Karbala di Mata Aisyah Bintus Syathi’
Di tengah pro kontra peringatan hari Asyura atau peringatan wafatnya Sayyidina Husein r.a, ada baiknya sejenak kita mengenang sosok wanita bernama Aisyah binti Syekh Muhammad Ali Abdurrahman atau yang dikenal dengan julukan Bintus-Syathi’.
Mengapa perlu mengenal sosoknya?
Alasan pertama, karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah wanita Muslimah, sebagaimana Bintus Syathi’ adalah seorang Muslimah yang patut menjadi teladan.
Jika mau disebut mazhabnya, maka alasan kedua adalah Bintus Syathi’ bermazhab Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana mazhab kebanyakan yang dianut di Indonesia.
Alasan ketiga adalah beliau seorang hafizhah Al-Qur’an sejak usia tujuh tahun. Bukankah masyarakat Indonesia gemar dengan ajang tahfizhul Qur’an di berbagai televisi saat Ramadhan?
Bintus Syathi’ adalah seorang wanita pertama yang kuliah di Al-Azhar sekaligus penulis wanita pertama di koran Mesir ternama, Al-Ahram. Beliau wanita Arab pertama yang meraih penghargaan dari Raja Faisal pada masanya (1994) di bidang kesusastraan dan kajian Islam.
Wanita kelahiran 1913 ini berasal dari keluarga Kiai ulama Al-Azhar, Mesir, baik dari sisi ayah maupun ibu. Tradisi dalam keluarganya tidak memperbolehkan seorang wanita bersekolah di luar rumah. Sehingga keluarganya mendatangkan guru ke rumahnya.
Singkatnya, dosen penguji untuk meraih gelar doktornya adalah Syekh Thaha Husein, pada 1950.
Dari sekian banyak tulisan dan buku yang ditulis oleh Bintus Syathi’ adalah buku berjudul Tarajim Sayyidat Bayt An-Nubuwwah (Biografi Wanita-wanita Penghuni Rumah Nabi).
Salah satu bab dalam buku ini (Bathalah Karbala’ atau Pahlawan Wanita Karbala) mengisahkan epos Sayidah Zainab putri Ali bin Abi Thalib r.a. Dialah adik kandung Sayidina Hasan dan Sayidina Husein r.a. atau dengan kata lain, ibunya adalah Fathimah putri Nabi Muhammad saw.
Dr. Aisyah binti Syekh Muhammad Ali Abdurrahman begitu terinspirasi dengan sosok cucu Rasulullah saw ini. Menurutnya, peristiwa Karbala dan percakapan antara Sayidah Zainab dan saudaranya, Sayidina Husein dalam peristiwa penuh pesan penting yang mendalam.
Sebut saja misalnya, bagaimana Bintus Syathi’ menggambarkan keberanian dan ketegaran Sayidah Zainab yang mengalami pembantaian keluarga Nabi di hadapan matanya. Meski anak-anaknya, keponakan-keponakannya, dan Sayidina Husein, kakaknya terbunuh, lalu kepala-kepala mereka ditancapkan di atas tombak-tombak di hadapannya, Sayidah Zainab tetap tegar dalam menghadapi ancaman, kecaman dan kebengisan pasukan musuh.
Bintus Syathi’ di dalam buku Sayyidat Bayt An-Nubuwwah juga mengisahkan keberanian Sayidah Zainab di hadapan Umar bin Sa’ad, panglima pasukan Yazid bin Mu’awiyah.
Setelah syahidnya Sayidina Husein, maka pria yang tersisa dari keluarga Nabi hanya Ali Zainal Abidin yang sedang sakit sehingga tidak bisa ikut berperang.
Umar bin Sa’ad terkejut bahwa masih ada pria yang belum terbunuh. Dia berada di dalam kemah dalam keadaan sakit. Hampir saja Umar bin Sa’ad memenggal kepalanya. Namun dengan keberanian Sayidah Zainab dalam mempertahankan penerus keluarga Nabi, dia tampil bak singa di medan laga. “Bunuh saja aku kalau engkau berani!,” sergah sang putri Ali bin Abi Thalib r.a.
Bintus Syathi’, penulis tafsir Bayani Al-Qur’an dan lebih dari empat puluh buku di bidang fikih, sastra dan sejarah lainnya ini menggambarkan sosok Sayidah Zainab sebagai wanita berhati lembut bak Fathimah dan ‘alim lagi takwa bak Ali bin Abi Thalib r.a.
Menurut Dr. Aisyah, kepahlawanan Sayidah Zainab ini mencuat justru setelah tragedi Karbala. Dia mengalami derita bertubi-tubi.
Dia mengalami saat datuknya, Rasulullah saw wafat. Begitu pula saat ibunya, Fathimah, wafat. Lalu tragedi yang dialami ayahnya, Ali bin Abi Thalib r.a dan kakaknya, Sayidina Hasan bin Ali. Puncaknya adalah tragedi Karbala, dengan syahidnya kakak tercintanya, Sayidina Husein bin Ali, anak-anaknya, dan keponakan-keponakannya.
