Belajar Memanusiakan Manusia
Dunia sedang mengalami krisis kemanusiaan terhebat sejak berakhirnya perang dunia kedua. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan saat ini dunia tengah menghadapi bencana krisis kemanusiaan terbesar sejak tahun 1945.[1] Setidaknya saat ini Badan Anak PBB, UNICEF mengatakan, ada 1,4 juta anak di bawah umur yang menghadapi resiko kematian atas bencana ini.Menurut Stephen O’Brein, Sekretaris Jenderal Bidang Kemanusiaan PBB, kini 20 juta orang di empat negara mengalami kemiskinan dan kelaparan. Stephen O’Brein mengemukakan bahwa tanpa koordinasi dan kerjasama masyarakat dunia, “banyak orang semakin rentan mengalami kelaparan, kemudian mati. Selain itu, banyak orang akan menderita dan mati karena berbagai macam penyakit.” O’Brein mengharapkan adanya bantuan kepada empat negara yang sedang menderita. Yaitu Yaman, Sudan, Somalia, dan Nigeria. PBB dan organisasi pangan dunia menyebutkan bahwa kelaparan menerpa 30% anak-anak di bawah umur 5 tahun. Kelaparan dan gizi buruk menjadi penyebab dua atau lebih dari 10.000 kematian manusia setiap harinya. Menurut O’Brein, krisis kemanusiaan terbesar terjadi di Yaman, di mana sekitar 18,8 juta orang membutuhkan pertolongan dan lebih dari 7 juta orang kelaparan dan tidak tahu dari mana mereka akan mendapatkan makanan setiap harinya.[2]Badan urusan pengungsi dunia UNHCR melaporkan catatan tertinggi perpindahan manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya: 65.300.000 orang di seluruh dunia telah diusir dari rumah mereka, dan hampir 21,3 juta dari mereka menjadi pengungsi, dan lebih dari setengah dari mereka di bawah usia 18 tahun. Ada juga 10 juta orang tanpa kewarganegaraan yang telah ditolak kewarganegaraan mereka sehingga mereka tidak memilik akses ke hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan kebebasan bergerak. Hampir 34.000 orang di dunia yang secara paksa ditelantarkan setiap hari sebagai akibat dari konflik atau kekejaman.[3]Krisis kemanusiaan di atas sebagian besar dipicu oleh peperangan. Dan peperangan adalah bukti konkrit tidak memanusiakan manusia, apalagi bila korbannya banyak rakyak sipil.
Setiap agama dengan pemahamannya masing-masing pasti memuliakan manusia. Hanya saja cara dan praktiknya yang berbeda-beda. Islam sebagaimana agama samawi pun meletakkan penghormatan kepada manusia sebagai asas ajarannya. Sehingga asas “takrim insan” (penghormatan kepada manusia) menjadi dasar pengambil keputusan ajaran Islam. Bahkan ibadah shalat yang merupakan ibadah yang istiwewa pun dapat diputus dan dibatalkan bila memang ada jiwa yang terancam.[4] Ada juga riwayat yang memberitakan bahwa Nabi saw memperpendek shalatnya karena mendengar tangisan anak kecil. Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kepada Mu’adz (sahabat yang sering menjadi imam jamaah) untuk memperpendek shalat jamaah karena di antara jamaah shalat ada anak kecil, orang-orang lanjut usia dan orang-orang yang mempunyai hajat.[5]
Manusia dalam Al-Qur’an memiliki karâmah dzâtiyyah (kemulian inheren yang bersifat universal) yang membedakannya dengan seluruh makhluk sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Isrâ/17:70) sebagai berikut,وَ لَقَدْ كَرَّمْنا بَني آدَمَ… Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam… Karâmah dzâtiyyah yang ditegaskan dalam ayat tersebut terkait dengan semua manusia dan dimiliki oleh setiap manusia tanpa terkecuali. Dan Karâmah kedua adalah karâmah iktisâbiyyah (kemulian yang dicari/diupayakan) yang tidak dimiliki oleh semua manusia namun hanya dimiliki kaum khawas yang berhasil meraih maqam karâmah.
Penjelasan di atas memberikan pesan bahwa Islam adalah ajaran yang memanusiakan manusia. Seluruh hukum Islam tidak ada yang tidak menghormati hak asasi manusia. Adanya sebagian kalangan yang menilai bahwa hukum Islam tidak manusiawi dan bahkan melanggar hak asasi manusia (HAM) adalah karena salah penafsiran dan kedangkalan memahami Al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar utama hukum Islam.
