia akan menjadi landasan ditemukannya hal-hal lain. Artinya, manusia dalam segenap potensi yang dimilikinya mampu berkembang lebih dari sebelumnya.
Sejumlah filsuf di Barat terutama Hegel, berkeyakinan perubahan dan gerak sejarah manusia hanya mungkin tumbuh di atas satu sistem “dialektika”. Yakni suatu sistem hukum dimana sesuatu tumbuh karena pertentangan, yang secara konseptual dirumuskan dengan kategori “tesis – anti-tesis – sintesis”, yang berarti setiap tesis akan berkembang menjadi tesis baru (sintesis), jika berhadapan dengan yang bertentangan dengan dirinya; anti-tesis.
Dalam Hegel, dialektika bekerja dalam sistem gagasan atau ide-ide. Laiknya suatu gagasan yang akan berhadapan dengan gagasan lain yang bertentangan. Dengan begitu suatu gagasan akan segera mendekonstruksi, merekonstruksi atau mereformulasi diri guna menjawab dan atau keluar dari kritik-kritik oleh anti-tesisnya. Sehingga proses dekonstruksi, rekonstruksi dan reformulai menghasilkan suatu gagasan baru, yang kelak kembali berdialektika.
Dengan perubahan dan perkembangan gagasan yang diandaikan dalam dialektika maka realitas sosial manusia yang senantiasa berupaya mencapai titik kulminatif (kebenaran – Kebaikan tertinggi) dalam kehidupannya terus berjalan. Dalam konteks dialektika, kebenaran-kebaikan selalu dalam proses pencarian. Oleh sebab dialektika berkaitan dengan realitas, ia bersifat ontologis.
Sebenarnya dialektika dalam pandangan Hegel lebih merupakan pergulatan Sang Roh Absolut, yang pada dirinya mengandaikan kontakdiksi. Kontradiksi tersebut barangkali dimungkinkan lantaran kemencakupannya atas segala hal, sebagaimana Tuhan dalam agama-agama yang lazimnya juga mengindikasikan kontradiksi; Penyanyang-Pemberi Adzab, Penunjuk-Penyesat, Ancaman-Kabar Gembira, dan sebagainya.
Dialektika sejarah yang kemudian direkontruksi Marx dengan mengubah haluan dialektika dari idea menuju materi. Marx menolak idea sebagai realitas yang mendahului materi. Baginya justru materilah yang mendahului dan mengkondisikan idea. Sehingga dialektika bersifat material dan konkret. Dalam konteks sejarah manusia, dialektika adalah pertentangan kelas, dimana manusia dalam kehidupan sosialnya terdifferensiasi dalam dua kelas: Pemilik modal dan Buruh.
Pemilik Modal (Borjuis) selalu ada sebagai pihak yang melakukan eksploitasi atas buruh (proletar), sementara itu sebaliknya kaum menjadi pihak yang selalu ingin merebut haknya.
Mengapa kehidupan ekonomi?
Karena kehidupan ekonomi adalah kehidupan yang konkret, dan menjadi dasar yang memungkinkan kehidupan itu sendiri berjalan. Kebutuhan manusia akan materi merupakan suatu hal yang amat alamiah dan karenanya bersifat universal.
Untuk itu, di level basis yang merujuk ke ‘basis ekonomi,’ terutama cara produksi, sementara suprastruktur, terdiri dari dua unsur, yaitu legal-politis (negara dan hukum) serta ideologi. Sementara hubungan basis dengan suprastruktur, sebagaimana analogi bangunan, adalah bahwa basis ekonomi merupakan fondasi bangunannya, sementara dua unsur suprastruktur, yaitu legal-politis dan ideologi, merupakan bangunan atas yang dikondisikan bahkan dideterminasi oleh basis.
Kritik Atas Dialektika dan Materialisme
Pada sisi konsepsi dialektika, nampak ada sesuatu yang mesti diklarifikasi sejak awal, yakni jika diandaikan ada suatu tesis maka ia harus bertemu dengan antitesis agar menghasilkan sintesis. Dalam hal ini, apakah ‘anti-tesis’ dapat disetarakan dengan ‘tesis’? lantaran keduanya berbeda kategori (afirmasi-negasi), karena bagaimana pun negasi tak menjelaskan dirinya, ia hanya ekspresi keberbedaan dirinya dengan yang lain. Seperti bila kita pertentangkan antara duduk dan tidak duduk, jelas keduanya tak bisa dipertentangkan karena ‘tidak duduk’ tak memiliki identitas personal pada dirinya.
Berikutnya, jika tesis – anti-tesis dipahami sebagai pertentangan absolut, maka tiada arti keduanya dipertentangkan untuk menemukan suatu tesis baru, lantaran antara keduanya tak memiliki kesenyawaan sama sekali untuk saling menemukan hal baru.
Oleh sebab itu, kelas sosial (Borjuis-Buruh) dilihat dari perspektif dialektika, maka tidak akan mungkin melahirkan masyarakat baru, karena sepenuhya keduanya dipahami bertentangan secara absolut. Sementara itu, masyarakat tanpa kelas yang diyakini sebagai sintesis antara pertentang borjuis-buruh pun, dalam rezim kerja dialektika mesti berhadapan dengan anti-tesisnya: masyarakat berkelas?
Ayatullah Baqir Sadr dalam Falsafatuna-nya, menolak dialektika dalam konsep ‘kontradiksi internal’. Karena jika kontradiksi internal dimungkinkan secara ontologis, terlebih pada materi, maka sesungguhnya adalah ketiadaan perubahan dan perkembangan itu sendiri. Misal: jika ‘gerak’ berkontradiksi dalam dirinya dengan ‘diam’, maka gerak pun tak bisa disebut gerak karena ia juga diam, begitu pula sebaliknya.
Meski demikian, Islam pun dalam konteks kehidupan sosial tak menafikan adanya kategori kelas, seperti mustakbirin dan mustadh’afin. Namun, pertentangan yang direkomendasikan oleh Islam, tidak mengatasnamakan dirinya sebagai ‘kelas’ tapi lebih pada sisi ketidakadilannya, sehingga bukan bergerak dengan gerakan ‘perjuangan kelas’ namun perjuangan nilai. Karena realitas mustakbirin dan mustadh’afin tidak bersifat absolut secara ontologis, karena ia adalah soal nilai. Lebih jelasnya, tatanan sistem sosial yang memungkinkan munculnya mustakbirin dan mustadh’afin adalah problem nilai, bukan semata kelas sosial yang personifikatif.
Sementara kelas sosial adalah dampak dari suatu tatanan sosial yang timpang, namun ia sendiri bukan realitas dialektis yang dipahami sebagai inheren dalam sejarah.
Namun materialisme historis-dialektis dalam memahami masyarakat juga cenderung simplistis, untuk tidak mengatakan dogmatis. Hal ini berangkat dari sudut pandang melihat bangunan masyarakat. Apakah dengan fakta bahwa kenyataan material manusia adalah sesuatu yang primer secara empirik memiliki makna bahwa yang material adalah nilai yang hakiki sepenuhnya dalam kehidupan?
Apakah karena kita bisa berpikir dan membangun kebudayaan lantaran kita hidup dalam sebentuk tubuh biologis material, menunjukkan bahwa nilai hidup ada pada yang tubuh yang biologis-material?
Oleh sebab itu, kritik utama pada mazhab idelogis-filosofis materialisme-dialektis adalah ciri proses ekstrapolasinya dari yang bersifat empirik menjadi nilai dalam paham rasional dan ideologisnya.
(Fardiana Fikria Qurani)