Seberapa Mampu Kita Mentakwil Al-Quran
Sesuatu dapat dikenali dengan lawannya. Kaidah logika ini tampaknya masih relevan dalam memperjelas makna tafsir melalui lawan dan oposisinya, yaitu takwil. Apakah takwil? Mampukah kita mentakwil ayat Al-Quran? Apa yang diperoleh dari memahami Al-Quran dengan cara mentakwil?
Kata ‘takwil’ secara bahasa berarti ‘kembali’. Oleh karena itu, takwil atau makna batin (non-lahiriah) dari ayat mutasyabih (tidak jelas maknanya) yaitu tempat kembalinya ayat tersebut. Kaitannya dengan Al-Quran, takwil berarti referensi dan sumber utama yang darinya pengetahuan-pengetahuan Al-Quran berasal. Agar masalah ini menjadi jelas perlu kiranya pertama-tama meninjau pandangan para mufassir mengenai pengertian takwil dan perbedaannya dengan tafsir.
Takwil, Makna yang tak Sesuai dengan Lahiriah Ayat
Sejak di muka, perlu juga diketahui bahwa Allamah Thabathaba’i, seorang mufasir ternama di abad mutaakhir, mengutip berbagai pendapat dan menyanggahnya satu per satu. Di sini, di ruang yang ringkas ini, kita hanya akan mengemukakan satu pendapat dan pengertian takwil yang begitu populer dikenal dengan analisis kritis dan dituntaskan dengan pendapat yang, menurut kami, lebih mendekati kebenaran.
Para mufasir menyebutkan sekian banyak pengertian takwil, yang paling populer di antaranya ialah suatu kandungan makna yang tidak sesuai dengan makna lahiriah (literal) suatu kata. Pengertian takwil ini sedemikian populernya di kalangan para ahli di era kontemporer sehingga kata ‘takwil’ itu sendiri, sekalipun pada asal maknanya berarti kembali, akan tetapi ia telah mengandung makna sekunder yang berlainan dengan makna lahiriah kata. Pengertian ini tidak dapat diterima sebagaimana argumen-argumen di bawah ini.
Analisis dan Kritik
Pertama, penggunaan kata takwil dalam pengertian: suatu makna yang tidak sesuai atau bertentangan dengan lahirnya makna suatu kata, merupakan sebuah istilah yang muncul belakangan, yakni setelah turunnya Al-Quran. Dan tidak ada satu argumen pun yang menguatkan bahwa maksud dari kata ‘takwil’ yang terulang dalam Al-Quran sebanyak 16 kali itu mengandung makna tidak sesuai dengan lahiriahnya. Bahkan, jika diamati secara saksama letak-letak penggunaan kata ini dalam Al-Quran, akan tampak bahwa tidak satu pun dari sekian pengertian takwil yang disebutkan para mufassir sepenuhnya benar.
Kedua, jika benar takwil itu diartikan sebagai makna yang tidak sesuai dengan makna lahiriah ayat, maka konsekuensinya ialah dalam Al-Quran terdapat serangkaian makna yang saling berlainan dan bertentangan. Artinya, makna-makna lahiriah sejumlah ayat tidak sesuai, kalau tidak dikatakan bertentangan, dengan makna takwilan tersebut. Karena bertentangan dengan ayat-ayat muhkam (yang jelas dan tegas maknnya), maka makna-makna takwilan suatu ayat akan menyebabkan kekacauan dalam agama dan penyesatan masyarakat. Ujung-ujungnya, pendapat ini mengakui adanya pertentangan di antara satu dan lain ayat dan tidak dapat dituntaskan kecuali dengan menyimpangkan sebagian ayat dari makna lahiriahnya dan mengartikannya dengan sesuatu makna yang tidak dapat dijangkau oleh pemahaman masyarakat pada umumnya.
Jika kita akui pertentangan itu ada dalam Al-Quran, maka argumentasi yang digunakan oleh Al-Quran itu sendiri akan gugur, yaitu firman Allah SWT, “Tidakkah kamu merenungkan Al-Quran?! Seandainya ia dari selain Allah, pasti mereka telah mendapatkan di dalamnya pertentangan yang banyak” (QS. Al-Nisa’ [4]: 82).
