Pencitraan, Upaya Legalisasi Kemunafikan
Oleh: Otong Sulaeman
Di tahun politik ini, istilah pencitraan sangat sering kita dengar. Setiap konsestan akan menuduh rivalnya hanya sedang melakukan pencitraan, demi meraih suara dalam pemilu. Sedemikian biasanya kata pencitraan ini kita dengar sehingga terkesan bahwa itu adalah fenomena yang biasa, bahkan seperti sebuah keniscayaan dari perilaku politik. Kalau Anda terjun di di dunia politik, Anda harus memainkan pencitraan.
Kini, kita berada di tahapan yang makin krusial menjelang pemilu serentak di bulan April tahun depan. Tak pelak lagi, saat ini, kita sedang berada di masa pencitraan. Setiap calon (caleg atau capres/cawapres) berlomba-lomba menciptakan citra yang baik agar bisa dipilih oleh rakyat. Secara positif, istilah ini merujuk kepada upaya untuk menampilkan kebaikan, prestasi, serta visi/misi yang dimiliki seorang aktor politik. Akan tetapi, istilah pencitraan ini makin lama makin bermakna negatif. Tengoklah saling sindir atau saling hujat yang dilontarkan satu parpol kepada parpol lainnya. Mereka menggunakan istilah “pencitraan” untuk setiap kebaikan atau kelebihan yang ditunjukkan rival politiknya. Pada saat yang sama, setiap parpol akan mati-matian menyangkal bahwa langkah-langkah yang mereka lakukan adalah pencitraan. Itu adalah hal muncul di permukaan. Di belakang layar, sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap tim sukses pastilah akan bekerja keras memoles sang calon demi sebuah citra baik.
Tak bisa disangkal lagi, pencitraan memang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan politik. Kita dengan sangat mudahnya menemukan fakta betapa rakyat sebagai konstituen sering terkecoh oleh citra baik lahiriah yang ia lihat pada politisi saat mencoblos. Perubahan tingkat kepuasan publik yang seringkali berlangsung secara drastis menunjukkan bahwa rakyat pemilih sempat terkecoh dengan pilihannya. Mengapa sampai terkecoh? Tentu karena saat memilih, rakyat lebih banyak melihat kebaikan yang dicitrakan para calon. Lalu, setelah berlalu beberapa waktu, rakyat menyadari hakikat tersembunyi di balik pencitraan lahiriah itu.
Secara politis dan formal, pencitraan dalam pengertian yang negatif ini masih dianggap hal yang legal. Bukan cuma di Indonesia terjadi, seseorang yang dipilih oleh rakyat dikarenakan kemampuannya (atau lebih tepatnya kemampuan tim suksesnya) dalam melakukan pencitraan, bukan karena kapabilitasnya di bidang kehidupan bernegara. Bahkan, kemampuan memoles itu dianggap sebagai bagian dari seni politik dan bermunculan pula pakar-pakar yang mumpuni di bidang pemolesan ini.
Namun, bila ditinjau dari sisi etika, atau parameter agama, pencitraan dengan makna negatif ini betul-betul sangat berbahaya. Bahkan, proses pencitraan bisa saja menyeret seseorang ke jurang api neraka.
Dalam bahasa agama, pencitraan dalam pengertian negatif tadi disebut sebagai nifaq (kemunafikan). Kata ini merujuk kepada situasi di mana seseorang secara lahiriah memunculkan hal-hal yang baik, untuk menutupi hakikat keburukan yang ada pada dirinya. Secara lahiriah, seseorang itu menampakkan keimanannya. Dia bersyahadat, melakukan shalat, puasa, dan lain-lain. Akan tetapi, semua perilakunya itu hanya sebatas pencitraan, untuk menutupi kekufuran yang tersembunyi jauh di lubuk hatinya.
Jadi, dalam perspektif agama, pencitraan dalam pengertian negatif adalah hal yang amat sangat buruk. Dalam hal ini, Islam sudah mewanti-wanti keburukan lanjutan yang menjadi konsekwensi logis dari perilaku kemunafikan. Rasul SAW bersabda: “Aayatul munaafiqi tsalaats: idza haddatsa kadzaba, wa idzaa wa’ada akhlafa, wa idza`tumina khaana – tanda orang munafik itu ada tiga: jika bicara ia dusta, jika berjanji ia ingkari, dan jika diberi amanat ia berkhianat.
Perhatikanlah alasan-alasan ketidakpuasan dan kegeraman rakyat terhadap perilaku orang-orang yang sudah terlanjur mereka pilih. Bukankah yang menjadi sumber kemuakan itu adalah adalah kebohongan, pengingkaran janji, dan pengkhianatan mereka?
Dari sisi penghambaan kepada Allah, pencitraan atau kemunafikan ini tentu saja sangat buruk. Pencitraan bermakna bahwa segala macam perbuatan baik yang dilakukan ditujukan agar mendapatkan apresiasi dan pujian dari manusia. Seorang politisi naik haji (kalau perlu berkali-kali) supaya mendapat citra sebagai orang yang religius.
Perilaku seperti ini tentu saja sangat buruk. Dalam konteks agama, segala macam perilaku ibadah tujuannya hanya dan hanya Allah, bukan yang lain. Pencitraan dan kemunafikan akan jatuh ke dalam perilaku riya, yang oleh Baginda Nabi SAW disebut sebagai bentuk kemusyrikan yang tersembunyi (syirik khafiy).
Pemilu serentak tahun depan akan menjadi moment yang sangat krusial dari sisi ini. Jika para caleg dan juga capres/cawapres itu terpilih karena pencitraan, bukan karena kemampuannya, itu menjadi lonceng bahaya bagi kehidupan bernegara kita. Jangan sampai pemilu kali ini kembali menjadi ajang legalisasi kemunafikan. []