Bahaya Tafsir bi Al-Ra’yi
Tafsir bi Al-Ra’yi, yakni menafsirkan Al-Quran berdasarkan pandangan sendiri, merupakan salah satu hal yang paling menguatirkan dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran. Dalam banyak hadis, Tafsir bi Al-Ra’yi digolongkan sebagai salah satu dosa besar (kabirah), sedangkan pelakunya terusir dari rahmat Allah SWT.
Misalnya, dalam sebuah hadis qudsi disebutkan bahwa Allah SWT berfirman, “Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang menafsirkan ucapan-Ku dengan pendapatnya sendiri. (Wasa’il Al-Syi’ah, jld. 28, hlm. 18, hadis no. 22).
Ancaman ini amat jelas, karena seorang muslim yang baik tidak akan menafsirkan firman Allah semau hatinya.
Dalam hadis lain yang banyak dimuat dalam kitab-kitab utama hadis seperti: Shahih Al-Turmudzi, Shahih Al-Nasa’i, Musnad Abu Daud dan sebagainya, disebutkan, “Barangsiapa mengatakan sesuatu pada Al-Quran dengan pendapatnya sendiri atau dengan sesuatu yang ia tidak ketahui, maka tempatnya adalah neraka” (Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, hlm. 304).
Adapun yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’yi atau menafsirkan al-Quran dengan pandangannya sendiri lalah menafsirkan Al-Quran semaunya: sesuai kepentingan dirinya atau kepentingan kelompoknya, tanpa disertai arahan rasional, arahan literal, atau bukti yang menyertai makna ayat itu. Penafsir seperti ini pada dasarnya tidak mengikuti Al-Quran, tapi bermaksud agar Al-Quran mengikuti kemauannya. Dan tentu saja, orang yang memiliki iman yang utuh pada al-Quran tidak akan melakukan hal seperti ini.
Selain itu, jika pintu tafsir bi al-ra’yi ini dibuka, maka Al-Quran akan kehilangan esensinya, sebab setiap orang akan menafsirkannya semau hatinya dan menerapkan Al-Quran pada berbagai aqidah dana kepercayaan yang menyimpang.
Dengan demikian, tafsir bi al-ra’yi ialah penafsiran yang menyimpang dari kaidah bahasa, sastra, dan pemahaman penutur asli bahasa, serta menerapkan Al-Quran atas pandangan-pandangan sesat, kemauan-kemauan pribadi dan kelompok. Cara-cara ini dapat mengakibatkan penyimpangan makna Al-Quran.
Masih terdapat beberapa bentuk tafsir bi al-ra’yi. Salah satunya ialah memilih ayat-ayat yang mendukung pendapat dan pandangannya saja. Misalnya, ketika seseorang menjelaskan masalah syafaat, tauhid, imamah, dan sebagainya, ia hanya memilih ayat-ayat terkait yang menguatkan pandangannya saja dan meninggalkan ayat-ayat lain yang tidak sesuai dengan pandangannya yang justeru dapat berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat lain.
Singkat kata, jumud atau berpikir beku ayat-ayat Al-Quran dan mengabaikan arahan rasional (qarinah aqliyah) dan arahan literal (naqliyah naqliyah) yang benar dan pasti merupakan bagian dari penyimpangan dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran. Demikian pula tafsir bi al-ra’yi. Keduanya membuat kita jauh dan ajaran dan nilai-nilai Al-Quran yang amat tinggi.
Fungsi Hadis dalam Al-Quran
Salah satu cara memperoleh arahan rasional atau arahan literal dari luar Al-Quran ialah hadis-hadis Nabi dan riwayat Ahlul Bait a.s. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat mengatakan, “Kafana kitab Allah”, cukup bagi kami Al-Quran saja, lalu bersikap masa bodoh kepada hadis Nabi SAW yang merupakan penafsir kebenaran-kebenaran Al-Quran, menjelaskan ayat-ayat nasikh dan mansukh, ayat-ayat khusus dan umum, serta menerangkan pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, karena ayat-ayat Al-Quran sendiri menjadikan sunnah Nabi SAW dan sirah beliau sebagai hujjah bagi Muslimin dan sumber utama untuk memahami agama dan menyimpulkan hukum.
“Dan apa yang dibawa oleh Rasul kepadamu terimalah, dan apa yang dicegahnya jauhilah” (QS. Al-Hasyr: 7).
“Tidak ada hak bagi seorang mukmin, laki maupun perempuan, jika Allah dan rasul-Nya memutuskan suatu perkara mengambil pilihan lain dari urusan mereka. Maka barangsiapa menentang Allah dan rasul-Nya sungguh telah sesat sesesat-sesatnya” (QS. Al-Ahzab: 36).
Jadi, orang yang tidak peduli pada sunnah Nabi SAW sesungguhnya telah memalingkan diri dari Al-Quran.Tentu saja, sunnah harus diperoleh dari jalur-jalur yang benar dan muktabar, karena tidak semua yang dinukil dari Nabi SAW adalah betul-betul datang dari beliau, karena banyak yang berbohong atas nama Nabi SAW.
Dalam sebuah hadis masyhur yang diriwayatkan oleh semua mazhab Islam, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya aku tinggalkan dua perkara yang sangat besar; selama kalian berpegang teguh pada kedua tidak akan sesat selama-lama, yaitu kitab Allah dan keluargaku – Ahlul Baitku.”
Nabi SAW memang mengetahui masa depan umatnya dan problema-problema yang akan menghadang mereka. Karena itu, ia memberikan jalan keluar kepada mereka, yaitu mengikuti Al-Quran dan imam-imam Ahlul Bait a.s. Dengan demikian, sudah bukan pada tempatnya mengacuhkan hadis penting ini.
Karena itu, jika persoalan ini mendapat perhatian lebih besar, maka sebagian problema yang dihadapi kaum Muslimin dewasa ini, yakni dalam masalah aqidah, tafsir, dan fiqh tidak akan pernah muncul.