Artinya, jika pertentangan di antara dua ayat diselesaikan dengan cara kita mengatakan bahwa satu ayat memiliki makna selain makna literalnya, maka makna tersebut tidak akan diketahui oleh selain Allah. Dengan begitu, ayat tersebut dengan makna seperti ini akan kehilangan validitas (hujjiyyah) sepenuhnya, karena pemaknaan (takwil) seperti ini juga bisa diterapkan pada perkataan orang-orang, bahkan pada perkataan yang nyata-nyata tidak benar (dusta). Kita pun bisa mengatakan bahwa makna lahiriah suatu teks tidaklah dimaksud oleh pencipta teks, bahkan makna yang sesungguhnya dimaksud oleh pencipta teks itu tidak dapat dipahami.
Alhasil, cara di atas untuk mengurai pertentangan antar-ayat tidaklah sesuai dengan makna yang dipahami dari bunyi literal ayat di atas (QS. Al-Nisa’ [4]: 82). Ayat ini, dengan sepenuh kelugasan dan ketegasan dan dengan bahasa menantang lawan, menyatakan bahwa Al-Quran dapat dijangkau oleh pemahaman umum masyarakat, menjadi objek perenungan dan pembahasan. Dalam keseluruhan Al-Quran, tidak akan dijumpai satu ayat dimana maknanya akan bertentangan dan tidak sesuai dengan makna lahiriah yang terungkap dari suatu perkataan orang Arab asli atau menyimpan teka-teki dan kerancuan. Sementara takwil dengan pengertian di atas itu justru telah mengosongkan ayat-ayat dari makna-makna yang sesungguhnya, yakni tidak lagi berarti.
Pada akhirnya, suatu teks (Al-Quran) yang kita yakini suci dari berbagai perubahan dan pendapat yang saling bertentangan, terjaga dari kesalahan dan kelupaan, telah mencapai titik puncak kesempurnaan sehingga tidak akan lagi mengalami penyempurnaan sepanjang garis masa, teks seperti ini tidak dapat kita takwilkan sedemikian rupa lalu kita memaknai bahkan dengan cara-cara yang sama untuk ‘mentakwil’ dan memaknai perkataan bohong dan sia-sia.
Takwil antara Ayat Muhkam dan Ayat Mutasyabih
Takwil yaitu suatu hakikat objektif yang riil dimana keterangan-keterangan Al-Quran, entah berupa hukum, arahan, dan nilai kebijaksanaan, berpijak di atasnya. Hakikat ini terdapat dalam semua ayat-ayat Al-Quran, baik yang bersifat muhkam (jelas maknanya) maupun mutasyabih (
tak jelas maknanya). Adanya makna takwilan suatu ayat tentu saja berbeda dengan makna mutasyabih-nya dan kembalinya ke ayat muhkam. Jadi, takwil tidak khusus ada pada ayat-ayat mutasyabih. Seluruh ayat Al-Quran, baik yang muhkam maupun yang mutasyabih, mengandung takwil. Maka, takwil bukan berupa konsep-konsep dan makna-makna tekstual yang diungkap oleh suatu kata, akan tetapi ia merupakan realitas objektif yang luhur dimana kata-kata tidak mampu meliputnya.
Allah SWT mengungkapkan realitas-realitas objektif yang agung nun luhur itu dalam kerangka kata-kata agar sedapat mungkin dijangkau oleh pemahaman manusia. Kata-kata tak ubahnya dengan perumpamaan yang, dalam rangka menjelaskan dan mendekatkan suatu pesan, dikemukakan sedemikian rupa sehingga setingkat dengan pemahaman semua pembaca.
Allah SWT berfirman, “Demi kitab penjelas itu! Sesungguhnya Kami telah menjadikannya sebagai bacaan berbahasa Arab agar kamu mengerti, adapun ia dalam umm al-kitab di sisi kami sangatlah tinggi dan bijaksana” (QS. Al-Zukhruf [43]: 4).
Bertolak dari ayat ini dan ayat lain, yang secara tersurat ataupun tersirat menjelaskan kandungan tersebut, tampak jelas bahwa Al-Quran memiliki derajat luhur dan bernilai di alam tinggi dan melampaui pemahaman umum masyarakat sehingga, untuk dapat dijangkau oleh pemahaman mereka, Al-Quran diturunkan dalam bentuk sebagaimana yang ada di tangan kita. Realitas tinggi dan berada di atas pemahaman umum masyarakat itulah yang dinamai dengan takwil. Pengertian takwil ini, sekali lagi, berlaku pada keseluruhan Alquran, baik ayat-ayat muhkam ataupun ayat-ayat mutasyabih.