Alquran dan Tasawuf (Bagian Kedua)
C. Sejarah Kemunculan Tasawuf
Terkait dengan sejarah permulaan kemunculan tasawuf Islam, ada dua pertanyaan yang perlu dijawab: pertama, sejak kapan nama sufi dan ârif itu muncul? Pertanyaan yang kedua, sejak kapan tasawuf Islam dari sisi kandungan dan realitasnya terbentuk?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, mayoritas peneliti tasawuf Islam dari dahulu sampai sekarang itu bersepakat bahwa pada abad pertama hijriah, sebutan sufi tidak muncul dan tidak pernah ada, dan sebutan ini untuk pertama kali disematkan kepada Abu Hasyim Kufi.[1] Beliau hidup pada pertengahan abad kedua hijriah dan tanggal wafatnya tidak jelas. Tetapi karena beliau adalah guru dari Sufyan ats Tsauri (wafat tahun 1600 H), maka menjadi jelas bahwa beliau hidup pada paruh pertama abad kedua.[2] Muthahari berpendapat bahwa nama sufi itu muncul pada paruh pertama abad kedua, dan pendapat Nicholson yang menganggap kemunculan nama ini pada akhir abad kedua adalah tidak benar.[3] Muthahari juga menegaskan bahwa menurut riwayat al-Kafi dalam kitab al Mâ’isyah disebutkan, di zaman Imam ash Shadiq ada sekelompok orang (Sufyan Tsauri dan kelompok lainnya) yang dipanggil dengan nama sufi di zaman itu, yakni paruh pertama abad kedua hijriah.[4]
Salah satu kisah yang dinisbahkan kepada Abu Hasyim Sufi adalah bahwa beliau yang pertama kali membangun Sauma’ah dan Khâniqah, yakni sebuah tempat peribadatan di Ramalah, Palestina untuk ibadah kelompok zâhid dan âbid.[5] Bila memang penukilan sejarah ini benar, maka patut diterima bahwa terbentuknya aliran dan kelompok sufi itu pun terjadi pada paruh abad kedua. Sebab, pembuatan tempat khusus untuk sekelompok orang yang memiliki haluan, pemikiran, dan tindakan khusus itu sangat memiliki makna dan menunjukkan kematangan kelompok ini.
Patut disebutkan bahwa Ibnu Sina dalam kitab Isyarat sama sekali tidak pernah menggunakan kata sufi dan tasawuf. Sebaliknya beliau berulang kali menggunakan kata tasawuf dan ârif, sehingga poin ini menjadi penting bila kita mencermati perjalanan sejarah penggunaan kata ‘irfân.
Adapun jawaban dari pertanyaan kedua, dengan mempertimbangkan dan memerhatikan pembahasan-pembahasan dalam tema asal muasal tasawuf Islam bahwa tasawuf Islam dari sisi kandungan sesuai dengan Islam itu sendiri. Yakni, meskipun nama tasawuf dan ciri khas kelompok ini tidak terbentuk pada abad pertama, tetapi kita tidak dapat mengingkari adanya pemahaman-pemahaman ilmiah dan amaliah (praktik) tasawuf pada abad pertama Hijriah. Sebab, penelitian membuktikan bahwa segala sesuatu yang secara bertahap dicapai dan dikemukakan oleh para sufi di sepanjang sejarah dan masa, dapat ditemukan pada ajaran-ajaran Nabi saw dan ahlul baitnya serta tindakan mereka dan para sahabat mereka. Oleh karena itu, para sufi menamakan abad yang pertama itu dengan sebutan khair al-qurûn.
Puncak pembahasan tasawuf dalam pandangan kaum sufi adalah abad yang pertama. Oleh karena itu, Abu Bakar Muhammad Kalabadzi dalam kitab at-Ta’âruf ketika menyebutkan tokoh-tokoh sufi, beliau menyebutkan nama-nama para imam ahlul bait dari Imam Ali sampai Imam ash Shadiq.[6] Atau Ali bin Usman Hajwiri dalam kitab Kasyf al-Mahjûb dalam salah satu judul yang bertajuk “bab fi dzikri aimmatihim min ahli al-bait” beliau meletakkan satu bab tersendiri dan memberi penjelasan ringkas dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan para imam yang lain sampai Imam ash Shadiq.[7]
Di antara para sahabat Nabi saw, terdapat sahabat-sahabat Ashâb Suffah, yakni sahabat-sahabat seperti Abu Dzar dan Salman yang mereka semua mendapatkan perhatian kaum sufi dan tindakan mereka menjadi teladan bagi kaum sufi.
Ali bin Utsman Hajwiri dalam kitab Kasyfal-Mahjûb mengatakan, “Ibnu Abbas menukil riwayat dari Nabi saw yang mengatakan, ‘Rasulullah menemui Ashhab as Suffah dan waktu beliau melihat kefakiran dan usaha keras mereka di bidang penghambaan kepada Allah dan kesucian hati mereka, beliau bersabda, “Aku sampaikan berita gembira kepada kalian wahai Ashhâb as Suffah bahwa siapa pun dari umatku yang memiliki sifat seperti yang kalian miliki dan rida atas apa yang ada dalam dirinya, maka dia termasuk dari sahabatku di surga.”[8]
Sabda Nabi saw tersebut memotivasi dan mendorong kaum Muslim untuk menjadikan kehidupan dan gaya hidup sufistik Ashhâb as-Suffah sebagai teladan. Di samping pribadi Rasul saw dan para imam Ahlulbait serta sebagian sahabat, sekelompok dari tabi’in dan sahabat para imam ahlul bait pun mendapat perhatian kaum sufi. Unsur-unsur pembahasan tasawuf, seperti makrifat, zuhud, dan praktik tasawuf itu sangat populer di kalangan mereka. Di antara mereka terdapat nama Kumail bin Ziyad Nakha’i dan Uwais al Qarani, di mana banyak dari kelompok sufi mengambil ajarannya dari jalur dua orang ini atau Hasan Bashri yang silsilah sufistiknya bermuara kepada Imam Ali bin Abi Thalib, dan beliau adalah tokoh yang diteladaninya.
[1] Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy (terbitan Intisyarat Shadra 1429 H), hal. 99.
[2] Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy, hal. 99. Ayatullah Jawadi, Hamâsah wa ‘Irfân, Qom: Isra, 1383 H, hal. 67,
[3] Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy, hal. 100.
[4] Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy, hal. 100. Muhammad Shalihi Andimisyki, ‘‘Isyq dar Kalâm Syahid Muthahari, Qom: Nubugh cetakan pertama, 1381 H, hal.115.
[5] Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy, hal. 99. Majmû’ah Ătsâr, Qom: Intisyarat Shadra cetakan ke-27, 1423 H, hal. 330. Murtadha Muthahari, Memahami Pelajaran Tematis Alquran (Buku Pertama), diterjemahkan oleh Muhammad Jawad Bafagih, Jakarta: Sadra Press, 2013 M, hal. 34.
[6]Ali Amini Nejad, Osynoi Bo Majmu’eh tasawufIslamiy, hal. 105.
[7] Ali Amini Nejad, Osynoi Bo Majmu’eh tasawufIslamiy, hal. 105-106.
[8] Ali Amini Nejad, Osynoi Bo Majmu’eh tasawufIslamiy, hal. 106.