Tidak cukup sampai di situ. Drama ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi ujian belum selesai. Sayidah Zainab harus memimpin janda-janda dan anak-anak yatim yang tersisa, termasuk di dalamnya Ali Zainal Abidin, yang menjadi tawanan perang dan diarak dengan berjalan kaki ribuan mil menuju Kufah (Irak) dan setelah itu menuju Damaskus (Suriah).
Sayidah Zainab menjadi srikandi Karbala yang tetap tenang dan tegar di tengah musibah yang telah menimpanya. Dia tampil berpidato dengan lantang di hadapan Ubaidullah bin Ziyad gubernuh Kufah.
Ubaidullah berkata kepada Zainab, “Segala puji bagi Allah yang menghinakan kalian, membunuh kalian dan mendustakan kisah-kisah indah kalian.”
Zainab menjawab dengan tatapan tajam, “Segala puji bagi Allah yang memuliakan kami dengan Nabi dan keluarganya, yang mensucikan kami dari kotoran sesuci-sucinya (lihat QS. 33: 33). Allah hanyalah menghinakan orang fasik dan mendustakan orang durjana dan kami tidaklah termasuk dari mereka. Segala puji hanya bagi Allah.”
Tidak lama berselang, Ubaidullah melihat ada seorang pemuda dan bertanya kepadanya, “Siapa kamu?” Sang pemuda menjawab, “Aku Ali putra Husein.”
“Bukankah Ali putra Husein telah terbunuh?,” jawab Ubaidullah. Sang pemuda diam saja…
“Mengapa engkau tidak menjawab?” sergah Ubaidullah penasaran.
Ali Zainal Abidin menjawab, “Aku mempunyai saudara bernama Ali juga dan dibunuh orang-orang.”
Ubaidullah bin Ziyad menyanggahnya, “Sesungguhnya Allah yang telah membunuhnya.”
Sang pemuda diam saja hingga Ubaidullah memaksanya untuk menjawab. Maka Ali Zainal Abidin menjawabnya, “Allah mewafatkan jiwa ketika matinya. (QS. 39: 42) Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah. (QS. 3: 145)”
Ubaidullah segera memerintahkan algojo untuk membunuhnya. Namun, untuk kedua kalinya, Sayidah Zainab tampil membelanya. “Wahai Ibn Ziyad, cukup! Belumkah kau puas atas darah-darah kami yang kau tumpahkan? Tidakkah engkau menyisakan seorang pria dari kami?”
Alih-alih membunuhnya, Ubaidullah memerintahkan untuk merantai kaki dan punggung Ali Zainal Abidin. Lalu karavan tawanan anak-anak yatim, dan wanita-wanita keluarga Nabi diarak berjalan kaki menuju Damaskus beserta kepala Sayidina Husein, kepala tujuh puluh keluarga dan sahabatnya.
Bintus Syathi’, Dr. Aisyah Abdurrahman melukiskan keteguhan Sayidah Zainab dalam bukunya hingga percakapannya dengan Yazid bin Muawiyah yang lagi-lagi menghina keluarga Nabi saw.
Kepiawaian Sayidah Zainab merangkai kata-kata dari kedalaman ilmu yang diperoleh dari pintu ilmu, Ali bin Abi Thalib. Ketajamannya menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an telah meruntuhkan argumentasi Yazid bin Muawiyah yang mempermainkan tafsir Al-Qur’an sesuai nafsunya.
Seandainya masyarakat Indonesia mau mempelajari sedikit saja penggalan kisah Karbala sebagaimana yang dilakukan oleh hafizhah Al-Qur’an, Bintus Syathi’ ini, niscaya Sayidah Zainab akan membangkitkan gelora wanita Muslimah di negeri ini.
Satu kalimat penting yang disampaikan Sayidah Zainab di hadapan Yazid bin Muawiyah, “Demi Allah, aku hanya takut kepada Allah dan aku hanya mengadu kepada Allah. Lakukanlah tipu daya sesukamu, lakukanlah usahamu sedemikian rupa. Demi Allah tidak akan mengurangi aib yang telah engkau lakukan di mata kami selamanya.”
Di dalam riwayat lainnya disebutkan ucapan Sayidah Zainab, “Sesungguhnya engkau tidak akan mampu menghapus ingatan manusia tentang kami dan tidak akan melenyapkan inspirasi kami.”
Dengan kata lain, berapa banyak pun orang ingin melarang dan mengecam peringatan Asyura di mana pun dan sampai kapan pun, maka tidak akan dapat melenyapkan gelora dan bara dari peristiwa Karbala.
Hal itulah yang telah membentuk pribadi seperti Dr. Aisyah Bintus Syathi’ dan orang-orang yang mau membuka mata hatinya menatap peristiwa Karbala.[]