Ya, kita harus belajar memanusiakan manusia dalam seluruh aspek kehidupan kita: aspek sosial, politik dan agama. Bila aspek sosial kita tidak memanusiakan manusia maka tawuran, kejahatan kemanusiaan dan pelbagai instabilitas sosial akan terjadi dan menjadi tontonan harian kita. Bila politik kita tidak memanusiakan manusia maka hoaks dan pembunuhan karakter lawan politik dan kegaduhan politik akan menjadi “santapan biasa”. Dan bila agama kita tidak memanusiakan manusia maka mungkin saja kita dapati orang-orang yang sangat religius (ahli shalat dan puasa, misalnya) tapi tega berbuat aniaya kepada orang lain.Bukankah Nabi saw pernah mengingatkan kita supaya kita jangan semata mengukur keislaman dan keimanan seseorang hanya dengan banyaknya shalat dan puasa dan beliau justru menyuruh kita menguji keislaman seseorang dengan kejujuran berbicara dan bertindak serta menunaikan amanat. Dengan kata lain, cara gampang mengukur kebaikan keislaman seseorang adalah dengan cara bahwa kalau orang tersebut kita titipi uang tidak berkurang dan kalau kita titipi omongan tidak bertambah.
Jadi, memanusiakan manusia harus menjadi pola pikir dan pola sikap kita. Memanusiakan manusia harus menjadi dasar pendidikan dan pembelajaran kita. Kita tidak boleh menggunakan pendekatan kekerasan dan fisik dalam kegiatan belajar-mengajar. Dan memanusiakan manusia harus menjadi dasar pendidikan keluarga kita. Rumah dan keluarga kita harus “steril” dari penggunaan kata-kata sarkasme (seperti bodoh, kunyuk dan pelbagai nama binatang lainnya) karena ini tidak memanusiakan manusia,apalagi kalo terjadi kekerasan dalam rumahtangga alias KDRT, sama sekali tidak dibenarkan.
[1]“PBB: Dunia Hadapi Krisis Kemanusiaan Terbesar,” dalam http://internasional.republika.co.id. Diakses pada 15 Mei 2017.
[2]“Dunia Sedang Menghadapi Krisis Kemanusiaan Terbesar Pasca Perang dunia II”, dalam http://www.pikiran-rakyat.com/luar-negeri. Diakses pada 17 Mei 2017.
[3]“Figures-at-a-glance”, dalam http://www.unhcr.org/.html. Diakses pada 19 Mei 2017.
[4] Pada situasi genting atau situasi darurat tertentu shalat atau ibadah lainnya boleh bahkan wajib dibatalkan atau dihentikan seperti situasi di mana seseorang berteriak meminta pertolongan atau mengetahui seseorang tengah mengalami kecelakaan tenggelam di air, dan situasi darurat lainnya.
قد يجب قطع الصلاة لضرورة، وقد يباح لعذر. أما ما يجب قطع الصلاة له لضرورة فهو ما يأتي: تقطع الصلاة ولو فرضاً باستغاثة شخص ملهوف، ولو لم يستغث بالمصلي بعينه، كما لو شاهد إنساناً وقع في الماء، أو صال عليه حيوان، أو اعتدى عليه ظالم، وهو قادر على إغاثته
Artinya, “Shalat sekali waktu wajib dihentikan atau dibatalkan dan terkadang boleh dibatalkan karena sebuah alasan. Adapun alasan yang mewajibkan penghentian shalat karena darurat adalah sebagai berikut, yaitu pembatalan shalat wajib sekalipun karena menyelematkan orang yang minta tolong sekalipun permintaan tolong itu tidak ditujukan secara khusus untuk orang yang sedang shalat contohnya orang shalat yang menyaksikan orang lain terjatuh ke dalam air dalam, atau seseorang yang sedangkan diserang oleh binatang tertentu, atau seseorang yang sedang dianiaya oleh orang zalim, sementara orang yang sedang shalat itu mampu menolongnya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H], juz II, halaman 37). Sumber: http://www.nu.or.id/post/read/94232/hukum-pembatalan-shalat-untuk-penyelamatan-diri-dari-bencana
[5] فأيكم أم الناس فليخفف (siapapun dari kalian yang menjadi imam bagi manusia maka hendaklah ia memperpendek shalatnya.Demikian bunya hadis nabawi.