Ilmu Jiwa Falsafi : Persaingan jiwa hewani dan jiwa rasional
Karena alamiahnya manusia hanya membutuhkan rehat, istirahat dalam waktu-waktu tertentu saja (interval) dan tidak dalam waktu yang lama. Pengalaman yang menyenangkan nafsu perut, faraj, atau nafsu amarah, memiliki durasi yang terbatas, jika melewati batas akan berbalik menjadi negatif.
Pertama karena kekuatan tubuh yang terbatas untuk melampiaskan seluruh hasrat hewani dan nabatinya. Tubuh akan menjadi menua, melemah, kehilangan energi untuk menyantap makanan, atau untuk melampiaskan segala hal yang terkait dengan eros. Yang kedua ada yang disakiti dalam satu waktu tertentu yaitu intelek atau akal. Fitrah yang ditutupi dan rasa sakit eksistensial yang tidak dapat dihilangkan atau direngut dari manusia siapapun di muka bumi ini, itulah yang membut seseorang menjadi menderita karena menuruti kehendak-kehendak yang rendah tersebut.
Yang kedua karena kesenangan dan kelezatan itu bertingkat-tingkat maka setiap indra harus mendapatkan persepsinya yang tepat. Kesenangan mata adalah pemandangan yang indah, teratur. Mata hanyalah alat jiwa, bisa alat jiwa hewani, nabati atau alat jiwa aqli (intelek). Atau indra penglihatan itu adalah menyatu dengan jiwa itu sendiri. Mata yang digerakan atau dimotivasi oleh jiwa rasional tentu akan menatap dengan tatapan yang lebih dalam, tatapan yang menembus pada hakikat, menyeberang dari eksoteris ke esoteris.
Yang menatapnya adalah jiwa yang menemukan kebahagiaan yang lama dan tidak ada batasnya. Tapi jika yang menatapnya adalah jiwa hewani, jiwa yang didrive oleh hasrat syahwat dan hasyrat ghadabiyah akan membosankan dan menemukan kekeringan.
Yang menjadi masalah adalah percampuran antara kebahagiaan akal dan kesenangan syahwat, Jiwa yang dominan sebenarnya adalah jiwa intelek yang mengharapkan infinite, keabadian dan pencerahan jiwa. Karena terjadi siklus naik turun, persaingan antara jiwa rasional dan jiwa hewani yang rendah, maka indra yang menjadi instrumen juga terbelah (split) terkadang mengikuti hasrat yang rendah dan terkadang mengikut jiwa yang lebih mulia.
Seorang filsuf melihat televisi misalnya untuk mencari inspirasi, mengamati berita yang akurat terkait fenomena sosial, politik atau ekonomi sebagai basis fondasi epistemologinya. Fenomena sosial meskipun berubah-ubah tapi bisa jadi mengandung status quo yang melambarinya. Hal yang tetap (status quo) itu dapat menjadi context of discovery. Seorang filsuf akan selalu berusaha menemukan hal-hal yang tidak berubah dan kemudian menghubungkannya dengan fondasi-fondasi lain yang axiomatik.
Filsuf yang melihat dengan matanya tentu berbeda dengan mata seorang awam yang ingin mencari hiburan untuk memuaskan jiwa hewaninya atau dalam bahasa modern hasrat liarnya. Demikian juga marahnya seorang filsuf adalah untuk meluruskan kerikil-kerikil yang keras, sifat keras kepala yang tidak bisa dihentikan kecuali dengan suara keras, dan ketegasan yang dingin. Tapi marahnya jiwa rasional tidak dengan memukul atau tindakan fisik, meskipun energi panasnya menyerbu dan menutupi kesempatan bagi jiwa-jiwa yang ingin melemahkan jiwa rasional.
Mengikuti segala hasrat jiwa-jiwa hewani yang hanya menginginkan kepuasaan fisik, kepuasaan syahwat, kesenangan hasrat dengan segala dimensinya akan berakhir dengan penderitaan, keletihan dan kecapean dan penderitaan. Itulah paradox dari pemuasaan jiwa hewani. Yang diburu dan dikejar adalah kenikmatan tapi akan berujung pada penderitaan jiwa. Makan jenis-jenis makanan yang lezat jika berlebihan akan mendatangkan penyesalan dan derita jika menyeimbangkan artinya tidak kekurangan dan tidak berlebihan.
Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah memenuhi hasrat hewani dan nabati itu untuk memperkuat tubuh, menjaga species manusia, menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh dan melewati itu yaitu untuk menyenangkan tubuh, untuk menikmati kenikmatan jasmani adalah berlebihan (ekstrim). Mengikuti keingin jiwa hewani untuk marah misalnya, untuk melampiaskan nafsu berkuasa bisa jadi untuk menyeimbangkan diri agar tidak menjadi insan yang lemah, yang mau diperbudak, dijajah. Selayaknya ada kekuatan untuk melawan, untuk marah, untuk mengalahkan, mendominasi kekuatan jahat, untuk melarikan diri dari bahaya, menjaga harga diri, kehormatan, keluarga, keturunan namun jika berlebihan menjadi marah yagn meledak setiap saat tanpa kendali, menjadi manusia yang tersingung dan sensitif untuk hal-hal yang tidak perlu.
Individu yang mudah mengobral marah dan tidak bisa mengendalikan mudah terpancing dan terprovokasi, mudah merasa kesal dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan harapannya. Harapan yang tidak realistis bisa saja memancing kekesalan dan ujungnya adalah kemarahan atau dipendam yang dapat meledak dalam bentuk lain. Atau dirinya memang begitu dikuasai oleh syahwat marahnya begitu rentan. Setiap hal yang terjadi di luar mudah memancing bangkitnya syahwat kemarahan. Pengendaliannya sulit apalagi jika struktus fisiologis (mijaz/temperamen) tidak seimbang. Ketidak seimbangan bisa jadi karena faktor genetik, makanan, atau yang lain.
Walhasil, dua hal yaitu daya menginginkan yaitu syahwat dan daya untuk menolak (ghadab); dua fakultas jiwa yang sudah sejak 1000 tahun lebih lalu menjadi pembicaraan para filsuf muslim tetap relevan. Dan keduanya tetap dominan dan dirasakan secara empiris eksitensi dan pengaruhnya yang sangat signifikan. Dua daya ini untuk menopang kehidupan manusia untuk kondisi yang terbatas dan keperluan yang terbatas, namun jika dijadikan raja atau majikan akan menghancurkan inti manusia itu sendiri.
(Muhammad Al-Kautsar)