Hoaks Antara Aksi dan Reaksi
Gelombang Hoaks
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Hoaks mengandung makna berita bohong, berita tidak bersumber sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, tetapi “dijual” sebagai kebenaran.
Istilah Hoax menjadi viral di Indonesia seiring dengan laju perkembangan teknologi informasi yang nyaris tak terbendung. Lemahnya undang-undang IT, yang terpikirkan setelah arus teknologi informasi ‘terlanjur terlalu’ pesat, menyebabkan penyebar hoax dengan leluasa menebarkan kekhawatiran, ketakutan bahkan janji-janji menjerumuskan tanpa takut akan resiko hukum yang memang belum pasti.
Belum lagi banyak pihak yang merasa diuntungkan dengan kondisi ini, dimana cepatnya tekhnologi informasi sangat berguna dalam memotong budget operasional secara signifikan bahkan nyaris tanpa modal.
Seorang artis, misalnya, dalam keterpurukan karirnya, ia berusaha mengangkat namanya dengan mendesign sebuah sketsa drama sedih dimana dia memposisikan diri sebagai pihak yang terzalimi, meski pada kenyataannya, dialah tokoh sentral antagonisnya. Semua dilakukan hanya bermodalkan HP dan kemampuan aktingnya yang pas-pasan.
Seorang politikus yang dengan entengnya berusaha menjatuhkan rival politiknya dengan menebarkan berita palsu. Dan seperti gayung bersambut, sang lawan juga membalas dengan trik yang sama karena dianggap jitu dan tidak memerlukan budget yang besar. Karenanya Werme (2016), mendefiniskan Fake news sebagai berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu.[1]
Bahkan hoaks ini banyak dimanfaatkan oleh pengusaha curang sebagai strategi marketingnya, lihatlah iklan-iklan produk palsu yang menyampah di media sosial di sekitar kita.
Yang terakhir dan teraktual adalah berita kasus merebaknya virus yang sebenarnya tidak baru yang dikenal dengan CORONA. Virus ini adalah virus berbahaya dan harus ditangani dengan serius. Hanya saja informasi yang tidak bertanggungjawab telah menciptakan kepanikan massal yang seharusnya tidak terjadi. Masyarakat yang tidak memiliki basik informasi kesehatan yang memadai segera dihinggapi ketakutan yang tak beralasan atau dikenal dengan phobia yang menjadikannya mengambil langkah tidak logis.
Hoaks dalam Al Quran
Sebenarnya hoaks dengan pengertian diatas bukanlah sesuatu yang baru. Istilah tersebut terbarukan karena adanya perubahan percepatan ekstrem informasi dunia maya yang menjadi fasilitas ampuh dalam penyebarannya. Mari kita pelajari bagaimana Al Quran sudah mewaspadai munculnya gejala destruktif ini dan memberikan instruksi pencegahan agar terhindar dari bencana ini.
Dalam Al Quran, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
‘Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepada kalian dengan sebuah berita, maka telitilah, agar kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum karena kebodohan hingga kalian menyesal atas perbuatan kalian (Q.S. Al Hujurat: 6)
Beberapa hal mendasar disampaikan dalam ayat ini:
- Pesan kewaspadaan terhadap hoaks ditujukan kepada orang-orang yang beriman, ‘Wahai orang-orang yang beriman… sehingga menjadi ilustrasi betapa hoaks ini sangat berbahaya dan mampu merobohkan bangunan keimanan. Artinya hoaks tidak pandang bulu dan kasta. Ia akan menyerang siapapun yang lemah dan siap dilemahkan.
- Pembawa berita yang fasik. Jika kita kumpulkan berbagai definisi fasik maka kita akan temukan satu titik temu bahwa yang dimaksud adalah orang yang majhul dan kita tidak memiliki informasi tentangnya. Fasik berbeda dengan munafik atau kafir. Kita tahu orang munafik karena melihat hasil perbuatannya dan kita tahu kafir dari penolakan lahiriahnya. Tapi fasik lebih konstan dan kabur karena tidak bisa disebut kafir dan bukan munafik karena ia tidak menyembunyikan sesuatu. Fasik lebih cenderung diartikan orang yang tidak peduli terhadap haq dan batil.
