Syariat Sumpah
Kata yamîn memiliki beberapa arti kebahasaan di antaranya: tangan kanan, kekuatan dan sumpah. Ia kemudian digunakan dalam hilf (hâ` kasrah yang berarti perjanjian atau persekutuan. Kalau half, hâ` fathah berarti sumpah). Karena, orang-orang Arab di masa jahiliyah bila mengadakan perjanjian, tiap orang menyalami tangan kanan kawannya. Atau karena yang beraliansi menjadi kuat dengan sumpahnya. Mengapa dengan tangan kanan? Dikatakan, karena lebih kuat dari tangan kiri. (al-Fiqh ala al-Madzahib al-Khamsah wa Madzhab Ahlilbait, juz 2)
Di dalam fikih, yamîn atau sumpah (qasam, half) berfungsi sebagai penekanan pada ikhbâr dan dua macam insyâ`. Jadi, ada tiga macam sumpah (lihat, Minhaj ash-Shalihin, Ayatullah Uzhma Sayed Sistani, bab al-Yamîn):
1-Menekankan pemberitahuan sesuatu yang terjadi dan tidaknya, di masa lalu, kini dan datang. Misalnya, Demi Allah, Zaid datang kemarin!; Demi Allah, ini bukan punya saya!; Demi Allah, Amr akan datang besok!.
2-Disertai permohonan agar orang yang dimohon mewujudkan maksud. Sumpah ini diistilahkan dengan yamîn al-munâsyadah. Misalnya, Saya mohon demi Allah, Anda beri saya uang.. Si pemohon disebut hâlif atau muqsim, sedangkan orang yang dimohon disebut malhûf alaih atau muqsam alaih.
3-Menekankan apa yang harus dilakukan atau ditinggalkan nanti. Sumpah ini diistilahkan dengan yamîn al-aqd. Misalnya,Demi Allah, saya akan berpuasa besok, atau saya akan tinggalkan merokok.
Perbedaan Antara Tiga Macam Sumpah
Syaikh Ali Mesykini dalam catatan argumentatif atas kitab Tahrir al-Wasilah karya Imam Khomeini, menyebutkan perbedaan di antara tiga macam tersebut, bahwa:
Sumpah yang pertama, tiada keterikatan dan konsekuensi kecuali dosa jika bohong –dengan sengaja- di dalam pemberitahuannya itu. Oleh karena itu, Ayatullah Sayed Sistani menghukumi makruh bagi sumpah yang benar (jujur), dan menghukumi haram bagi sumpah yang dusta dan termasuk dosa besar. Terkecuali seseorang mempunyai maksud melindungi diri atau kaum mukmin dari kezaliman. Bahkan menjadi wajib apabila si lalim mengancam jiwa atau kehormatan dirinya dan orang mukmin lainnya.
Sumpah yang kedua, tiada konsekuensi dosa dan denda (kaffarah), baik bagi si hâlif maupun bagi si malhûf alaih, di dalam meninggalkan (apa yang telah disumpahkan).
Sumpah yang ketiga, ada ikatan atau menjadi terikat jika memenuhi persyaratan. Maka wajib dipenuhi, dan haram meninggalkannya serta dikenai kaffarah.
Hukum Sumpah Menurut Imamiyah dan Lainnya
Setiap mazhab memiliki pandangan yang sama dan yang berbeda dengan pandangan mazhab lainnya. Tapi, rasanya ruang ini tidak cukup memadai semua permasalahan sumpah dengan berbagai pandangan terkait hukum-hukumnya, melainkan sebagiannya saja secara ringkas.
Di bawah ini adalah kutipan dari beberapa keterangan di dalam kitab “al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arbaah wa Madzhab Ahlilbait (2) -karya Sayed Muhammad Gharawi dan Syaikh Yasir Mazih- tentang masalah ini:
Pertama, menurut Imamiyah: 1-Sumpah menjadi wajib jika merupakan syarat bagi suatu kewajiban seperti menyelamatkan seseorang dari kebinasaan. Dengan kata lain, kewajiban itu bergantung pada sumpah. Tetapi, menjadi haram jika atas hal melakukan yang diharamkan atau dengan sumpah yang tidak dibolehkan.
2-Sumpah tidak berlaku jika atas perbuatan yang haram atau yang makruh atau atas hal meninggalkan yang wajib atau yang sunnah. Juga tidak berlaku tanpa dengan Allah atau dengan nama-nama-Nya yang tidak ada pada selain-Nya.
3-Mutaallaq atau hal yang terkait dengan sumpah harus merupakan yang utama. Dari mutaallaq-nya lah hukum sumpah didapati, sehingga bisa wajib atau sunnah dan bisa mubah yang disertai prioritas.
Kedua, menurut mazhab Hanbali, menjadi makruh jika atas perbuatan yang makruh atau atas hal meninggalkan yang sunnah, seperti sumpah atas jual-beli. Berdasarkan riwayat Ibnu Majah: Sumpah itu me-laku-kan barang tapi menghapus keberkahan. Tapi menjadi sunnah jika terkait maslahat seperti mendamaikan dua pihak yang berseteru, atau untuk menghilangkan rasa dengki di hati seorang muslim dan sebagainya. Tidaklah sunnah bagi sumpah atas perbuatan taat dan meninggalkan maksiat.”
Mazhab Syafi’i mengatakan: “Asalnya, sumpah itu makruh, berdasarkan firman Allah (QS: al-Baqarah 224): وَلاَ تَجْعَلُوا اللهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ; “Janganlah kamu jadikan Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang… Dalam mazhab Maliki, asalnya boleh (mubah) jika dengan nama atau sifat Allah, sekalipun tidak diminta untuk bersumpah.
Bentuk Kalimat Sumpah
Sumpah tidak berlaku tanpa mengucapkan, billâhi, misalnya, baik dengan kata Allah ataupun dengan semua nama-Nya, bahkan dengan terjemahannya (misalnya, demi Allah!). Kalimat sumpah dalam bahasa Arab, nama Allah atau sifat-sifat-Nya diawali dengan huruf sumpah; wau atau tâ` atau bâ, menjadi wallâhi” atau “billâhi” atau “tallâhi, yang semuanya berarti demi Allah. Sumpah tidak berlaku dengan selain Allah, meskipun tidak haram. (Durus Tamhidiyah fi al-Fiqh al-Istidlali/Syaikh Baqir Irwani).
Dalam bahasa kita, misalnya: Demi Allah, saya akan melakukan demikian…, baik dengan ataupun tanpa keterangan pada pencapaian sesuatu. Sumpah tak berlaku dengan niat tanpa pengucapan.