Spiritualisme dan Transformasi Diri
Fardiana Fikria Qurani
Spiritualisme sebagaimana yang telah banyak diulas dalam sejumlah lembar pemikiran keagamaan, merupakan khazanah yang tiada banding. Ia bukan sekedar konsepsi ilmiah, tradisi ilmu, tapi ia sebuah praktik. Karena ia sebagai praktik, maka ia tak sekedar dipelajari tapi dijalani dan dialami. Ia menekankan pada sisi batin dari setiap amal dan ilmu keagamaan. Karena diyakini agama ini berlapis-lapis makna, dan akal tak sepenuhnya menjangkau makna yang kian dalam, dan karenanya, untuk makin dalam menyusurinya, hati adalah kuncinya.
Para pejalan di jalan spiritual ini—yang lazimnya dikenal sebagai kaum sufi—menandaskan dirinya sebagai ahlul haqiqoh, yakni mereka yang senantiasa hidup mengejar hakikat kenyataan. Untuk itu mereka menyebut Tuhan sebagai al Haqq, lantaran Dia adalah hakikat itu sendiri. Sehingga mereka memaknai ‘la ilaha illallah’ tidak sekedar tiada tuhan kecuali Allah, tapi tiada realitas sejati kecuali hanya Allah.
Artinya, jika demikian, apa yang selama ini dianggap ada, terutama alam semesta, tiada lain hanya bayangan, yang selalu terikat dengan hakikat atau subyek yang dibayangkan. Karena banyangan ia tak bernilai pada dirinya, ia bisa ada dan tiada sejauh kehendak yang Ada sejati: Allah.
Maka, mengejar dunia dengan sekuat tenaga, dianggap sebagai kekonyolan belaka, karena kerja keras, keringat dan bahkan tumpahan darah untuknya tak sebanding dengan yang dihasilkannya, yakni dunia yang terbatas, yang olehnya manusia tak akan pernah puas.
Sementara bila segala laku kehidupan diorientasikan untuk yang Sejati, maka kita menginvestasikan diri dalam ketakterbatasan, sumber cinta yang tiada batas, sumber kebahagiaan yang tiada ujung. Bukan saja mendapatkan nikmat, tapi nikmat dan kebahagiaan batin yang tiada ujung, dalam hidup di dunia bahkan kelak di akhirat. Karena bersandar pada ketakterbatasan.
Kebahagian dalam spiritualisme jelas berbeda dengan kenikmatan duniawi. Kebahagiaan spiritual adalah karena tersingkapnya makna hakiki dalam jiwa sehingga batin merasa ridho terhadap segala takdirNya. Kebahagiaan jiwa adalah merasuknya makna-makna ilahiah yang dibutuhan jiwa untuk memastikan nilai eksistensialnya. Karena munculnya problem-problem sentimentil lainnya seperti rasa gamang, galau, terasing, tanpa tujuan atau rasa kehilangan adalah problem pada jiwa yang belum menemukan hakikat makan eksistensial.
Pandangan Dunia Spiritual dan Transformasi Diri
Pada dasarnya, setiap diri manusia memiliki dua karakteristik utama yang memungkinkannya untuk membentuk sikap etik, budaya dan peradaban. yakni Pandangan Dunia dan Ideologi.
Pandangan dunianya bisa berasal dari mana saja, alam, rasio, dan bahkan hati. Jika seseorang hanya mau menerima kebenaran pandangan dunia ilmiah atas alam belaka, maka hal-hal filosofis, teologis dan bahkan spiritual tak akan diyakini bermakna. Sebagaimana keyakinan kaum materialis-positivistik. Dan oleh sebab itu maka mereka pun akan bertindak dalam hidupnya berdasar tata kerangka ilmiah, yang sedang sendirinya menyisihkan moral dalam bangunan kehidupannya. lebih kronis lagi, ia bakal kehilangan nilai utama arti eksistensinya dalam hidup serta tujuan akhir kehidupannya. Karena bagaimanapun, tujuan akhir kehidupan bersifat gaib, tak tak akan pernah dapat distudi secara ilmiah.
Berikut pula bila seseorang hanya menerima rasionalitas pikiran, dan skeptis atas hasil-hasil saintifik, ia bakal kebingungan di dalan kehidupan alamiah ini. Dan di sisi lain bila ia juga menolak kenyataan-kenyataan spiritual maka daya jangkau rasionalnya akan buntu. Sekalipun rasionalitas dapat menggambarkan kehidupan ia hanya bisa menggambarkan, ia tak mengalaminya.
Selain dua pandangan dunia di atas, ada juga pandangan dunia spiritual, yang antara obyek yang disadarinya menyatu padu dengan subyek yang menyadari. Jiwa tersebut memahami dengan gamblang dan intim, dan pasti dengan kemenyatuannya akan makin mengukuhkan keyakinannya.
Maka, dapat dorong psikologis (psycological striking force) begitu menghujam di hati sehingga yang muncul dalam tindak perilakunya hanyalah akhlak-akhlak ilahiyah yang indah, menawan dan sarat akan kepengasihan antar sesama serta jauh dari sikap dholim, sombong dan benci. Karena bagaimana ia bisa membenci dan sombong jika ia melihat setiap diri ada bersama Tuhan yang dicintainya.
Sikap seorang pendaki gunung spiritualitas, tak sekedar berbasis pengetahuan deskriptif, yakni proposisi-proposisi di alam pikirannya. Tapi ia menyaksikan secara hakiki tajalli Tuhan di seantero alam semesta. Bukan sekedar pemahaman akan RahmanNya yang membuatnya bersikap kasih, tapi ia menyaksikan secara langsung bagaimana RahmanNya meliputi segala hal termasuk dirinya.
Bagaimana ia bisa merasa sombong, bila segala kekuatan yang dimilikinya tiada lain adalah kekuatanNya yang dipinjamkan kepadanya untuk sesaat. Ia dapat mengasihi lantaran memakai kasih sayang Tuhan yang diberikan padanya. Bahkan sekalipun ia membenci tetap saja itu adalah sifat Tuhan yang dititipkan padanya. Bukankah segalanya adalah miliknya, yang terbentang secara gradatif, di pangkal keagunganNya adalah cinta dan di ujung terjauhnya adalah kebenciaan, dimana ia adalah posisi cinta yang amat lemah dan nyaris hilang.
Aku yang hilang dan Aku yang Sejati
Karena bagaimana pun secara prinsip keberadaan, Jika Allah adalah eksistensi sejati, maka selainnya hanya akan eksis karenanya, dan itu berarti segala sesuatu yang selainnya mengandung asma dan sifatnya, karena tiada yang lain selainNya, maka yang ada hanya Dia.
Dengan begitu, transformasi diri yang terbangun dalam jiwa pendaki jalan spiritual, berlangsung amat intens, benar-benar mampu membuat jiwanya kukuh dalam ‘diri’ Tuhan. Bahkan saking intensnya, sang jiwa kehilangan kesadaran akan diri dan dunianya, karena yang ia sadari hanya Tuhan. Hingga diapun menyadari diri sebagai Tuhan, (anal Haqq).
Ke-aku-annya lenyap, yang hadir Aku yang baru, Aku yang sejati, Aku sebagai Aku, yang selain Aku adalah tiada. Dan Aku adalah Sang al Haqq.