- Kaidah jangan lihat siapa bicara tapi lihat isi pembicaraan tidak berlaku bagi seorang fasik karena saat itu potensi dan indikasi ke arah kerusakan terlampau besar dan pasti.
- Husnu Dhan (berbaik sangka) tidak berlaku jika resikonya adalah musibah, apalagi berskala massal. Dalam hal ini, kita hanya melakukan antisipasi musibah, itulah makna dari fatabayyanuu (maka telitilah!)
- Hoaks yang dihembuskan satu orang akan menyebar menjadi virus yang mengguncang masyarakat umum. Semua itu diakibatkan kebodohan (baca: ketidakpedulian) kita dalam analisa dan klarifikasi berita, terutama ketika satu berita menguntungkan kita. Manusia sebagai makhluk pengejar kesempurnaan secara tidak sengaja suka ketika orang lain berada di bawah posisinya. Coba kita renungkan, bukankah kita selalu merasa bahagia saat mendengar berita tentang keburukan orang dengan komentar MEMANG dan saat mendengar kebaikannya kita berkomentar dengan APA IYA?.
- Penyesalan adalah kata yang paling tepat untuk mengilustrasikan betapa yang kita telah lakukan adalah kesalahan akibat kebodohan, dan kebodohan terbesar adalah saat kita menelan mentah-mentah informasi dari seorang fasik dan menyebarkannya tanpa investigasi.
Hoaks, antara Kebodohan dan pembodohan
Setiap peristiwa yang terjadi selalu melibatkan dua faktor : fa’iliyah dan qabiliyah. Apakah yang dimaksud dengan dua faktor itu?
Untuk lebih jelasnya kita ambil sebuah contoh peristiwa yaitu kertas yang terbakar. Dimana peristiwa terbakarnya kertas bukan hanya disebabkan oleh adanya api yang menjilat kertas namun juga karena kertas yang berada dalam kondisi kering. Meskipun ada api, peristiwa terbakarnya kertas tidak akan terjadi jika kertas dalam keadaan basah kuyup.
Api kita sebut sebagai fa’iliyah (pemberi aksi) dan kertas yang kering kita sebut qabiliyah (potensi penerima aksi)
Demikian juga topik pembicaraan kita, hoaks tersebar dengan cepat karena ada aksi pembodohan publik sebagai fa’iliyah dan kebodohan publik sebagai qabiliyah. Jika kedua faktor terpenuhi maka tinggal menunggu waktu tak lama hingga sebuah kebohongan menjadi viral dan berubah menjadi kebenaran, fake menjadi fact!
Masyarakat lebih mudah tertipu karena budaya tabayyun tidak pernah ditumbuhkan. Memang secerdas apapun sebuah masyarakat tidak berarti ia bebas dari serangan hoaks ini karena pembicaraan kita bukan tentang hilangnya hoaks, karena hal itu mustahil dilakukan, namun lebih kepada bagaimana menghadapinya.
Bukankah jika terjadi penipuan maka kita harus melihat apakah hal itu terjadi karena kepiawaian si penipu atau kebodohan si korban?.
Ingat, bahwa Al Quran memang telah menyebutkan : ‘Jangan menzalimi tapi jangan sampai dizalimi’!. Permasalahannya adalah kemazluman yang menimpa kita, apakah memang murni karena kekuatan zalim atau karena kesiapan kita untuk dizalimi?
Benarkah kita korban perbuatan orang lain ataukah kita korban dari kebodohan kita sendiri? Wallahu A`lam.
[1] Ireton, C & Julie Posetti. 2018. Jurnalism, ‘Fake News’ & Disinformation: Handbook for Jurnalism Education and Training.
By Ustadz Rahmat Hidayat